APEC
(Asia Pasific Economic Cooperation) bukanlah suatu skema kerja sama regional
yang berlangsung secara independen untuk membangun ekonomi
mandiri di wilayah Asia Pasfik, melainkan merupakan skema kerja sama yang tidak
terlepas dari intervensi US sebagai kekuatan Imperialisme yang dominan, hal ini
dibuktikan dengan kehadiran Menteri Luar negeri AS Jhon Kerry dalam acara tersebut, yang
sebelumnya akan dihadihadiri oleh Barrack Obama, akan tetapi karena situasi
krisis yang parah sampai mengeluarkan kebijakan shutdown di dalam negerinya
membuat dia terpksa tidak bisa hadir, akan tetapi kemudian diwakilkan oleh
menteri luar negerinya. Lebih tepatnya APEC merupakan satu kendaraan untuk
mengkonsolidasikan Negara-negara yang berada di kawasan Asia pasifik yang
kemudian diikat dengan seluruh skema perjanjian kerjasama ekonomi dan
perdagangan. Secara khusus, skema ini berekedudukan sebagai penjamin akan
terlibatnya seluruh Negara dikawasan Asia Pasifik dalam menjalankan seluruh
skema global yang ditransformasikan melalui Negara-negara Anggota kerjasama
global yang telah dibangun dan dikontrol secara langsung oleh Imperialisme AS,
yang kesemua itu diorientasikan untuk penyelamatan ekonomi Imperialisme AS dari
jeratan krisis yang hari demi hari terus berkembang menajam.
Pada tahun 2013 ini, sebagai tuan rumah,
Indonesia akan mengusung tiga prioritas utama sebagai bagian perjanjian yang
akan disepakati dalam pertemuan APEC mendatang. Prioritas utama tersebut
yakni, mencapai the Bogor Goals, mewujudkan kesetaraan dalam pembangunan
berkelanjutan, dan mendorong terwujudnya konektivitas. Gita Wirjawan (Menteri
perdagangan RI) menyebutkan, bahwa ketiga prioritas tersebut diarahkan
untuk mewujudkan tema APEC dibawah keketuaan Indonesia tahun ini, yaitu
menjadikan ‘Asia Pasifik yang berdaya tahan sebagai mesin penggerak pertumbuhan
ekonomi dunia.’ Kepada seluruh Menteri Ekonomi APEC bahkan ditegaskan, bahwa
pentingnya ketiga prioritas utama tersebut ialah sebagai usaha serius untuk
melanjutkan upaya pencapaian the Bogor Goals, yang didasarkan pada isi
deklarasi APEC Bogor “APEC Bogor Declaration” pada tahun 1994, yakni
liberalisasi dan fasilitasi perdagangan, serta investasi yang didukung
kerjasama ekonomi dan teknis.
Dalam melanjutkan proses pengurangan emisi
karbon secara global, tahun ini Indonesia juga akan mengusulkan penambahan sejumlah produk pertanian yang ramah lingkungan,
seperti Crude Palm Oil (CPO) dan karet, agar dapat dimasukkan ke dalam
daftar APEC Environmental Goods (EGs). Pemerintah meng-Ilusikan bahwa,
selain mendorong pelestarian lingkungan, produk berbasis pertanian ini juga
dapat meningkatkan kesejahteraan para petani, dan pada akhirnya memperkecil
disparitas ekonomi antar anggota. Dalam hal ini, sesunngguhnya Imperialisme
tengah membidik dua hal yang pertama adalah bagaiman menjual mesin-mesin ramah
lingkungan yang sesungguhnya adalah mesin overproduksi milik AS, yang kedua tentunya
tetap berbicara soal monopoli bahan baku yang berupa hasil produksi pertanian
tersebut.
Terkait dengan kesetaraan, Indonesia akan mendorong agar APEC dapat lebih memberdayakan UKM, perempuan, pemuda dan kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan. Mendagri mengatakan, hal ini harus sejalan dengan upaya mencapai ketahanan pangan, pembukaan akses kepada pembiayaan, mendorong peningkatan kualitas kesehatan, termasuk pelibatan UKM dalam rantai produksi global. Pemerintah juga mengajak para Menteri Ekonomi APEC untuk meningkatkan daya saing kawasan Asia Pasifik dengan memperkuat konektivitas, sehingga transaksi perdagangan dapat menjadi lebih murah, cepat, mudah, dan aman.
Selain
itu juga, berdasarkan pada hasil Senior Officer Meeting (SOM) III APEC, Indonesia
juga mengusulkan penyusunan rencana kerja pengembangan pendidikan dan tenaga
kerja lintas batas terpadu di Asia Pasifik. Dalam pertemuan ini Indonesia
melalui perwakilannya Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Bambang Indriyanto manyatakan komitmen dan kesiapannya dalam
pengembangan pendidikan dan tenaga kerja lintas batas di Asia Pasific khususnya
melalui kemitraaan pemerintah dan swasta dan itu diusulkan di HRDWG (Human
Resources Development Working Group).
Yuri O. Thamrin Ketua SOM Indonesia
dalam siaran pers menyatakan bahwa pengembangan agenda ini membuat pergerakan
lebih mudah bagi pelajar, peneliti, dan penyedia jasa pendidikan Indonesia di
wilayah Asia Pasifik. Pendidikan yang bermutu akan mudah dinikmati oleh
siapapun tanpa banyak tersekat oleh batas-batas negara. Dalam skema ini, pemerintah Indonesia membangun ilusi bahwa skema akan mampu mendorong kualitas pendidikan Indonesia menjadi lebih maju
dan kemudian bisa bersaing dengan penyedia-penyedia jasa pendidikan luar negeri
dengan kata lain terbuka ruang juga bagi Indonesia untuk menyelenggarakan
pendidikan di Negara-negara lain.
Khusus
untuk isu tenaga kerja lintas batas, Indonesia mendukung proyek penyusunan
Skills Mapping Asia Pacific. Dimana APEC dapat menyelaraskan kebutuhan tenaga
kerja dengan ketersediaan keahlian.
Artinya bahwa, terbuka keran bagi lulusan-lulusan perguruan tinggi untuk
kemudian menjadi tenaga kerja Indonesia di luar negeri, hal ini sesungguhnya
merupakan skema dari ketidakmampuan Pemerintah Indonesia dalam menyiapkan
lapangan pekerjaan bagi Lulusan-lulusan Perguruan Tinggi Indonesia.
Kedudukan KTT APEC yang melibatkan
lebih kurang 12 Kepala Negara dan 1200 pengusaha, juga semakin memperterang.
Bahwa kedudukan KTT APEC sesungguhnya bukanlah untuk membangun kemandirian
ekonomi untuk negara-negara wilayah Asia Pasifik akan tetapi, selain sebagai ajang pengikatan perjanjian-perjanjian kerja
sama antar negara juga merupakan ajang jual beli sector-sektor yang kemudian
harapanya bisa diminati oleh 1200 pengusaha yang terlibat didalamnya.
Dari uraian persiapan yang dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia juga dapat dilihat korelasi langsung antara APEC dengan berbagai skema
kerjasama Imperialisme lainnya, khususnya terkait dengan MDG’s dan WTO. Dibawah perspektif pembangunan dan
orientasi yang timpang dan jauh dari aspirasi Rakyat, seluruh program tersebut hanya akan menjadi
ilusi yang akan terus menambah penderitaan bagi Rakyat. Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan berbagai kenyataan akan dampak implementasi seluruh
perjanjian dan kerjasama tersebut di Indonesia. Baik dengan Ilusi perdagangan
karbon dan Ekonomi hijau (Green Economy) yang terus memperhebat perampasan
tanah kaum tani, meningkatkan angka pengangguran dan hilangnya sumber-sumber penghidupan
Rakyat.
Demikian pula dengan jargon “kerjasama
perdagangan yang murah, cepat dan aman” telah menyebabkan tidak
berkembangnya Industri nasional dan bangkrutnya pengusaha-pengusaha dan
pedagang kecil di Indonesia. Hal tersebut tentu saja hanya menjadi ilusi bagi
rakyat ditengah monopoli modal dan pasar oleh kapitalis monopoli yang tengah
terjerat krisis akibat overproduksi didalam negerinya. Target tersebut, relevan
dengan target-target yang ingin di capai oleh WTO melalui pertemuan tingkat
menteri kesembilan pada bulan Desember mendatang. Salah satu target tersebut
yakni, mewujudkan kerjasama perdagangan bebas tariff, atau selaras juga dengan
kerjasama perdagangan global yang dianut oleh banyak Negara dan kawasan, yakni
kerjasama perdagangan bebas (Free Trade Agreements/FTA)
Skema Liberalisasi dan privatisasi ini sesungguhnya bukanlah
barang baru bagi rakyat, akan tetapi telah lama terlaksana secara apik dan baik di Indonesia di bawah kepemimpinan Rezim Susilo Bambang
Yudhoyono. Di NTB sendiri kedudukan TGB.
Zainul Majdi sebagai Gubernur NTB mampunyai raport yang baik dalam
mengimplementasikan kebijakan-kebijakan ini di NTB, misal saja skema MDGs yang
sukses dimanifestasikan dalam program A3 (Akino, Absano dan Adono) oleh TGB.
Yang kemudian dalam pelaporannya TGB juga seolah mengcopy-paste metode
pelaporan SBY yaitu dengan melakukan pembohongan-pembohongan statistic, dimana
TGB menyatakan bahwa angka buta aksara dan angka kemiskinan di NTB telah
menurun secara drastis. Angka kemiskinan sebelumnya berada pada angka 23% kini
telah menjadi 19%, sesungguhnya yang dilakukan TGB sesuai dengan yang dilakukan
oleh SBY yaitu dengan menurunkan angka Standar Hidup Layak
rakyat menjadi 1 USD per-hari (padahal
Bank dunia menetapkan bahwa angka hidup layak adalah 2 USD per-hari, angka 1
USD dolar ini justru masuk dalam kategori tingkat kemiskinan yang sangat
parah), jika kita berhitung dari kebutuhan makan saja, maka angka ini
sesungguhnya amatlah jauh dari angka keterpenuhan kebutuhan hidup layak rakyat,
belum lagi dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya, seperti pendidikan, transportasi
dan telekomunikasi, yang justru sesungguhnya juga masuk dalam kategori
kebutuhan pokok rakyat.
Selain itu juga,
TGB sukses menjalankan skema Green Economy dalam bentuk program PIJAR (Sapi,
Jagung dan Rumput Laut) di NTB. dimana Rakyat NTB di dorong untuk beternak
Sapi, menanam Jagung dan membudidayakan Rumput Laut, yang kesemuanya itu tidak
dioorientasikan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi rakyat NTB melainkan untuk
mengisi kebutuhan liberalisasi pasar dan pengembangan green economy ala
Imperialisme. Selain itu juga, TGB sukses menambah jumlah penguasaan
lahan untuk PT.NNT sampai ke Dodorinti. Kedudukan TGB sebagai coordinator MP3EI
koridor V juga semakin menegaskan kedudukan TGB sebagai komparador tepercaya
Imperialisme di NTB bahkan Indonesia wilayah Timur.
Selanjutnya, Kedudukan staregis NTB
sebagai provinsi yang berada di tengah-tengah negara Indonesia mempunyai arti
strategis sebagai jalur penghubung ekonomi antara wilayah Indonesia bagian
barat dengan Indonesia bagian timur. Diamana Indonesia sendiri telah membagi
wilayahnya menjadi dua wilayah pengembangan, dimana Indonesia bagian barat berkedudukan sebagai wilayah
pengembangan sector perkebunan dan Indonesia bagian timur sebagai wilayah
pengembangan sector pertambangan. NTB sendiri dalam pembagian ini masuk dalam wilayah Indonesia bagian timur
sebagai pengembang sector pertambangan. Hal ini kemudian dibuktikan dengan
bayaknya investasi sector pertambangan di wilayah NTB, sampai dengan saat NTB
telah menerbitkan 196 IUP dan 1
Kontrak Karya yang terdiri dari 68 perusahaan logam, 28 perusahaan non logam
dan 101 perusahaan batuan dengan total luas areal pertambangan 891.150 ha, dimana PT.NNT masih sebagai
penguasa lahan terluas yaitu 87.540 Ha.
Selain
sector pertambangan yang merupakan sector investasi unggulan, NTB juga
memberikan ruang untuk investasi di sector yang lain seperti sector perkebunan
yang sejauh ini penguasaan lahannya telah mncapai 749 Ha. Perusahaan
pengembangan sector perkebunan tersebut Atas nama PT. Cosambi Victoria (99 Ha)
dan PT. Agrindo Nusantara (650 Ha). Sesungguhnya jika dilihat dari komoditi
tanam seperti tembakau, jagung, jambu mente, kopi, dll, perkebunan justru
sangat banyak menguasai lahan rakyat
melalui mekanisme penyeragaman komoditi tanam, dalam hal ini petani diberikan pinjaman berupa bibit dan pupuk dengan konsekwensi petani harus menjual kembali hasil
produksinya ke perusahaan pemberi pinjaman dengan harga yang telah ditentukan secara sepihak oleh perusahaan tersebut tentunya
(skema ini disebut skema kemitraan, artinya perusaahan tersebut membangun mitra
dengan petani). Komoditi tembakau misalnya, dikuasai oleh 21 perusahaan
diantaranya adalah PT Gudang Garam, Indonesia Indi Tobaco Citra Niaga, PT Karya
Putra Maju, dan PT Seng Sasak, dan PT Sadhana Arifnusa atau perusahaan milik
Sampoerna Group selaku perusahaan mitra petani tembakau di Pulau Lombok yang
terbesar. Selanjutnya, PT Indonesia Dwi9, PT Export Leaf Indonesia, PT Dua
Jarum, CV.Tresno Adi, Nyoto Permadi, Indonesia Indi Tobaco Citra Niaga, UD
Subiyakto, UD Keluarga Sapi, UD Cakrawala, Satuning Mitra Lestari, UD Iswanto,
UD Sumber Rezeki Pancor, UD Kemuning Sari Taya Jaya, Stevi dan PT Selaparang
Agro serta PT Gudang Garam sejauh ini menguasai lahan dengan skema seperti yang
dimaksud diatas mencapai 58.516 hektare. Dimana Sebanyak 10.098 ha berada di
wilayah Kabupaten Lombok Barat, 19.263 ha di Lombok Tengah, dan 29.154 ha di
Lombok Timur dengan masa produksi selama 5 bulan. Berdasarkan data dari Dinas
Perkebunan NTB menyebutkan potensi produksi tembakau Virginia di Pulau Lombok
mencapai 48.000 ton atau 95 persen dari total kebutuhan tembakau virginia
nasional sebanyak 50.000 ton per tahun. Kemudian harga yang diberikan kepada
petani tembakau oleh 21 perusahaan tersebut berkisar antara Rp.16.000 – Rp.
29.000/kilogram.
Lain
di sector perkebunan lain pula di sector kehutanan, dari total luas hutan NTB
yaitu 1.069.997,78 Ha. 64.780 Ha diantaranya adalah kawasan IUPHHK-HTI oleh 3
perusahaan yaitu PT. Coin Nesia, PT. Usaha Tani Lestani, sedangkan 6.417,295
Ha dan PT. Shadana Arif Nusa seluas
3.810 Ha yang menyebar di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Lombok utara, Lombok
timur dan Lombok tengah, di Lombok tengah sendiri Sadhana mengantongi izin
seluas 683 hektare, yang terbagi dalam dua blok, yakni Blok Mangkung seluas 173
hektare, dan Blok PLambik seluas 510 hektare (meliputi Desa Plambik, Kabul,
Serage dan Montong Sapah). Penguasaan wilayah hutan lainnya merupakan Ijin
paket Pinjam kawasan Hutan oleh PT.NNT dengan nomor ijin no. 501/menhut-II/2009
tanggal 1 september 2009.
Wilayah hutan yang telah direncanakan maupun
sudah di buka oleh pemerintah Provinsi NTB sebagai wilayah pertambangan sampai
dengan saat ini adalah sebesar 479.311,12 ha dengan kata lain 53,75% dari total
wilayah pertambangan justru berada berada di wilayah hutan.
Kedudukan strategis NTB sebagai jalur penghubung ekonomi antar Wilayah
barat Indonesia dengan wilayah timur Indonesia tentunya juga mempunyai potensi
pengembangan sektor pariwisata yang cukup besar. Sejauh ini, sektor pariwisata telah menguasai lahan NTB
seluas 46.185
Ha.
yang kemudian terbagi kedalam 17
kawasan, dimana 10 kawasan diantaranya berada di pulau Lombok dan 7
kawasan lainnya berada di pulau sumbawa. Sampai
dengan hari ini sector ini telah di kuasai oleh 154 PMA dan 19 PMDN. khusus
untuk Mandalika Resort yang sampai hari ini masih dalam tahap pengerjaan terdiri dari 5 kawasan
pantai yaitu Pantai Kuta,Tanjung Aan, Pantai Serenting, Keliuw dan Pantai
Gerupuk dengan luas HPL 1. 175 Ha. Diberikan kepada PT. BTDC kemudian oleh
PT.BTDC dibagikan kepada 5 perusahaan yaitu : MNC Land Tbk., PT. Gobel
Inernasional, Rajawali Corp. Club Mediterranee dan Marine Cove.
Investasi (yang
esensinya adalah privatisasi) di NTB sejauh ini jika di total, maka penguasaan
lahannya adalah 1.006.674 ha atau sekitar 49,95% dari luas daratan NTB yang
jumlahnya adalah 2.015.320 Ha. Sedangkan lahan yang tersisa untuk pengembangan
sector pertanian hanya 239.127 Ha itupun menyerap 867.400 tenaga kerja, jika
dirasiokan maka rasio kepemilikan lahan untuk petani NTB adalah 0,27 Ha (2,7
are) untuk setiap orang petani. Pada prakteknya ada sebagaian petani juga yang
mempunyai lahan dari 50 are sampai 3 bahkan 4 ha. Artinya bahwa ada sebagian
besar petani juga yang merupakan petani tanpa lahan (buruh tani).
Skema
liberalisasi perdagangan yang tengah dijalankan dibawah APEC dan WTO tidak
hanya menjadikan barang hasil produksi sebagai komoditi akan tetapi pelayanan
sector publik seperti pendidikan yang seharusnya menjadi hak demokratis rakyat yang
menjadi tanggung jawab negara dijadikan sebagai barang dagangan. sehingga biaya
pendidikan menjadi semakin mahal dan sangat sulit untuk di akses oleh rakyat. Melalui
beberapa kebijakannya di sektor pendidikan seperti UU No. 12 tahun 2012 tentang
pendidikan tinggi pemerintah telah memberikan keleluasaan kepada perguruan
tinggi baik PTN maupun swasta untuk melakukan pengelolaan dan pencarian sumber
pembiayaan operasional sehingga biaya pendidikan menjadi semakin mahal dan susah
untuk di akses oleh rakyat.
Di NTB sendiri kondisi
pendidikan terbilang memperihatinkan dan jauh dari harapan, hal ini dapat
dilihat dengan IPM NTB yang berada di posisi 32 dari 33 provinsi di indonesia. Angka
usia sekolah yang berada di daerah terpencil masih terbilang tinggi dan masih
banyak juga daerah terisolir yang tidak terfasilitasi, APK PAUD masih rendah
(APK TK/RA = 36,98%), ruang kelas yang rusak sebanyak 25,08 % (8.645)
ruang dari jumlah keseluruhan ruang
kelas 34.463 ruang, masih terbatasnya lembaga sekolah menengah untuk menampung
lulusan SMP/MTs, jumlah SMP/MTs 1.199,jumlah
SMA/MA/SMK 780 lembaga, rata-rata nilai UN masih di bawah 10 besar
Nasional. Nilai rata-rata Ujian Nasional Tahun 2010/2011, SMP/MTs : 7,69, SMA/MA : 7,51, SMK : 7,34, masih banyak Tenaga pendidik yang
belum berkualifikasi S1/D4, jumlah Guru 110.532 orang, yang belum berkualifikasi
59.262 orang, sedangkan yang sudah bersertifikasi 25.755 orang dari 110.532
orang. Belum lagi jika kita melihat
Angka drop out angka partisipasi
sekolah di NTB yang sangat timpang mulai usia 7-24 tahun
Dengan skema
komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan beberapa kampus di NTB
telah merubah status kampus yang seharusnya menjadi lembaga publik menjadi
suatu lembaga privat seperti pembangunan
usaha mandiri,menaikkan SPP, menjalankan pungli sebanyak-banyaknya,pemberlakuan
BLU (pembiayaan mandiri/otonomi kampus) yang terlihat di empat kampus besar di Mataram.
Antara lain seperti yang terjadi di kampus UNRAM, terjadinya kenaikan SPP secara
signifikan pada angkatan 2012 sebesar Rp 910.000 di Fakultas Hukum , sedangkan
di FKIP sebesar Rp 1.200.000 padahal tahun 2011 sebesar Rp 600.000, kenaikan ini di akibatkan oleh
kebijakan SPP tunggal yang lahir berdasarkan amanat UU No. 12 tahun 2012. Belum
lagi kebijakan denda atas keterlambatan pembayaran SPP di tahun 2013 ini
sebesar 10% dari total SPP yang di bayar mahasiswa. Lebih parahnya lagi UNRAM
secara terang-terangan memposisikan lembaganya sebagai perusahaan dengan konsep
dagang. misalnya Pembangunan usaha mandiri seperti rumah sakit pendidikan,
kemudian terlibat dalam proyek-proyek (di tahun 2010 UNRAM melakukan kerja sama
dalam dalam proyek buta aksara yang kemudian di di jalankan mahasiswa waktu KKN
, proyek tender perumahan ) penyewaan aset kampus, penjualan tiket pesawat. UNRAM
juga menunjukan kerakusan dan ketamakannya dalam hal alokasi anggaran dari
total anggaran yang dikucurkan dari APBN dan APBD yaitu sebesar Rp
212.000.000.000. Pada tahun 2010/2011 pemborosan anggaran dilakukan pada hal
yang tidak pokok dan tidak berdampak pada mahasiswanya yaitu pembangunan rumah
sakit yang menelan biaya Rp 80.000.000.000.Gaji, tunjangan dan biaya penelitian
dosen sebesar Rp 83.000.000.000 dan Rp 49.000.000.000 diserahkan ke
masing-masing fakultas.
Selain itu juga,
laju liberalisasi dan privatisasi sebagaimana yang dibicarakan dalam forum KKT
APEC di Nusa Dua Bali yang sesungguhnya telah termanifestasikan sejak lama oleh
Rezim komparadornya dalam negeri telah banyak melahirkan ketimpangan dalam kehidupan
rakyat. Ketimpangan tersebut kemudian di bela habis-habisan baik oleh
perusahaan-perusahaan milik imperialism dalam negeri pun juga oleh rezim komparadornya dalam bentuk ancaman
pemutusan kerja, penangkapan, penyerangan bahkan penembakan bagi rakyat.
Baru-baru ini berdasarkan Memo yang ditandatangani
Garry J Goldberg, President and Chief Executive Officer PT. NNT tertanggal 13
Juni 2013 menyatakan bahwa akan mengurangi 33% dari jumlah total karyawannya
dengan alas an semakin berkurangnya hasil produksi pertambangan PT. NNT.
Selanjutnya sengketa rakyat dengan perusaahan pertambangan juga telah
seringkali terjadi di NTB, kasus Rakyat Sape dengan PT.SMN pada beberapa tahun
yang lalu yang menewaskan 2 orang warga, kemudian kasus PT. Indotan di Sekotong
Lombok Barat dan Tentu masih terang di ingatan kita juga terkait penembakan
petani di tanak awu dan treng wilis beberapa tahun yang lalu yang
mempertahankan hak kelolanya atas lahan pertanian dan sumber daya alamnya yang
kemudian di hadiahi penyerangan, penangkapan dan bahkan penembakan terhadap
massa rakyat. Kemudian yang baru-baru ini terjadi adalah penangkapan terhadap 4
orang petani Kwang Wae yang sering kali melakukan penolakan terhadap keberadaan
Tambak Udang yang ada di desanya dan Petani Desa Raba Baka Dompu yang terus
mendapat teror dari pihak petugas keamanan setempat terkait penggarapan daerah
hutan tutupan di daerah So Wuwu, Dewa
dan Nggoti oleh Petani Raba Baka.
Berdasarkan
seluruh penjelasan diatas, Maka teranglah sudah bahwa sesungguhnya kedudukan
pertemuan KTT APEC di nusa dua Bali pada tanggal 1-8 oktober 2013 ini tak lebih
dari agenda penuh tipu muslihat untuk mempermulus skema liberalisasi dan privatisasi
menuju perampasan atas hak-hak hidup rakyat.
Maka, kami dari Indonesians People Alliance (IPA)/
Aliansi Rakyat Indonesia (ARI) Lombok menuntut :
1. Bubarkan APEC dan WTO!
2. Hentikan perampasan lahan oleh pertambangan dan
perkebunan skala besar!
3. Cabut UU no. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi!
4. Selesaikan sengketa lahan petani di Mawun, tambak
udang di Kwang wae, kasus tanah terlantar di raba baka dompu melaui
penyelesaian berdasarkan UUPA tahun 60!
5. Tolak PHK 33% daro total karyawan PT.NNT!
6. Cabut Perda No. 1 tahun 2013 tentang perlindungan
ahan pertanian berkelanjutan!
7. Bebaskan 4 orang petani kwang wae dari segala tuntutan
hukum!
8. Realisasikan 20% anggaran pendidikan dari APBD dan
APBN!
9. Cabut kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk
perguruan-perguruan tinggi!
10. Berikan jaminan pekerjaan yang layak bagi Pemuda!
11. Stop investasi asing dan berikan ruang kelola seluas-luasnya
bagi rakyat di sector pariwisata!
12. Laksanakan Reforma Agararia sejati!
Koordinator Umum
JUMADIL AWAL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar