Senin, 07 Oktober 2013

PRESS RELEASE : TOLAK LIBERALISASI PERDAGANGAN DAN PRIVATISASI HAJAT HIDUP RAKYAT JUNK APEC and WTO!


APEC (Asia Pasific Economic Cooperation) bukanlah suatu skema kerja sama regional yang berlangsung secara independen untuk membangun ekonomi mandiri di wilayah Asia Pasfik, melainkan merupakan skema kerja sama yang tidak terlepas dari intervensi US sebagai kekuatan Imperialisme yang dominan, hal ini dibuktikan dengan kehadiran Menteri Luar negeri AS  Jhon Kerry dalam acara tersebut, yang sebelumnya akan dihadihadiri oleh Barrack Obama, akan tetapi karena situasi krisis yang parah sampai mengeluarkan kebijakan shutdown di dalam negerinya membuat dia terpksa tidak bisa hadir, akan tetapi kemudian diwakilkan oleh menteri luar negerinya. Lebih tepatnya APEC merupakan satu kendaraan untuk mengkonsolidasikan Negara-negara yang berada di kawasan Asia pasifik yang kemudian diikat dengan seluruh skema perjanjian kerjasama ekonomi dan perdagangan. Secara khusus, skema ini berekedudukan sebagai penjamin akan terlibatnya seluruh Negara dikawasan Asia Pasifik dalam menjalankan seluruh skema global yang ditransformasikan melalui Negara-negara Anggota kerjasama global yang telah dibangun dan dikontrol secara langsung oleh Imperialisme AS, yang kesemua itu diorientasikan untuk penyelamatan ekonomi Imperialisme AS dari jeratan krisis yang hari demi hari terus berkembang menajam.
Pada tahun 2013 ini, sebagai tuan rumah, Indonesia akan mengusung tiga prioritas utama sebagai bagian perjanjian yang akan disepakati dalam pertemuan APEC  mendatang. Prioritas utama tersebut yakni, mencapai the Bogor Goals, mewujudkan kesetaraan dalam pembangunan berkelanjutan, dan mendorong terwujudnya konektivitas. Gita Wirjawan (Menteri perdagangan RI) menyebutkan, bahwa ketiga prioritas tersebut diarahkan untuk mewujudkan tema APEC dibawah keketuaan Indonesia tahun ini, yaitu menjadikan ‘Asia Pasifik yang berdaya tahan sebagai mesin penggerak pertumbuhan ekonomi dunia.’ Kepada seluruh Menteri Ekonomi APEC bahkan ditegaskan, bahwa pentingnya ketiga prioritas utama tersebut ialah sebagai usaha serius untuk melanjutkan upaya pencapaian the Bogor Goals, yang didasarkan pada isi deklarasi APEC Bogor “APEC Bogor Declaration” pada tahun 1994, yakni liberalisasi dan fasilitasi perdagangan, serta investasi yang didukung kerjasama ekonomi dan teknis.
Dalam melanjutkan proses pengurangan emisi karbon secara global, tahun ini Indonesia juga akan  mengusulkan penambahan sejumlah produk pertanian yang ramah lingkungan, seperti Crude Palm Oil (CPO) dan karet, agar dapat dimasukkan ke dalam daftar APEC Environmental Goods (EGs). Pemerintah meng-Ilusikan bahwa, selain mendorong pelestarian lingkungan, produk berbasis pertanian ini juga dapat meningkatkan kesejahteraan para petani, dan pada akhirnya memperkecil disparitas ekonomi antar anggota. Dalam hal ini, sesunngguhnya Imperialisme tengah membidik dua hal yang pertama adalah bagaiman menjual mesin-mesin ramah lingkungan yang sesungguhnya adalah mesin overproduksi milik AS, yang kedua tentunya tetap berbicara soal monopoli bahan baku yang berupa hasil produksi pertanian tersebut.

Terkait dengan kesetaraan, Indonesia akan mendorong agar APEC dapat lebih memberdayakan UKM, perempuan, pemuda dan kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan. Mendagri mengatakan, hal ini harus sejalan dengan upaya mencapai ketahanan pangan, pembukaan akses kepada pembiayaan, mendorong peningkatan kualitas kesehatan, termasuk pelibatan UKM dalam rantai produksi global. Pemerintah juga mengajak para Menteri Ekonomi APEC untuk meningkatkan daya saing kawasan Asia Pasifik dengan memperkuat konektivitas, sehingga transaksi perdagangan dapat menjadi lebih murah, cepat, mudah, dan aman.
Selain itu juga, berdasarkan pada hasil Senior Officer Meeting (SOM) III APEC, Indonesia juga mengusulkan penyusunan rencana kerja pengembangan pendidikan dan tenaga kerja lintas batas terpadu di Asia Pasifik. Dalam pertemuan ini Indonesia melalui perwakilannya Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Bambang Indriyanto manyatakan komitmen dan kesiapannya dalam pengembangan pendidikan dan tenaga kerja lintas batas di Asia Pasific khususnya melalui kemitraaan pemerintah dan swasta dan itu diusulkan di HRDWG (Human Resources Development Working Group).
Yuri O. Thamrin Ketua SOM Indonesia dalam siaran pers menyatakan bahwa pengembangan agenda ini membuat pergerakan lebih mudah bagi pelajar, peneliti, dan penyedia jasa pendidikan Indonesia di wilayah Asia Pasifik. Pendidikan yang bermutu akan mudah dinikmati oleh siapapun tanpa banyak tersekat oleh batas-batas negara. Dalam skema ini, pemerintah Indonesia membangun ilusi bahwa skema akan mampu mendorong kualitas pendidikan Indonesia menjadi lebih maju dan kemudian bisa bersaing dengan penyedia-penyedia jasa pendidikan luar negeri dengan kata lain terbuka ruang juga bagi Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikan di Negara-negara lain.
Khusus untuk isu tenaga kerja lintas batas, Indonesia mendukung proyek penyusunan Skills Mapping Asia Pacific. Dimana APEC dapat menyelaraskan kebutuhan tenaga kerja dengan ketersediaan keahlian. Artinya bahwa, terbuka keran bagi lulusan-lulusan perguruan tinggi untuk kemudian menjadi tenaga kerja Indonesia di luar negeri, hal ini sesungguhnya merupakan skema dari ketidakmampuan Pemerintah Indonesia dalam menyiapkan lapangan pekerjaan bagi Lulusan-lulusan Perguruan Tinggi Indonesia.
Kedudukan KTT APEC yang melibatkan lebih kurang 12 Kepala Negara dan 1200 pengusaha, juga semakin memperterang. Bahwa kedudukan KTT APEC sesungguhnya bukanlah untuk membangun kemandirian ekonomi untuk negara-negara wilayah Asia Pasifik akan tetapi, selain sebagai ajang pengikatan perjanjian-perjanjian kerja sama antar negara juga merupakan ajang jual beli sector-sektor yang kemudian harapanya bisa diminati oleh 1200 pengusaha yang terlibat didalamnya.
Dari uraian persiapan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia juga dapat dilihat korelasi langsung antara APEC dengan berbagai skema kerjasama Imperialisme lainnya, khususnya terkait dengan MDG’s dan WTO. Dibawah perspektif pembangunan dan orientasi yang timpang dan jauh dari aspirasi Rakyat, seluruh program tersebut hanya akan menjadi ilusi yang akan terus menambah penderitaan bagi Rakyat. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan berbagai kenyataan akan dampak implementasi seluruh perjanjian dan kerjasama tersebut di Indonesia. Baik dengan Ilusi perdagangan karbon dan Ekonomi hijau (Green Economy) yang terus memperhebat perampasan tanah kaum tani, meningkatkan angka pengangguran dan hilangnya sumber-sumber penghidupan Rakyat.
Demikian pula dengan jargon “kerjasama perdagangan yang murah, cepat dan aman” telah menyebabkan tidak berkembangnya Industri nasional dan bangkrutnya pengusaha-pengusaha dan pedagang kecil di Indonesia. Hal tersebut tentu saja hanya menjadi ilusi bagi rakyat ditengah monopoli modal dan pasar oleh kapitalis monopoli yang tengah terjerat krisis akibat overproduksi didalam negerinya. Target tersebut, relevan dengan target-target yang ingin di capai oleh WTO melalui pertemuan tingkat menteri kesembilan pada bulan Desember mendatang. Salah satu target tersebut yakni, mewujudkan kerjasama perdagangan bebas tariff, atau selaras juga dengan kerjasama perdagangan global yang dianut oleh banyak Negara dan kawasan, yakni kerjasama perdagangan bebas (Free Trade Agreements/FTA)
Skema Liberalisasi dan privatisasi ini sesungguhnya bukanlah barang baru bagi rakyat, akan tetapi telah lama terlaksana secara apik dan baik di Indonesia di bawah kepemimpinan Rezim Susilo Bambang Yudhoyono. Di NTB sendiri kedudukan TGB. Zainul Majdi sebagai Gubernur NTB mampunyai raport yang baik dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan ini di NTB, misal saja skema MDGs yang sukses dimanifestasikan dalam program A3 (Akino, Absano dan Adono) oleh TGB. Yang kemudian dalam pelaporannya TGB juga seolah mengcopy-paste metode pelaporan SBY yaitu dengan melakukan pembohongan-pembohongan statistic, dimana TGB menyatakan bahwa angka buta aksara dan angka kemiskinan di NTB telah menurun secara drastis. Angka kemiskinan sebelumnya berada pada angka 23% kini telah menjadi 19%, sesungguhnya yang dilakukan TGB sesuai dengan yang dilakukan oleh SBY yaitu dengan menurunkan angka Standar Hidup Layak rakyat  menjadi 1 USD per-hari (padahal Bank dunia menetapkan bahwa angka hidup layak adalah 2 USD per-hari, angka 1 USD dolar ini justru masuk dalam kategori tingkat kemiskinan yang sangat parah), jika kita berhitung dari kebutuhan makan saja, maka angka ini sesungguhnya amatlah jauh dari angka keterpenuhan kebutuhan hidup layak rakyat, belum lagi dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya, seperti pendidikan, transportasi dan telekomunikasi, yang justru sesungguhnya juga masuk dalam kategori kebutuhan pokok rakyat.
Selain itu juga, TGB sukses menjalankan skema Green Economy dalam bentuk program PIJAR (Sapi, Jagung dan Rumput Laut) di NTB. dimana Rakyat NTB di dorong untuk beternak Sapi, menanam Jagung dan membudidayakan Rumput Laut, yang kesemuanya itu tidak dioorientasikan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi rakyat NTB melainkan untuk mengisi kebutuhan liberalisasi pasar dan pengembangan green economy ala Imperialisme. Selain itu juga, TGB sukses menambah jumlah penguasaan lahan untuk PT.NNT sampai ke Dodorinti. Kedudukan TGB sebagai coordinator MP3EI koridor V juga semakin menegaskan kedudukan TGB sebagai komparador tepercaya Imperialisme di NTB bahkan Indonesia wilayah Timur.
Selanjutnya, Kedudukan staregis NTB sebagai provinsi yang berada di tengah-tengah negara Indonesia mempunyai arti strategis sebagai jalur penghubung ekonomi antara wilayah Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur. Diamana Indonesia sendiri telah membagi wilayahnya menjadi dua wilayah pengembangan, dimana Indonesia bagian barat berkedudukan sebagai wilayah pengembangan sector perkebunan dan Indonesia bagian timur sebagai wilayah pengembangan sector pertambangan. NTB sendiri dalam pembagian ini  masuk dalam wilayah Indonesia bagian timur sebagai pengembang sector pertambangan. Hal ini kemudian dibuktikan dengan bayaknya investasi sector pertambangan di wilayah NTB, sampai dengan saat NTB telah menerbitkan  196 IUP dan 1 Kontrak Karya yang terdiri dari 68 perusahaan logam, 28 perusahaan non logam dan 101 perusahaan batuan dengan total luas areal pertambangan  891.150 ha, dimana PT.NNT masih sebagai penguasa lahan terluas yaitu 87.540 Ha.
Selain sector pertambangan yang merupakan sector investasi unggulan, NTB juga memberikan ruang untuk investasi di sector yang lain seperti sector perkebunan yang sejauh ini penguasaan lahannya telah mncapai 749 Ha. Perusahaan pengembangan sector perkebunan tersebut Atas nama PT. Cosambi Victoria (99 Ha) dan PT. Agrindo Nusantara (650 Ha). Sesungguhnya jika dilihat dari komoditi tanam seperti tembakau, jagung, jambu mente, kopi, dll, perkebunan justru sangat banyak menguasai lahan  rakyat melalui mekanisme penyeragaman komoditi tanam, dalam hal ini petani diberikan pinjaman berupa bibit dan pupuk dengan konsekwensi petani harus menjual kembali hasil produksinya ke perusahaan pemberi pinjaman dengan harga yang telah ditentukan secara sepihak oleh perusahaan tersebut tentunya (skema ini disebut skema kemitraan, artinya perusaahan tersebut membangun mitra dengan petani). Komoditi tembakau misalnya, dikuasai oleh 21 perusahaan diantaranya adalah PT Gudang Garam, Indonesia Indi Tobaco Citra Niaga, PT Karya Putra Maju, dan PT Seng Sasak, dan PT Sadhana Arifnusa atau perusahaan milik Sampoerna Group selaku perusahaan mitra petani tembakau di Pulau Lombok yang terbesar. Selanjutnya, PT Indonesia Dwi9, PT Export Leaf Indonesia, PT Dua Jarum, CV.Tresno Adi, Nyoto Permadi, Indonesia Indi Tobaco Citra Niaga, UD Subiyakto, UD Keluarga Sapi, UD Cakrawala, Satuning Mitra Lestari, UD Iswanto, UD Sumber Rezeki Pancor, UD Kemuning Sari Taya Jaya, Stevi dan PT Selaparang Agro serta PT Gudang Garam sejauh ini menguasai lahan dengan skema seperti yang dimaksud diatas mencapai 58.516 hektare. Dimana Sebanyak 10.098 ha berada di wilayah Kabupaten Lombok Barat, 19.263 ha di Lombok Tengah, dan 29.154 ha di Lombok Timur dengan masa produksi selama 5 bulan. Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan NTB menyebutkan potensi produksi tembakau Virginia di Pulau Lombok mencapai 48.000 ton atau 95 persen dari total kebutuhan tembakau virginia nasional sebanyak 50.000 ton per tahun. Kemudian harga yang diberikan kepada petani tembakau oleh 21 perusahaan tersebut berkisar antara Rp.16.000 – Rp. 29.000/kilogram.
Lain di sector perkebunan lain pula di sector kehutanan, dari total luas hutan NTB yaitu 1.069.997,78 Ha. 64.780 Ha diantaranya adalah kawasan IUPHHK-HTI oleh 3 perusahaan yaitu PT. Coin Nesia, PT. Usaha Tani Lestani, sedangkan 6.417,295 Ha  dan PT. Shadana Arif Nusa seluas 3.810 Ha yang menyebar di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Lombok utara, Lombok timur dan Lombok tengah, di Lombok tengah sendiri Sadhana mengantongi izin seluas 683 hektare, yang terbagi dalam dua blok, yakni Blok Mangkung seluas 173 hektare, dan Blok PLambik seluas 510 hektare (meliputi Desa Plambik, Kabul, Serage dan Montong Sapah). Penguasaan wilayah hutan lainnya merupakan Ijin paket Pinjam kawasan Hutan oleh PT.NNT  dengan nomor ijin no. 501/menhut-II/2009 tanggal 1 september 2009.
Wilayah hutan yang telah direncanakan maupun sudah di buka oleh pemerintah Provinsi NTB sebagai wilayah pertambangan sampai dengan saat ini adalah sebesar 479.311,12 ha dengan kata lain 53,75% dari total wilayah pertambangan justru berada berada di wilayah hutan.  
Kedudukan strategis NTB sebagai jalur penghubung ekonomi antar Wilayah barat Indonesia dengan wilayah timur Indonesia tentunya juga mempunyai potensi pengembangan sektor pariwisata yang cukup besar. Sejauh ini, sektor pariwisata telah menguasai lahan NTB seluas 46.185 Ha. yang  kemudian terbagi kedalam 17 kawasan, dimana 10 kawasan diantaranya berada di pulau Lombok dan 7 kawasan lainnya berada di pulau sumbawa. Sampai dengan hari ini sector ini telah di kuasai oleh 154 PMA dan 19 PMDN. khusus untuk Mandalika Resort yang sampai hari ini masih dalam  tahap pengerjaan terdiri dari 5 kawasan pantai yaitu Pantai Kuta,Tanjung Aan, Pantai Serenting, Keliuw dan Pantai Gerupuk dengan luas HPL 1. 175 Ha. Diberikan kepada PT. BTDC kemudian oleh PT.BTDC dibagikan kepada 5 perusahaan yaitu : MNC Land Tbk., PT. Gobel Inernasional, Rajawali Corp. Club Mediterranee dan Marine Cove.
Investasi (yang esensinya adalah privatisasi) di NTB sejauh ini jika di total, maka penguasaan lahannya adalah 1.006.674 ha atau sekitar 49,95% dari luas daratan NTB yang jumlahnya adalah 2.015.320 Ha. Sedangkan lahan yang tersisa untuk pengembangan sector pertanian hanya 239.127 Ha itupun menyerap 867.400 tenaga kerja, jika dirasiokan maka rasio kepemilikan lahan untuk petani NTB adalah 0,27 Ha (2,7 are) untuk setiap orang petani. Pada prakteknya ada sebagaian petani juga yang mempunyai lahan dari 50 are sampai 3 bahkan 4 ha. Artinya bahwa ada sebagian besar petani juga yang merupakan petani tanpa lahan (buruh tani).
Skema liberalisasi perdagangan yang tengah dijalankan dibawah APEC dan WTO tidak hanya menjadikan barang hasil produksi sebagai komoditi akan tetapi pelayanan sector publik seperti pendidikan yang seharusnya menjadi hak demokratis rakyat yang menjadi tanggung jawab negara dijadikan sebagai barang dagangan. sehingga biaya pendidikan menjadi semakin mahal dan sangat sulit untuk di akses oleh rakyat. Melalui beberapa kebijakannya di sektor pendidikan seperti UU No. 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi pemerintah telah memberikan keleluasaan kepada perguruan tinggi baik PTN maupun swasta untuk melakukan pengelolaan dan pencarian sumber pembiayaan operasional sehingga biaya pendidikan menjadi semakin mahal dan susah untuk di akses oleh rakyat.
Di NTB sendiri kondisi pendidikan terbilang memperihatinkan dan jauh dari harapan, hal ini dapat dilihat dengan IPM NTB yang berada di posisi 32 dari 33 provinsi di indonesia. Angka usia sekolah yang berada di daerah terpencil masih terbilang tinggi dan masih banyak juga daerah terisolir yang tidak terfasilitasi, APK PAUD masih rendah (APK TK/RA = 36,98%), ruang kelas yang rusak sebanyak 25,08 % (8.645) ruang  dari jumlah keseluruhan ruang kelas 34.463 ruang, masih terbatasnya lembaga sekolah menengah untuk menampung lulusan SMP/MTs, jumlah SMP/MTs 1.199,jumlah  SMA/MA/SMK 780 lembaga, rata-rata nilai UN masih di bawah 10 besar Nasional. Nilai rata-rata Ujian Nasional Tahun 2010/2011, SMP/MTs : 7,69,  SMA/MA : 7,51,  SMK : 7,34, masih banyak Tenaga pendidik yang belum berkualifikasi S1/D4, jumlah Guru 110.532 orang, yang belum berkualifikasi 59.262 orang, sedangkan yang sudah bersertifikasi 25.755 orang dari 110.532 orang. Belum lagi jika kita melihat  Angka drop out angka partisipasi  sekolah di NTB yang sangat timpang mulai usia 7-24 tahun
Dengan skema komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan beberapa kampus di NTB telah merubah status kampus yang seharusnya menjadi lembaga publik menjadi suatu lembaga  privat seperti pembangunan usaha mandiri,menaikkan SPP, menjalankan pungli sebanyak-banyaknya,pemberlakuan BLU (pembiayaan mandiri/otonomi kampus) yang terlihat di empat kampus besar di Mataram. Antara lain seperti yang terjadi di kampus UNRAM, terjadinya kenaikan SPP secara signifikan pada angkatan 2012 sebesar Rp 910.000 di Fakultas Hukum , sedangkan di FKIP sebesar Rp 1.200.000 padahal tahun 2011 sebesar  Rp 600.000, kenaikan ini di akibatkan oleh kebijakan SPP tunggal yang lahir berdasarkan amanat UU No. 12 tahun 2012. Belum lagi kebijakan denda atas keterlambatan pembayaran SPP di tahun 2013 ini sebesar 10% dari total SPP yang di bayar mahasiswa. Lebih parahnya lagi UNRAM secara terang-terangan memposisikan lembaganya sebagai perusahaan dengan konsep dagang. misalnya Pembangunan usaha mandiri seperti rumah sakit pendidikan, kemudian terlibat dalam proyek-proyek (di tahun 2010 UNRAM melakukan kerja sama dalam dalam proyek buta aksara yang kemudian di di jalankan mahasiswa waktu KKN , proyek tender perumahan ) penyewaan aset kampus, penjualan tiket pesawat. UNRAM juga menunjukan kerakusan dan ketamakannya dalam hal alokasi anggaran dari total anggaran yang dikucurkan dari APBN dan APBD yaitu sebesar Rp 212.000.000.000. Pada tahun 2010/2011 pemborosan anggaran dilakukan pada hal yang tidak pokok dan tidak berdampak pada mahasiswanya yaitu pembangunan rumah sakit yang menelan biaya Rp 80.000.000.000.Gaji, tunjangan dan biaya penelitian dosen sebesar Rp 83.000.000.000 dan Rp 49.000.000.000 diserahkan ke masing-masing fakultas.
Selain itu juga, laju liberalisasi dan privatisasi sebagaimana yang dibicarakan dalam forum KKT APEC di Nusa Dua Bali yang sesungguhnya telah termanifestasikan sejak lama oleh Rezim komparadornya dalam negeri telah banyak melahirkan ketimpangan dalam kehidupan rakyat. Ketimpangan tersebut kemudian di bela habis-habisan baik oleh perusahaan-perusahaan milik imperialism dalam negeri pun juga oleh  rezim komparadornya dalam bentuk ancaman pemutusan kerja, penangkapan, penyerangan bahkan penembakan bagi rakyat. Baru-baru ini berdasarkan Memo yang ditandatangani Garry J Goldberg, President and Chief Executive Officer PT. NNT tertanggal 13 Juni 2013 menyatakan bahwa akan mengurangi 33% dari jumlah total karyawannya dengan alas an semakin berkurangnya hasil produksi pertambangan PT. NNT. Selanjutnya sengketa rakyat dengan perusaahan pertambangan juga telah seringkali terjadi di NTB, kasus Rakyat Sape dengan PT.SMN pada beberapa tahun yang lalu yang menewaskan 2 orang warga, kemudian kasus PT. Indotan di Sekotong Lombok Barat dan Tentu masih terang di ingatan kita juga terkait penembakan petani di tanak awu dan treng wilis beberapa tahun yang lalu yang mempertahankan hak kelolanya atas lahan pertanian dan sumber daya alamnya yang kemudian di hadiahi penyerangan, penangkapan dan bahkan penembakan terhadap massa rakyat. Kemudian yang baru-baru ini terjadi adalah penangkapan terhadap 4 orang petani Kwang Wae yang sering kali melakukan penolakan terhadap keberadaan Tambak Udang yang ada di desanya dan Petani Desa Raba Baka Dompu yang terus mendapat teror dari pihak petugas keamanan setempat terkait penggarapan daerah hutan tutupan  di daerah So Wuwu, Dewa dan Nggoti oleh Petani Raba Baka.
Berdasarkan seluruh penjelasan diatas, Maka teranglah sudah bahwa sesungguhnya kedudukan pertemuan KTT APEC di nusa dua Bali pada tanggal 1-8 oktober 2013 ini tak lebih dari agenda penuh tipu muslihat untuk mempermulus skema liberalisasi dan privatisasi menuju perampasan atas hak-hak hidup rakyat.
Maka, kami dari Indonesians People Alliance (IPA)/ Aliansi Rakyat Indonesia (ARI) Lombok menuntut :
1.      Bubarkan APEC dan WTO!
2.      Hentikan perampasan lahan oleh pertambangan dan perkebunan skala besar!
3.      Cabut UU no. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi!
4.      Selesaikan sengketa lahan petani di Mawun, tambak udang di Kwang wae, kasus tanah terlantar di raba baka dompu melaui penyelesaian berdasarkan UUPA tahun 60!
5.      Tolak PHK 33% daro total karyawan PT.NNT!
6.      Cabut Perda No. 1 tahun 2013 tentang perlindungan ahan pertanian berkelanjutan!
7.      Bebaskan 4 orang petani kwang wae dari segala tuntutan hukum!
8.      Realisasikan 20% anggaran pendidikan dari APBD dan APBN!
9.      Cabut kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk perguruan-perguruan tinggi!
10.  Berikan jaminan pekerjaan yang layak bagi Pemuda!
11.  Stop investasi asing dan berikan ruang kelola seluas-luasnya bagi rakyat di sector pariwisata!
12.  Laksanakan Reforma Agararia sejati!

Koordinator Umum

JUMADIL AWAL

Tidak ada komentar:

Posting Komentar