Oleh : Thoni Sagara
“di NTB, PT. NNT adalah imperium nyata di depan mata, yang telah melakukan eksploitasi SDA bertahun-tahun lamanya, tapi tak hanya itu, PT. NNT juga telah menghancurkan segala sendi penghidupan rakyat”
Imperialisme terus melakukan aktifitasnya dalam usaha melanggengkan kuasanya atas Negara-negara setengah jajahan seperti Indonesia dengan membangun korporasi-korporasi besar disektor pertambangan, seperti Freeport di papua, exon mobile di blok cepu dan Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa Nusa Tenggara Barat.
Kegiatan eksploitasi ini kemudian berdampak buruk terhadap segala sektor berkehidupan rakyat. Buruknya dampak pertambangan tersebut tergambar jelas pada segala bidang mulai dari hal yang besar sampai pada hal yang selalu kita anggap remeh-temeh. Kegiatan eksploitasi ini hanya semakin menunjukkan kuasa dan kebiadan Negara-negara imperialisme semacam USA dan sekutu-sekutunya.
Kemudian Negara dalam hal ini Indonesia hanya bisa meng-iya-kan bahkan dengan secara sengaja memberikan ruang terhadap korporasi-korporasi asing untuk melanggengkan penjajahannya di negeri ini. Rezim republik ini seakan ingin menegaskan dirinya sebagai “pelayan sejati” dari imperialisme.
Pertambangan Terhadap Kehidupan Petani
Eksploitasi lahan besar-besaran yang dilakukan perusahan tambang terhadap lahan-lahan yang notabene menjadi sasaran produksi petani berakibat sangat buruk terhadap kehidupan petani kita. Tercatat di wilayah NTB sendiri perusahan tambang menguasai lahan dengan jumlah 891.590 ha lahan atau setara dengan 44% dari luas seluruhnya wilayah daratan NTB. Perusahan tambang tersebut terdiri dari 68 tambang logam, 28 tambang non logam dan 101 tambang batuan. Hal tersebut tentu berakibat pada semakin menyempitnya lahan garapan petani yang kemudian akan berakibat pada semakin sedikitnya cadangan pangan yang ada. padahal sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia adalah negara agraria lebih-lebih di wilayah NTB sendiri.
Selain itu, hal yang dihadapi petani akibat maraknya pertambangan ini adalah semakin devisitnya sumber-sumber daerah serapan air, dari 500 titik Daerah Aliran Sungai (DAS) yang saat ini tersisa hanya tinggal 120 DAS saja, akibatnya petani semakin kesulitan mengolah lahanya karena sulitnya sumber-sumber mata air untuk memenuhi kebutuhan irigasi teknis pertaniannya. Akibatnya petani kerap kali mengalami gagal panen.
Pertambangan Sebagai Actor Utama Perusak Ekologi
Luas wilayah hutan Indonesia sekitar 98 juta ha ( PKHI, FWI/GFW, 2002) dan 11,4 jutanya telah dibuka untuk areal pertambangan. Di NTB sendiri, dari keseluruhan total wilayah tambang di NTB yaitu 479.311,13 ha dilakukan di wilayah hutan setara dengan 53,75% dari luas wilayah tambang, sedangkan pertambangan yang dilakukan diluar wilayah hutan hanya 412.278,87 ha (46,75% luas wilayah tambang), untuk daerah KSB saja dari 126.261 ha luas wilayah hutan 90 persennya merupakan wilayah tambang.
Data tersebut merupakan gambaran nyata betapa pertambangan selain mengeksploitasi kekayaan bumi kita juga telah memporak-porandakan ketahanan ekologi kita. Hal tersebut tentu berdampak buruk terhadap kehidupan social ekonomi kita sebagai mana kita ketahui bahwa hutan adalah salah satu cagar alam yang harus tetap diselamatkan keberadaanya.
Akibat maraknya aksi penambangan ini, pada tahun 2007 saja tercatat terdapat 840 bencana ekologi, 7.303 nyawa melayang, 1.140 orang hilang, 3 jt jiwa berada di pengungsian dan 750.000 rumah terendam banjir, dan angka ini setaip tahun semakin meningkat. Begitu juga dengan beberapa gejala seperti kekeringan yang melanda di sebagain besar wilayah NTB seperti yang banyak dilansir beberapa media belakangan ini. Kejadian-kejadian ini tentunya bertalian sangat erat dengan maraknya pertambangan yang ada.
Hal ini juga berdampak pada peningkatan luas lahan kritis di NTB. Dari data yang ada, sebanyak 64 ribu hektar lahan kering dari total 1.807.463 hektar atau 84,19% dari total luas lahan pertanian di wilayah NTB, telah terdegradasi atau mengalami penurunan fungsi. Lahan kering yang mengalami degradasi itu merupakan bagian dari lahan kritis seluas 527.800 hektar atau sekitar 26% dari luas daratan NTB, yang terdiri atas hutan kritis seluas 159.000 hektar dan lahan kritis non hutan seluas 368.800 hektar, terutama di kawasan hutan Lombok Tengah bagian selatan dan sebagian besar Sumbawa. Selain itu, sekitar 480 ribu hektar hutan lindung, 419 ribu hektar hutan produksi, 170 ribu hektar non produksi termasuk 41 ribu hektar di dalam kawasan Balai Taman Nasional Gunung Rinjani dan 128 ribu hektar kawasan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (SDA) juga mengalami degradasi 50 ribu hektare setiap tahunnya.
Kita baru berbicara hanya pada fokus perusakan wilayah daratan, belum lagi dampak lingkungan dari pembuangan tailing dari perusahan tambang yang ada terhadap wilayah perairan (laut). Tailing PT. NNT misalnya, yang dibuang di teluk Senunu kecamatan Sekongkang yang mencapai angka 120-140 ribu ton perhari, hal ini tentu sangat berakibat buruk pada pelestarian biota laut yang ada dan juga berimbas besar terhadap pendapatan nelayan yang kian hari kian menurun akibat pembuangan tailing tersebut.
Pertambangan Tidak Mampu Menjawab Soal Lapangan Pekerjaan
“jika ada perusahan disini, maka kita tidak akan kesulitan mencari pekerjaan”, ungkapan seperti ini kerap kita dengar dan diucapkan dalam berbagai bahasa. Ungkapan ini berkonotasi pada pengharapan rakyat terhadap lapangan pekerjaan yang layak agar bisa terus melanjutkan hidupnya. Akan tetapi pengharapan ini ternyata berbanding terbalik dengan realita yang ada. Banyak korporasi-korporasi besar didirikan diseantero negeri ini, akan tetapi angka pengangguran dan buruh migrant justru tiap tahunnya mengalami angka peningkatan yang signifikan. Ada apa???
Di NTB terdapat 197 perusahan tambang dengan PT. NNT sebagai korporasi terbesarnya mempunyai angka pengangguran yang sangat besar. Berdasarkan data BPS NTB, dari jumlah penduduk 15 tahun keatas yang bekerja pada tahun 2009 sebesar 1.967.380 orang, sektor pertambangan dan penggalian hanya mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 33.068 orang atau 1,68% dari angka angkatan kerja tersebut. Dan hingga Agustus 2010, BPS NTB mencatat bahwa dari jumlah angkatan kerja di Provinsi NTB sebanyak 2.252.076, jumlah yang bekerja adalah mencapai 2.132.933 orang atau 94,71%. Dengan demikian jumlah pengangguran di NTB mencapai 119.143 orang atau sekitar 5,29%. Namun dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada bulan Agustus 2010, jumlah yang bekerja di sektor formal hanya sekitar 18,9%, sedangkan yang bekerja di sektor informal mencapai sekitar 81,1%. Dengan demikian, angka pengangguran di NTB sesungguhnya jauh lebih besar dari 5,29%. Demikian halnya dengan jumlah TKI resmi dari KSB (dimana PT. NNT itu berdiri) pada tahun 2009 mencapai angka 1.521 jiwa atau 1,50% dari total penduduk KSB. Sementara itu jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian NTB (yang justru selalu diabaikan bahkan sama sekali tidak diperhatikan pemerintah) hingga Agustus 2010 adalah sebanyak 1.005.240 orang atau 47,1% dari total penduduk NTB usia 15 tahun yang bekerja.
Dari data tersebut tergambar jelas bahwa dari angkatan kerja 15 tahun keatas yang bekerja disektor pertambangan dan penggalian jauh lebih sedikit dari yang bekerja di sektor pertanian. Artinya maraknya eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan tambang ternyata tidak mampu menjawab soal kebutuhan rakyat terhadap lahan pekerjaan yang layak.
Pertambangan Hanya Menyebabkan Kemiskinan
Sebuah fakta terungkap dalam sebuah diskusi dan pameran dengan tema “Peran Industri dalam Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan” yang diselenggarakan oleh Enviromental Geography Student Association (EGSA) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta yang dirilis oleh harian kompas tertanggal 7/1/2011, seorang Ahli Geografi Ekonomi Kependudukan; Abdur Rofi memaparkan bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik, daerah-daerah yang kaya dengan sumber daya alam justru merupakan daerah termiskin di Indonesia. Provinsi Riau, misalnya, menyumbang lebih dari 50% total produksi dan devisa minyak bumi. Namun, Dewan Ketahanan Pangan Riau mendata 663 desa di Riau berstatus rawan pangan. Tingkat kemiskinan Riau pun tergolong tinggi, mencapai 22,19% dari total penduduk Riau. Di Papua Barat, angka kemiskinan mencapai 36,8%, di Papua 34,88% , dan di Aceh mencapai 20,98 persen.
Hal serupa juga terjadi di NTB, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) NTB, hingga bulan Maret 2010, jumlah penduduk miskin di provinsi NTB mencapai 1.009.352 orang atau 21,55% dari total penduduk NTB.
Kemudian lebih khusus di KSB sebagai daerah teritori pertambangan PT. NNT angka kemiskinan masih sangat tinggi. Di Kecamatan Sekongkang misalnya, terdapat sedikitnya 565 kepala keluarga (KK) miskin atau sekitar 29,4% dari 1.887 KK. Di Kecamatan Maluk, ada 452 kepala keluarga miskin atau 16,83% dari 2.743 KK. Di Kecamatan Jereweh, terdapat sedikitnya 552 KK miskin atau 23,04% dari 2.206 KK. Sementara total KK miskin di KSB mencapai 5.645 KK atau 19,46% dari total jumlah KK yang bermukim di KSB.
Situasi ini sangat berbanding terbalik dengan pendapatan perusahan tambang yang melakukan eksploitasi, sebut saja Newmont yang melakukan eksploitasi di NTB sejak beroperasi tahun 1999 hingga 2005 saja, keuntungan yang di raih PT NNT berjumlah US$ 5,408 miliar, kemudian harga sahamnya pada invest pertama mencapai angka US$ 1,8 juta terus meningkat sampai US$ 4,8 juta pada tahun 2009.
Penutup
Dari beberapa gambaran situasi diatas, maka terang bagi kita bahwa keberadaan perusahaan tambang yang terus beroperasi di wilayah NKRI hanya membawa bencana dan kemelaratan bagi keberlangsungan hidup rakyat. Lebih tegas, pertambangan hanyalah upaya nyata imperialisme untuk terus mengeruk kekayaan alam negeri ini yang kemudian hanya menyisakan isakan tangis anak negeri. Maka sejatinya Negara harus berdaulat serta berusaha melakukan upaya-upaya untuk melepaskan diri dari kekangan imperialisme bukan malah menciptakan ruang agar imperialisme bisa terus melakukan aktifitas penjajahanya di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar