Minggu, 06 Oktober 2013

KTT APEC, Pertemuan Multirateral Menuju Liberlaisasi Perdagangan dan Privatisasi Sumber-sumber Hajat Hidup Rakyat.



Latar Belakang
Manifestasi dari watak dasar Imperialisme yang Ekspolitatif, Akumulatif dan Ekspansif, telah semakin nyata ditunjukkan dari berbagai skema yang dijalankan oleh Imperialisme dalam memperluas dan mempekuat domonasinya diberbagai Negeri. Serangkaian kebijakan yang dijalankan untuk memperkuat dominasinya di suatu negeri melalui intervensi dan secara lansung mendikte rezim boneka bentukannya untuk merumuskan dan menjalankan kebijakan yang senantiasa didasarkan pada kepentingannya yang akan terus dengan rakus menghisap rakyat (Cermin watak Eksploitatif-nya) dengan mengeruk seluruh sumberdaya yang dimiliki oleh suatu negeri, baik sumberdaya alam maupun manusia.
Dalam waktu yang bersamaan, Imperialisme juga akan terus dengan tamak melakukan penumpukan (Akumulatif) atas setiap bahan mentah yang telah dikeruknya diberbagai negeri, serta tanpa mempertimbangkan daya beli rakyat akan terus melakukan produksi secara massal sehingga (Dalam perspektifnya) dapat menguasai pasar, khususnya dalam menentukan harga dan besaran pasokan (distribusi) atas setiap produknya. Disisi yang lain, dengan bahan mentah yang telah dikeruk dan hasil produksi yang terus menumpuk, Imperialisme akan terus memperluas sasaran distribusinya (Pasar) hingga keberbagai belahan dunia.
Sesuai dengan hukum  perkembangan yang ada, setiap aspirasi culas dan Ilusi yang dibangun oleh Imperialisme telah  terbantahkan oleh kenyataan yang telah diciptakannya. Sehingga, dengan ulahnya sendiri yang begitu rakus, tamak dan brutal akan menghantarkan Imperialisme itu sendiri pada kematiannya yang secara bertahap semakin dekat. Seiring perkembangan masyarakat, Imperialisme tidak akan pernah mampu menghindari stagnasi dan overproduksi dalam produksinya, serta kian meyempitnya pasar akibat daya beli rakyat yang terus menurun. Hal inilah yang kemudian berimbas pada krisis yang hari demi hari kian akut dirasakannya. Krisis itu meliputi krisis energy hingga krisis finansial yang kemudian memaksa Pemerintah AS sebagai pucuk pimpinan tertinggi dari Imperialisme menerapkan kebijakan Baillout yang berwujud pada pencabutan subsidi-subsidi sosial kemasyarakatan tak terkecuali pencabutan subsidi BBM yang berimbas terhadap naiknya harga BBM beberapa waktu yang lalu.
Tidak terbantahkan bahwa tersebut kemudian akan berujung pada kehancuran baginya. Sebab, krisis yang di alami langsung oleh Imperialisme tentunya akan berakibat pada semakin berlipatgandanya penghisapan dan penindasan terhadap rakyat  hal tersebut sesungguhnya akan melahirkan situasi yang paling menakutkan dan terus memberi ancaman bagi kehancuran Imperialisme itu sendiri, yakni bangkitnya kesadaran rakyat tertindas yang secara bertahap terus meningkatkan kualitas perlawanannya untuk membebaskan diri dari jerat penghisapan dan berbagai bentuk penidasan telah kian massif diseluruh penjuru negeri, termasuk juga di Negeri-negeri Imperialis itu sendiri, bahkan Amerika Serikat sekalipun. 
Dasar-dasar ketertindasan  rakyat dunia dan sebab-sebab utama kehancuran bagi imperialisme tersebut dapat dilihat dari berbagai perjanjian dan kerjsama yang dibangun imperialisme, baik perjanjian atau kerjasama  skala multilateral (global dan regional) maupun bilateral tujuannya adalah tak lain dari  untuk terus dapat memperluas dan memperkuat dominasinya dalam  rangka mengintensifkan penghisapan atas bahan mentah dan tenaga kerja, serta perluasan pasar.


KTT APEC, Pembangunan Ekonomi Menuju Kemandirian Ekonomi Palsu ala Imperialisme
APEC (Asia Pasific Economic Cooperation) bukanlah suatu skema kerja sama regional yang berlangsung secara independen untuk membangun ekonomi mandiri di wilayah Asia Pasfik, melainkan merupakan skema kerja sama yang tidak terlepas dari intervensi US sebagai kekuatan Imperialisme yang dominan, hal ini dibuktikan dengan kehadiran Menteri Luar negeri AS  dalam acara tersebut, yang sebelumnyaBarack Obama yang akan hadir, akan tetapi karena situasi krisis yang parah sampai mengeluarkan kebijakan shutdown di dalam negerinya membuat dia tidak bisa hadir, akan tetapi diwakilkan oleh menteri luar negerinya. Lebih tepatnya APEC merupakan satu kendaraan untuk mengkonsolidasikan Negara-negara yang berada di kawasan Asia pasifik yang kemudian diikat dengan seluruh skema perjanjian kerjasama ekonomi dan perdagangan. Secara khusus, skema ini berekedudukan sebagai penjamin akan terlibatnya seluruh Negara dikawasan Asia Pasifik dalam menjalankan seluruh skema global yang ditransformasikan melalui Negara-negara Anggota kerjasama global yang telah dibangun dan dikontrol secara langsung oleh Imperialisme AS, yang kesemua itu diorientasikan untuk penyelamatan ekonomi Imperialisme AS dari jeratan krisis yang hari demi hari terus berkembang menajam.
Pada tahun 2013 ini, sebagai tuan rumah, Indonesia akan mengusung tiga prioritas utama sebagai bagian perjanjian yang akan disepakati dalam pertemuan APEC  mendatang. Prioritas utama tersebut yakni, mencapai the Bogor Goals, mewujudkan kesetaraan dalam pembangunan berkelanjutan, dan mendorong terwujudnya konektivitas. Gita Wirjawan (Menteri perdagangan RI) menyebutkan, bahwa ketiga prioritas tersebut diarahkan untuk mewujudkan tema APEC dibawah keketuaan Indonesia tahun ini, yaitu menjadikan ‘Asia Pasifik yang berdaya tahan sebagai mesin penggerak pertumbuhan ekonomi dunia.’ Kepada seluruh Menteri Ekonomi APEC bahkan ditegaskan, bahwa pentingnya ketiga prioritas utama tersebut ialah sebagai usaha serius untuk melanjutkan upaya pencapaian the Bogor Goals, yang didasarkan pada isi deklarasi APEC Bogor “APEC Bogor Declaration” pada tahun 1994, yakni liberalisasi dan fasilitasi perdagangan, serta investasi yang didukung kerjasama ekonomi dan teknis.
Dalam melanjutkan proses pengurangan emisi karbon secara global, tahun ini Indonesia juga akan  mengusulkan penambahan sejumlah produk pertanian yang ramah lingkungan, seperti Crude Palm Oil (CPO) dan karet, agar dapat dimasukkan ke dalam daftar APEC Environmental Goods (EGs). Pemerintah meng-Ilusikan bahwa, selain mendorong pelestarian lingkungan, produk berbasis pertanian ini juga dapat meningkatkan kesejahteraan para petani, dan pada akhirnya memperkecil disparitas ekonomi antar anggota. Dalam hal ini, sesunngguhnya Imperialisme tengah membidik dua hal yang pertama adalah bagaiman menjual mesin-mesin ramah lingkungan yang sesungguhnya adalah mesin overproduksi milik AS, yang kedua tentunya tetap berbicara soal monopoli bahan baku yang berupa hasil produksi pertanian tersebut.
Terkait dengan kesetaraan, Indonesia akan mendorong agar APEC dapat lebih memberdayakan UKM, perempuan, pemuda dan kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan. Mendagri mengatakan, hal ini harus sejalan dengan upaya mencapai ketahanan pangan, pembukaan akses kepada pembiayaan, mendorong peningkatan kualitas kesehatan, termasuk pelibatan UKM dalam rantai produksi global. Pemerintah juga mengajak para Menteri Ekonomi APEC untuk meningkatkan daya saing kawasan Asia Pasifik dengan memperkuat konektivitas, sehingga transaksi perdagangan dapat menjadi lebih murah, cepat, mudah, dan aman.
Selain itu juga, berdasarkan pada hasil Senior Officer Meeting (SOM) III APEC, Indonesia juga mengusulkan penyusunan rencana kerja pengembangan pendidikan dan tenaga kerja lintas batas terpadu di Asia Pasifik. Dalam pertemuan ini Indonesia melalui perwakilannya Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Bambang Indriyanto manyatakan komitmen dan kesiapannya dalam pengembangan pendidikan dan tenaga kerja lintas batas di Asia Pasific khususnya melalui kemitraaan pemerintah dan swasta dan itu diusulkan di HRDWG (Human Resources Development Working Group).
Yuri O. Thamrin Ketua SOM Indonesia dalam siaran pers menyatakan bahwa pengembangan agenda ini membuat pergerakan lebih mudah bagi pelajar, peneliti, dan penyedia jasa pendidikan Indonesia di wilayah Asia Pasifik. Pendidikan yang bermutu akan mudah dinikmati oleh siapapun tanpa banyak tersekat oleh batas-batas negara. Dalam skema ini, pemerintah Indonesia membangun ilusi bahwa skema akan mampu mendorong kualitas pendidikan Indonesia menjadi lebih maju dan kemudian bisa bersaing dengan penyedia-penyedia jasa pendidikan luar negeri dengan kata lain terbuka ruang juga bagi Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikan di Negara-negara lain.
Khusus untuk isu tenaga kerja lintas batas, Indonesia mendukung proyek penyusunan Skills Mapping Asia Pacific. Dimana APEC dapat menyelaraskan kebutuhan tenaga kerja dengan ketersediaan keahlian. Artinya bahwa, terbuka keran bagi lulusan-lulusan perguruan tinggi untuk kemudian menjadi tenaga kerja Indonesia di luar negeri, hal ini sesungguhnya merupakan skema dari ketidakmampuan Pemerintah Indonesia dalam menyiapkan lapangan pekerjaan bagi Lulusan-lulusan Perguruan Tinggi Indonesia.
Kedudukan KTT APEC yang melibatkan lebih kurang 12 Kepala Negara dan 1200 pengusaha, juga semakin memperterang. Bahwa kedudukan KTT APEC sesungguhnya bukanlah untuk membangun kemandirian ekonomi untuk negara-negara wilayah Asia Pasifik akan tetapi, selain sebagai ajang pengikatan perjanjian-perjanjian kerja sama antar negara juga merupakan ajang jual beli sector-sektor yang kemudian harapanya bisa diminati oleh 1200 pengusaha yang terlibat didalamnya.

KTT APEC Sebagai Tahapan Konsolidasi Menuju Pertemuan Tingkat  Menteri ke IX WTO
Dari uraian persiapan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia juga dapat dilihat korelasi langsung antara APEC dengan berbagai skema kerjasama Imperialisme lainnya, khsusnya terkait dengan MDG’s dan WTO. Dibawah perspektif pembangunan dan orientasi yang timpang jauh dari aspirasi Rakyat, seluruh program tersebut hanya akan menjadi ilusi yang akan terus menambah penderitaan bagi Rakyat. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan berbagai kenyataan akan dampak implementasi seluruh perjanjian dan kerjasama tersebut di Indonesia. Baik dengan Ilusi perdagangan karbon dan Ekonomi hijau (Green Economy) yang terus memperhebat perampasan tanah kaum tani, meningkatkan angka pengangguran dan hilangnya sumber-sumber penghidupan Rakyat.
Demikian pula dengan jargon “kerjasama perdagangan yang murah, cepat dan aman” telah menyebabkan tidak berkembangnya Industri nasional dan bangkrutnya pengusaha-pengusaha dan pedagang kecil di Indonesia. Hal tersebut tentu saja hanya menjadi ilusi bagi rakyat ditengah monopoli modal dan pasar oleh kapitalis monopoli yang tengah terjerat krisis akibat overproduksi didalam negerinya. Target tersebut, relevan dengan target-target yang ingin di capai oleh WTO melalui pertemuan tingkat menteri kesembilan pada bulan Desember mendatang. Salah satu target tersebut yakni, mewujudkan kerjasama perdagangan bebas tariff, atau selaras juga dengan kerjasama perdagangan global yang dianut oleh banyak Negara dan kawasan, yakni kerjasama perdagangan bebas (Free Trade Agreements/FTA).

KTT APEC Menyedot Banyak Anggaran Negara
Indonesia sebagai tuan rumah perhelatan KTT APEC tak tanggung-tanggung telah menganggarkan Rp.352.884.905.000 untuk perhelatan ini. Tentunya ini adalah anggaran yang sangat besar di tengah situasi krisis dan kesulitan ekonomi yang di rasakan oleh rakyat Indonesia yang justru diakibatkan oleh liberalisasi perdagangan dan privatisasi yang akan menjadi pokok pembicaraan dalam perhelatan KTT APEC ini. Anggaran tersebut kemudian akan di kelola oleh 6 lembaga negara dengan rincian sebagai berikut :
1. Kementerian Keuangan, Rp 16.587.980.230 untuk 6 program kegiatan acara APEC
2. Kementerian Luar negeri, Rp 222.427.319.000 untuk 4 program kegiatan
3. Kementerian Perdagangan sebesar Rp 9.314.012.000 untuk 3 program kegiatan
4. Kementerian Sekretariat Negara sebesar Rp 45.406381000 untuk satu program
5. Kementerian Komunikasi dan Informatika, Rp.57.500.000.000
6. KPK, Rp 1.649.213.500 dengan dua program kegiatan.
Besarnya anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia ini semakin menunjukkan betapa menghambanya Rezim SBY-Budiono terhadap perintah tuan capital monopolinya di bawah pimpinan AS. Indoneia di tengah  keterpurukan ekonomi rakyatnya, di tengah mahalnya biaya pendidikan, susahnya akses rakyat terhadap pekerjaan yang layak, mahalnya biaya produksi dan murahnya harga hasil produksi pertanian bagi petani, semakin menyempitnya lahan pertanian akibat privatisasi baik oleh pertambangan pun juga oleh perkebunan-perkebunan skala besar serta kurangnya fasilitas pendukung untuk memajukan taraf ekonomi rakyatnya justru mengobral anggaran yang sangat besar hanya sekedar untuk menjamu dan memberikan fasilitas mewah bagi  peserta KTT APEC.
Sungguh ini adalah situasi yang ironis bagi rakyat Indonesia, Pemerintah SBY-Budiono jauh lebih memillih menghamburkan anggaran negara untuk membiayai agenda-agenda yang sama sekali tidak menguntungkan bagi rakyat, ketimbang harus membiayai hal-hal yang bersinggungan langsung dengan hajat hidup rakyat.

Liberalisasi Perdagangan dan Privatisasi di NTB
Skema Liberalisasi dan privatisasi ini sesungguhnya bukanlah barang baru bagi rakyat, akan tetapi telah lama terlaksana secara apik dan baik di Indonesia di bawah kepemimpinan Rezim Susilo Bambang Yudhoyono. Di NTB sendiri kedudukan TGB. Zainul Majdi sebagai Gubernur NTB mampunyai raport yang baik dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan ini di NTB, misal saja skema MDGs yang sukses dimanifestasikan dalam program A3 (Akino, Absano dan Adono) oleh TGB. Yang kemudian dalam pelaporannya TGB juga seolah mengcopy-paste metode pelaporan SBY yaitu dengan melakukan pembohongan-pembohongan statistic, dimana TGB menyatakan bahwa angka buta aksara dan angka kemiskinan di NTB telah menurun secara drastis. Angka kemiskinan sebelumnya berada pada angka 23% kini telah menjadi 19%, sesungguhnya yang dilakukan TGB sesuai dengan yang dilakukan oleh SBY yaitu dengan menurunkan angka Standar Hidup Layak rakyat  menjadi 1 USD per-hari (padahal Bank dunia menetapkan bahwa angka hidup layak adalah 2 USD per-hari, angka 1 USD dolar ini justru masuk dalam kategori tingkat kemiskinan yang sangat parah), jika kita berhitung dari kebutuhan makan saja, maka angka ini sesungguhnya amatlah jauh dari angka keterpenuhan kebutuhan hidup layak rakyat, belum lagi dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya, seperti pendidikan, transportasi dan telekomunikasi, yang justru sesungguhnya juga masuk dalam kategori kebutuhan pokok rakyat.
Selain itu juga, TGB sukses menjalankan skema Green Economy dalam bentuk program PIJAR (Sapi, Jagung dan Rumput Laut) di NTB. dimana Rakyat NTB di dorong untuk beternak Sapi, menanam Jagung dan membudidayakan Rumput Laut, yang kesemuanya itu tidak dioorientasikan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi rakyat NTB melainkan untuk mengisi kebutuhan liberalisasi pasar dan pengembangan green economy ala Imperialisme. Selain itu juga, TGB sukses menambah jumlah penguasaan lahan untuk PT.NNT sampai ke Dodorinti. Kedudukan TGB sebagai coordinator MP3EI koridor V juga semakin menegaskan kedudukan TGB sebagai komparador tepercaya Imperialisme di NTB bahkan Indonesia wilayah Timur.
Selanjutnya, Kedudukan staregis NTB sebagai provinsi yang berada di tengah-tengah negara Indonesia mempunyai arti strategis sebagai jalur penghubung ekonomi antara wilayah Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur. Diamana Indonesia sendiri telah membagi wilayahnya menjadi dua wilayah pengembangan, dimana Indonesia bagian barat berkedudukan sebagai wilayah pengembangan sector perkebunan dan Indonesia bagian timur sebagai wilayah pengembangan sector pertambangan. NTB sendiri dalam pembagian ini  masuk dalam wilayah Indonesia bagian timur sebagai pengembang sector pertambangan. Hal ini kemudian dibuktikan dengan bayaknya investasi sector pertambangan di wilayah NTB, sampai dengan saat NTB telah menerbitkan  196 IUP dan 1 Kontrak Karya yang terdiri dari 68 perusahaan logam, 28 perusahaan non logam dan 101 perusahaan batuan dengan total luas areal pertambangan  891.150 ha, dimana PT.NNT masih sebagai penguasa lahan terluas yaitu 87.540 Ha.
Selain sector pertambangan yang merupakan sector investasi unggulan, NTB juga memberikan ruang untuk investasi di sector yang lain seperti sector perkebunan yang sejauh ini penguasaan lahannya telah mncapai 749 Ha. Perusahaan pengembangan sector perkebunan tersebut Atas nama PT. Cosambi Victoria (99 Ha) dan PT. Agrindo Nusantara (650 Ha). Sesungguhnya jika dilihat dari komoditi tanam seperti tembakau, jagung, jambu mente, kopi, dll, perkebunan justru sangat banyak menguasai lahan  rakyat melalui mekanisme penyeragaman komoditi tanam, dalam hal ini petani diberikan pinjaman berupa bibit dan pupuk dengan konsekwensi petani harus menjual kembali hasil produksinya ke perusahaan pemberi pinjaman dengan harga yang telah ditentukan secara sepihak oleh perusahaan tersebut tentunya (skema ini disebut skema kemitraan, artinya perusaahan tersebut membangun mitra dengan petani). Komoditi tembakau misalnya, dikuasai oleh 21 perusahaan diantaranya adalah PT Gudang Garam, Indonesia Indi Tobaco Citra Niaga, PT Karya Putra Maju, dan PT Seng Sasak, dan PT Sadhana Arifnusa atau perusahaan milik Sampoerna Group selaku perusahaan mitra petani tembakau di Pulau Lombok yang terbesar. Selanjutnya, PT Indonesia Dwi9, PT Export Leaf Indonesia, PT Dua Jarum, CV.Tresno Adi, Nyoto Permadi, Indonesia Indi Tobaco Citra Niaga, UD Subiyakto, UD Keluarga Sapi, UD Cakrawala, Satuning Mitra Lestari, UD Iswanto, UD Sumber Rezeki Pancor, UD Kemuning Sari Taya Jaya, Stevi dan PT Selaparang Agro serta PT Gudang Garam sejauh ini menguasai lahan dengan skema seperti yang dimaksud diatas mencapai 58.516 hektare. Dimana Sebanyak 10.098 ha berada di wilayah Kabupaten Lombok Barat, 19.263 ha di Lombok Tengah, dan 29.154 ha di Lombok Timur dengan masa produksi selama 5 bulan. Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan NTB menyebutkan potensi produksi tembakau Virginia di Pulau Lombok mencapai 48.000 ton atau 95 persen dari total kebutuhan tembakau virginia nasional sebanyak 50.000 ton per tahun. Kemudian harga yang diberikan kepada petani tembakau oleh 21 perusahaan tersebut berkisar antara Rp16.000-Rp29.000/kilogram.
Lain di sector perkebunan lain pula di sector kehutanan, dari total luas hutan NTB yaitu 1.069.997,78 Ha. 64.780 Ha diantaranya adalah kawasan IUPHHK-HTI oleh 3 perusahaan yaitu PT. Coin Nesia, PT. Usaha Tani Lestani, sedangkan 6.417,295 Ha  dan PT. Shadana Arif Nusa seluas 3.810 Ha yang menyebar di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Lombok utara, Lombok timur dan Lombok tengah, di Lombok tengah sendiri Sadhana mengantongi izin seluas 683 hektare, yang terbagi dalam dua blok, yakni Blok Mangkung seluas 173 hektare, dan Blok PLambik seluas 510 hektare (meliputi Desa Plambik, Kabul, Serage dan Montong Sapah). Penguasaan wilayah hutan lainnya merupakan Ijin paket Pinjam kawasan Hutan oleh PT.NNT  dengan nomor ijin no. 501/menhut-II/2009 tanggal 1 september 2009.
Wilayah hutan yang telah direncanakan maupun sudah di buka oleh pemerintah Provinsi NTB sebagai wilayah pertambangan sampai dengan saat ini adalah sebesar 479.311,12 ha dengan kata lain 53,75% dari total wilayah pertambangan justru berada berada di wilayah hutan.  
Kedudukan strategis NTB sebagai jalur penghubung ekonomi antar Wilayah barat Indonesia dengan wilayah timur Indonesia tentunya juga mempunyai potensi pengembangan sektor pariwisata yang cukup besar. Sejauh ini, sektor pariwisata telah menguasai lahan NTB seluas 46.185 Ha. yang  kemudian terbagi kedalam 17 kawasan, dimana 10 kawasan diantaranya berada di pulau Lombok dan 7 kawasan lainnya berada di pulau sumbawa. Sampai dengan hari ini sector ini telah di kuasai oleh 154 PMA dan 19 PMDN. khusus untuk Mandalika Resort yang sampai hari ini masih dalam  tahap pengerjaan terdiri dari 5 kawasan pantai yaitu Pantai Kuta,Tanjung Aan, Pantai Serenting, Keliuw dan Pantai Gerupuk dengan luas HPL 1. 175 Ha. Diberikan kepada PT. BTDC kemudian oleh PT.BTDC dibagikan kepada 5 perusahaan yaitu : MNC Land Tbk., PT. Gobel Inernasional, Rajawali Corp. Club Mediterranee dan Marine Cove.
Investasi (yang esensinya adalah privatisasi) di NTB sejauh ini jika di total, maka penguasaan lahannya adalah 1.006.674 ha atau sekitar 49,95% dari luas daratan NTB yang jumlahnya adalah 2.015.320 Ha. Sedangkan lahan yang tersisa untuk pengembangan sector pertanian hanya 239.127 Ha itupun menyerap 867.400 tenaga kerja, jika dirasiokan maka rasio kepemilikan lahan untuk petani NTB adalah 0,27 Ha (2,7 are) untuk setiap orang petani. Pada prakteknya ada sebagaian petani juga yang mempunyai lahan dari 50 are sampai 3 bahkan 4 ha. Artinya bahwa ada sebagian besar petani juga yang merupakan petani tanpa lahan (buruh tani).

Penutup
Berdasarkan gambaran di atas, maka terang bagi kita bahwa adanya investasi sesungguhnya bukanlah diperuntukkan untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat melainkan investasi sesungguhnya adalah penguasaan lahan secara pribadi yang dilakukan oleh pengusaha-pengusaha baik dalam negeri maupun Asing (privatisasi) dengan kata lain investasi hanya akan berakibat pada terusirnya rakyat dari lahannya sendiri atau dari ruang kelola atas hajat hidupnya sendiri, dan anehnya Negara di bawah kepemimpinan SBY-Budiono dan TGB di daerah NTB justru mengidan-idamkan situasi ini terjadi sesegera mungkin. Semangat besar rejim SBY-Budiono dalam menyiapkan berlangsungnya KTT APEC di Nusa Dua Bali adalah sebagai bukti nyatanya.
Selain itu juga, liberalisasi perdagangan hanya akan menyisakan ilusi bagi rakyat Indonesia tentang keterlibatan produk local dalam pasar global, selebihnya kita hanya akan menjadi pasar empuk bagi produk-produk milik Imperialisme. Bagaimana tidak, inprastruktur untuk keterlibatan dalam pasar global yang justru menjadi factor penentu justru tidak pernah dipersiapkan. Inprastruktur tersebut berupa Industri Nasional dan Pendidikan ilmiah, demokratis dan mengabdi pada rakyat.
Maka teranglah sudah bahwa sesungguhnya kedudukan pertemuan KTT APEC di nusa dua Bali pada tanggal 6-8 oktober 2013 mendatang tak lebih dari agenda penuh tipu muslihat untuk mempermulus skema liberalisasi perdagangan dan investasi menuju perampasan atas hak-hak hidup rakyat.

STOP LIBERALISASI PERDAGANGAN DAN PRIVATISASI HAJAT HIDUP RAKYAT !
TOLAK PERTEMUAN APEC DAN WTO!
JUNK APEC and WTO!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar