Latar Belakang
Manifestasi
dari watak dasar Imperialisme yang Ekspolitatif,
Akumulatif dan Ekspansif, telah
semakin nyata ditunjukkan dari berbagai skema yang dijalankan oleh Imperialisme
dalam memperluas dan mempekuat domonasinya diberbagai Negeri. Serangkaian
kebijakan yang dijalankan untuk memperkuat dominasinya di suatu negeri melalui
intervensi dan secara lansung mendikte rezim boneka bentukannya untuk
merumuskan dan menjalankan kebijakan yang senantiasa didasarkan pada
kepentingannya yang akan terus dengan rakus menghisap rakyat (Cermin watak
Eksploitatif-nya) dengan
mengeruk seluruh sumberdaya yang dimiliki oleh suatu negeri, baik sumberdaya
alam maupun manusia.
Dalam waktu
yang bersamaan, Imperialisme juga akan terus dengan tamak melakukan penumpukan (Akumulatif) atas setiap bahan mentah yang telah dikeruknya
diberbagai negeri, serta tanpa mempertimbangkan daya beli rakyat akan terus
melakukan produksi secara massal sehingga (Dalam perspektifnya) dapat menguasai
pasar, khususnya dalam menentukan harga dan besaran pasokan (distribusi) atas
setiap produknya. Disisi yang lain, dengan bahan mentah yang telah dikeruk dan
hasil produksi yang terus menumpuk, Imperialisme akan terus memperluas sasaran
distribusinya (Pasar) hingga keberbagai belahan dunia.
Sesuai dengan
hukum perkembangan yang ada, setiap
aspirasi culas dan Ilusi yang dibangun oleh Imperialisme telah terbantahkan oleh kenyataan yang telah
diciptakannya. Sehingga, dengan ulahnya sendiri yang begitu rakus, tamak dan
brutal akan menghantarkan Imperialisme itu sendiri pada kematiannya yang secara
bertahap semakin dekat. Seiring perkembangan masyarakat, Imperialisme tidak
akan pernah mampu menghindari stagnasi dan overproduksi dalam produksinya,
serta kian meyempitnya pasar akibat daya beli rakyat yang terus menurun. Hal inilah yang kemudian
berimbas pada krisis yang hari demi hari kian akut dirasakannya. Krisis itu
meliputi krisis energy hingga krisis finansial yang kemudian memaksa Pemerintah
AS sebagai pucuk pimpinan tertinggi dari Imperialisme menerapkan kebijakan
Baillout yang berwujud pada pencabutan subsidi-subsidi sosial kemasyarakatan
tak terkecuali pencabutan subsidi BBM yang berimbas terhadap naiknya harga BBM
beberapa waktu yang lalu.
Tidak
terbantahkan bahwa tersebut kemudian akan berujung
pada kehancuran baginya. Sebab, krisis yang di alami langsung oleh
Imperialisme tentunya akan berakibat pada semakin berlipatgandanya penghisapan
dan penindasan terhadap rakyat hal tersebut sesungguhnya akan melahirkan situasi yang paling menakutkan dan terus memberi ancaman bagi kehancuran Imperialisme itu sendiri, yakni bangkitnya kesadaran rakyat tertindas yang
secara bertahap terus meningkatkan kualitas perlawanannya untuk membebaskan
diri dari jerat penghisapan dan berbagai bentuk penidasan telah kian massif
diseluruh penjuru negeri, termasuk juga di Negeri-negeri Imperialis itu sendiri, bahkan Amerika Serikat
sekalipun.
Dasar-dasar ketertindasan rakyat dunia dan sebab-sebab utama kehancuran
bagi imperialisme tersebut dapat dilihat dari berbagai perjanjian dan kerjsama
yang dibangun imperialisme, baik perjanjian atau kerjasama skala multilateral (global dan regional) maupun bilateral tujuannya adalah tak lain dari
untuk terus
dapat memperluas dan memperkuat dominasinya dalam rangka mengintensifkan penghisapan atas bahan
mentah dan tenaga kerja, serta perluasan pasar.
APEC
(Asia Pasific Economic Cooperation) bukanlah suatu skema kerja sama regional
yang berlangsung secara independen untuk membangun
ekonomi mandiri di wilayah Asia Pasfik, melainkan merupakan skema kerja sama
yang tidak terlepas dari intervensi US sebagai kekuatan Imperialisme yang
dominan, hal ini dibuktikan dengan kehadiran Menteri Luar negeri AS dalam acara tersebut, yang sebelumnyaBarack
Obama yang akan hadir, akan tetapi karena situasi krisis yang parah sampai
mengeluarkan kebijakan shutdown di dalam negerinya membuat dia tidak bisa
hadir, akan tetapi diwakilkan oleh menteri luar negerinya. Lebih tepatnya APEC
merupakan satu kendaraan untuk mengkonsolidasikan Negara-negara yang berada di
kawasan Asia pasifik yang kemudian diikat dengan seluruh skema perjanjian
kerjasama ekonomi dan perdagangan. Secara khusus, skema ini berekedudukan
sebagai penjamin akan terlibatnya seluruh Negara dikawasan Asia Pasifik dalam
menjalankan seluruh skema global yang ditransformasikan melalui Negara-negara
Anggota kerjasama global yang telah dibangun dan dikontrol secara langsung oleh
Imperialisme AS, yang kesemua itu diorientasikan untuk penyelamatan ekonomi
Imperialisme AS dari jeratan krisis yang hari demi hari terus berkembang
menajam.
Pada tahun 2013 ini, sebagai tuan rumah, Indonesia akan mengusung tiga
prioritas utama sebagai bagian perjanjian yang akan disepakati dalam pertemuan
APEC mendatang. Prioritas utama tersebut yakni, mencapai the Bogor
Goals, mewujudkan kesetaraan dalam pembangunan berkelanjutan, dan mendorong
terwujudnya konektivitas. Gita Wirjawan (Menteri perdagangan RI)
menyebutkan, bahwa ketiga prioritas tersebut diarahkan untuk mewujudkan tema
APEC dibawah keketuaan Indonesia tahun ini, yaitu menjadikan ‘Asia Pasifik yang
berdaya tahan sebagai mesin penggerak pertumbuhan ekonomi dunia.’ Kepada
seluruh Menteri Ekonomi APEC bahkan ditegaskan, bahwa pentingnya ketiga prioritas
utama tersebut ialah sebagai usaha serius untuk melanjutkan upaya pencapaian the
Bogor Goals, yang didasarkan pada isi deklarasi APEC Bogor “APEC Bogor
Declaration” pada tahun 1994, yakni liberalisasi dan fasilitasi
perdagangan, serta investasi yang didukung kerjasama ekonomi dan teknis.
Dalam melanjutkan proses pengurangan emisi karbon secara global, tahun
ini Indonesia juga akan mengusulkan penambahan
sejumlah produk pertanian yang ramah lingkungan, seperti Crude Palm Oil
(CPO) dan karet, agar dapat dimasukkan ke dalam daftar APEC Environmental
Goods (EGs). Pemerintah meng-Ilusikan bahwa, selain mendorong pelestarian
lingkungan, produk berbasis pertanian ini juga dapat meningkatkan kesejahteraan
para petani, dan pada akhirnya memperkecil disparitas ekonomi antar anggota.
Dalam hal ini, sesunngguhnya Imperialisme tengah membidik dua hal yang pertama
adalah bagaiman menjual mesin-mesin ramah lingkungan yang sesungguhnya adalah
mesin overproduksi milik AS, yang kedua tentunya tetap berbicara soal monopoli
bahan baku yang berupa hasil produksi pertanian tersebut.
Terkait dengan kesetaraan, Indonesia akan mendorong agar APEC dapat
lebih memberdayakan UKM, perempuan, pemuda dan kelompok-kelompok yang selama
ini terpinggirkan. Mendagri mengatakan, hal ini harus sejalan dengan upaya
mencapai ketahanan pangan, pembukaan akses kepada pembiayaan, mendorong
peningkatan kualitas kesehatan, termasuk pelibatan UKM dalam rantai produksi
global. Pemerintah juga mengajak para Menteri Ekonomi APEC untuk meningkatkan
daya saing kawasan Asia Pasifik dengan memperkuat konektivitas, sehingga
transaksi perdagangan dapat menjadi lebih murah, cepat, mudah, dan aman.
Selain
itu juga, berdasarkan pada hasil Senior Officer Meeting (SOM) III APEC,
Indonesia juga mengusulkan penyusunan rencana kerja pengembangan pendidikan dan
tenaga kerja lintas batas terpadu di Asia Pasifik. Dalam pertemuan ini
Indonesia melalui perwakilannya Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Bambang Indriyanto manyatakan komitmen dan
kesiapannya dalam pengembangan pendidikan dan tenaga kerja lintas batas di Asia
Pasific khususnya melalui kemitraaan pemerintah dan swasta dan itu diusulkan di
HRDWG (Human Resources Development Working Group).
Yuri O. Thamrin Ketua SOM Indonesia
dalam siaran pers menyatakan bahwa pengembangan agenda ini membuat pergerakan
lebih mudah bagi pelajar, peneliti, dan penyedia jasa pendidikan Indonesia di
wilayah Asia Pasifik. Pendidikan yang bermutu akan mudah dinikmati oleh
siapapun tanpa banyak tersekat oleh batas-batas negara. Dalam skema ini, pemerintah Indonesia membangun
ilusi bahwa skema akan mampu mendorong
kualitas pendidikan Indonesia menjadi lebih maju dan kemudian bisa bersaing
dengan penyedia-penyedia jasa pendidikan luar negeri dengan kata lain terbuka
ruang juga bagi Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikan di Negara-negara lain.
Khusus
untuk isu tenaga kerja lintas batas, Indonesia mendukung proyek penyusunan
Skills Mapping Asia Pacific. Dimana APEC dapat menyelaraskan kebutuhan tenaga
kerja dengan ketersediaan keahlian. Artinya bahwa, terbuka keran bagi lulusan-lulusan
perguruan tinggi untuk kemudian menjadi tenaga kerja Indonesia di luar negeri,
hal ini sesungguhnya merupakan skema dari ketidakmampuan Pemerintah Indonesia
dalam menyiapkan lapangan pekerjaan bagi Lulusan-lulusan Perguruan Tinggi
Indonesia.
Kedudukan KTT APEC yang melibatkan
lebih kurang 12 Kepala Negara dan 1200 pengusaha, juga semakin memperterang.
Bahwa kedudukan KTT APEC sesungguhnya bukanlah untuk membangun kemandirian
ekonomi untuk negara-negara wilayah Asia Pasifik akan tetapi, selain sebagai ajang pengikatan
perjanjian-perjanjian kerja sama antar negara juga merupakan ajang jual beli
sector-sektor yang kemudian harapanya bisa diminati oleh 1200 pengusaha yang
terlibat didalamnya.
KTT
APEC Sebagai Tahapan Konsolidasi Menuju Pertemuan Tingkat Menteri ke IX WTO
Dari uraian persiapan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia juga dapat dilihat
korelasi langsung antara APEC dengan berbagai skema kerjasama Imperialisme
lainnya, khsusnya terkait dengan MDG’s dan WTO. Dibawah perspektif pembangunan
dan orientasi yang timpang jauh dari aspirasi Rakyat, seluruh program tersebut
hanya akan menjadi ilusi yang akan terus menambah penderitaan bagi Rakyat. Hal
tersebut dapat dibuktikan dengan berbagai kenyataan akan dampak implementasi
seluruh perjanjian dan kerjasama tersebut di Indonesia. Baik dengan Ilusi
perdagangan karbon dan Ekonomi hijau (Green Economy) yang terus memperhebat
perampasan tanah kaum tani, meningkatkan angka pengangguran dan hilangnya
sumber-sumber penghidupan Rakyat.
Demikian pula dengan jargon “kerjasama perdagangan yang murah, cepat
dan aman” telah menyebabkan tidak berkembangnya Industri nasional dan
bangkrutnya pengusaha-pengusaha dan pedagang kecil di Indonesia. Hal tersebut
tentu saja hanya menjadi ilusi bagi rakyat ditengah monopoli modal dan pasar
oleh kapitalis monopoli yang tengah terjerat krisis akibat overproduksi didalam
negerinya. Target tersebut, relevan dengan target-target yang ingin di capai
oleh WTO melalui pertemuan tingkat menteri kesembilan pada bulan Desember
mendatang. Salah satu target tersebut yakni, mewujudkan kerjasama perdagangan bebas
tariff, atau selaras juga dengan kerjasama perdagangan global yang dianut oleh
banyak Negara dan kawasan, yakni kerjasama perdagangan bebas (Free Trade
Agreements/FTA).
KTT
APEC Menyedot Banyak Anggaran Negara
Indonesia sebagai tuan rumah perhelatan
KTT APEC tak tanggung-tanggung telah menganggarkan Rp.352.884.905.000 untuk
perhelatan ini. Tentunya ini adalah anggaran yang sangat besar di tengah
situasi krisis dan kesulitan ekonomi yang di rasakan oleh rakyat Indonesia yang
justru diakibatkan oleh liberalisasi perdagangan dan privatisasi yang akan
menjadi pokok pembicaraan
dalam perhelatan KTT APEC ini. Anggaran tersebut kemudian akan di kelola oleh 6
lembaga negara dengan rincian sebagai berikut :
1. Kementerian Keuangan, Rp
16.587.980.230 untuk 6 program kegiatan acara APEC
2. Kementerian Luar negeri, Rp
222.427.319.000 untuk 4 program kegiatan
3. Kementerian Perdagangan sebesar
Rp 9.314.012.000 untuk 3 program kegiatan
4. Kementerian Sekretariat Negara
sebesar Rp 45.406381000 untuk satu program
5. Kementerian Komunikasi dan
Informatika, Rp.57.500.000.000
6. KPK, Rp 1.649.213.500 dengan dua
program kegiatan.
Besarnya anggaran yang dikeluarkan
oleh pemerintah Indonesia ini semakin menunjukkan betapa menghambanya Rezim
SBY-Budiono terhadap perintah tuan capital monopolinya di bawah pimpinan AS.
Indoneia di tengah keterpurukan ekonomi
rakyatnya, di tengah mahalnya biaya pendidikan, susahnya akses rakyat terhadap
pekerjaan yang layak, mahalnya biaya produksi dan murahnya harga hasil produksi
pertanian bagi petani, semakin menyempitnya lahan pertanian akibat privatisasi
baik oleh pertambangan pun juga oleh perkebunan-perkebunan skala besar serta
kurangnya fasilitas pendukung untuk memajukan taraf ekonomi rakyatnya justru
mengobral anggaran yang sangat besar hanya sekedar untuk menjamu dan memberikan
fasilitas mewah bagi peserta KTT APEC.
Sungguh ini adalah situasi yang
ironis bagi rakyat Indonesia, Pemerintah SBY-Budiono jauh lebih memillih
menghamburkan anggaran negara untuk membiayai agenda-agenda yang sama sekali
tidak menguntungkan bagi rakyat, ketimbang harus membiayai hal-hal yang
bersinggungan langsung dengan hajat hidup rakyat.
Liberalisasi
Perdagangan dan Privatisasi di NTB
Skema Liberalisasi dan privatisasi
ini sesungguhnya bukanlah barang baru bagi rakyat, akan tetapi telah lama
terlaksana secara apik dan baik di Indonesia di bawah
kepemimpinan Rezim Susilo Bambang
Yudhoyono. Di NTB
sendiri kedudukan TGB. Zainul Majdi sebagai Gubernur NTB mampunyai raport yang
baik dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan ini di NTB, misal saja skema
MDGs yang sukses dimanifestasikan dalam program A3 (Akino, Absano dan Adono)
oleh TGB. Yang kemudian dalam pelaporannya TGB juga seolah mengcopy-paste
metode pelaporan SBY yaitu dengan melakukan pembohongan-pembohongan statistic,
dimana TGB menyatakan bahwa angka buta aksara dan angka kemiskinan di NTB telah
menurun secara drastis. Angka kemiskinan sebelumnya berada pada angka 23% kini
telah menjadi 19%, sesungguhnya yang dilakukan TGB sesuai dengan yang dilakukan
oleh SBY yaitu dengan menurunkan angka Standar Hidup Layak rakyat menjadi 1 USD per-hari (padahal Bank dunia
menetapkan bahwa angka hidup layak adalah 2 USD per-hari, angka 1 USD dolar ini
justru masuk dalam kategori tingkat kemiskinan yang sangat parah), jika kita
berhitung dari kebutuhan makan saja, maka angka ini sesungguhnya amatlah jauh
dari angka keterpenuhan kebutuhan hidup layak rakyat, belum lagi dengan
kebutuhan-kebutuhan lainnya, seperti pendidikan, transportasi dan
telekomunikasi, yang justru sesungguhnya juga masuk dalam kategori kebutuhan
pokok rakyat.
Selain
itu juga,
TGB sukses menjalankan skema Green Economy dalam bentuk program PIJAR (Sapi,
Jagung dan Rumput Laut) di NTB. dimana Rakyat NTB di dorong untuk beternak
Sapi, menanam Jagung dan membudidayakan Rumput Laut, yang kesemuanya itu tidak
dioorientasikan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi rakyat NTB melainkan untuk
mengisi kebutuhan liberalisasi pasar dan pengembangan green economy ala
Imperialisme. Selain itu juga, TGB sukses menambah jumlah penguasaan lahan untuk PT.NNT sampai ke
Dodorinti. Kedudukan TGB sebagai coordinator MP3EI koridor V juga semakin
menegaskan kedudukan TGB sebagai komparador tepercaya Imperialisme di NTB
bahkan Indonesia wilayah Timur.
Selanjutnya, Kedudukan staregis NTB
sebagai provinsi yang berada di tengah-tengah negara Indonesia mempunyai arti
strategis sebagai jalur penghubung ekonomi antara wilayah Indonesia bagian
barat dengan Indonesia bagian timur. Diamana Indonesia sendiri telah membagi
wilayahnya
menjadi dua wilayah pengembangan, dimana Indonesia bagian barat berkedudukan sebagai wilayah
pengembangan sector perkebunan dan Indonesia bagian timur sebagai wilayah
pengembangan sector pertambangan. NTB sendiri dalam pembagian ini masuk dalam wilayah Indonesia bagian timur
sebagai pengembang sector pertambangan. Hal ini kemudian dibuktikan dengan
bayaknya investasi sector pertambangan di wilayah NTB, sampai dengan saat NTB
telah menerbitkan 196
IUP dan 1 Kontrak Karya yang terdiri dari 68 perusahaan logam, 28 perusahaan
non logam dan 101 perusahaan batuan dengan total luas areal pertambangan 891.150 ha, dimana PT.NNT masih sebagai
penguasa lahan terluas yaitu 87.540 Ha.
Selain
sector pertambangan yang merupakan sector investasi unggulan, NTB juga memberikan
ruang untuk investasi di sector yang lain seperti sector perkebunan yang sejauh
ini penguasaan lahannya telah mncapai 749 Ha. Perusahaan pengembangan sector
perkebunan tersebut Atas nama PT. Cosambi Victoria (99 Ha) dan PT. Agrindo
Nusantara (650 Ha). Sesungguhnya jika dilihat dari komoditi tanam seperti
tembakau, jagung, jambu mente, kopi, dll, perkebunan justru sangat banyak
menguasai lahan rakyat melalui mekanisme
penyeragaman komoditi tanam, dalam
hal ini petani diberikan pinjaman berupa bibit dan pupuk dengan konsekwensi petani harus menjual
kembali hasil produksinya ke perusahaan pemberi pinjaman dengan harga yang
telah ditentukan secara sepihak oleh
perusahaan
tersebut tentunya (skema ini disebut skema
kemitraan, artinya perusaahan tersebut membangun mitra dengan petani). Komoditi
tembakau misalnya, dikuasai oleh 21 perusahaan diantaranya adalah PT Gudang
Garam, Indonesia Indi Tobaco Citra Niaga, PT Karya Putra Maju, dan PT Seng
Sasak, dan PT Sadhana Arifnusa atau perusahaan milik Sampoerna Group selaku
perusahaan mitra petani tembakau di Pulau Lombok yang terbesar. Selanjutnya, PT
Indonesia Dwi9, PT Export Leaf Indonesia, PT Dua Jarum, CV.Tresno Adi, Nyoto
Permadi, Indonesia Indi Tobaco Citra Niaga, UD Subiyakto, UD Keluarga Sapi, UD
Cakrawala, Satuning Mitra Lestari, UD Iswanto, UD Sumber Rezeki Pancor, UD
Kemuning Sari Taya Jaya, Stevi dan PT Selaparang Agro serta PT Gudang Garam
sejauh ini menguasai lahan dengan skema seperti yang dimaksud diatas mencapai
58.516 hektare. Dimana Sebanyak 10.098 ha berada di wilayah Kabupaten Lombok
Barat, 19.263 ha di Lombok Tengah, dan 29.154 ha di Lombok Timur dengan masa
produksi selama 5 bulan. Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan NTB menyebutkan
potensi produksi tembakau Virginia di Pulau Lombok mencapai 48.000 ton atau 95
persen dari total kebutuhan tembakau virginia nasional sebanyak 50.000 ton per
tahun. Kemudian harga yang diberikan kepada petani tembakau oleh 21 perusahaan
tersebut berkisar antara Rp16.000-Rp29.000/kilogram.
Lain
di sector perkebunan lain pula di sector kehutanan, dari total luas hutan NTB
yaitu 1.069.997,78 Ha. 64.780 Ha diantaranya adalah kawasan IUPHHK-HTI oleh 3 perusahaan
yaitu PT. Coin Nesia, PT. Usaha Tani Lestani, sedangkan 6.417,295 Ha dan PT. Shadana Arif Nusa seluas 3.810 Ha yang
menyebar di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Lombok utara, Lombok timur dan
Lombok tengah, di Lombok tengah sendiri Sadhana mengantongi izin seluas 683
hektare, yang terbagi dalam dua blok, yakni Blok Mangkung seluas 173 hektare,
dan Blok PLambik seluas 510 hektare (meliputi Desa Plambik, Kabul, Serage dan
Montong Sapah). Penguasaan wilayah hutan lainnya merupakan Ijin paket Pinjam
kawasan Hutan oleh PT.NNT dengan nomor ijin no. 501/menhut-II/2009
tanggal 1 september 2009.
Wilayah hutan yang telah
direncanakan maupun sudah di buka oleh pemerintah Provinsi NTB sebagai wilayah
pertambangan sampai dengan saat ini adalah sebesar 479.311,12 ha dengan kata
lain 53,75% dari total wilayah pertambangan justru berada berada di wilayah
hutan.
Kedudukan strategis NTB sebagai jalur penghubung ekonomi
antar Wilayah barat Indonesia dengan wilayah timur Indonesia tentunya juga
mempunyai potensi pengembangan sektor pariwisata yang cukup besar. Sejauh ini, sektor pariwisata telah
menguasai lahan NTB seluas 46.185 Ha. yang
kemudian terbagi kedalam 17 kawasan, dimana 10 kawasan diantaranya berada di
pulau Lombok dan 7 kawasan lainnya berada di pulau sumbawa. Sampai dengan hari ini sector ini
telah di kuasai oleh 154 PMA dan 19 PMDN. khusus untuk Mandalika Resort yang
sampai hari ini masih dalam tahap
pengerjaan terdiri dari 5 kawasan pantai yaitu Pantai Kuta,Tanjung Aan, Pantai
Serenting, Keliuw dan Pantai Gerupuk dengan luas HPL 1. 175 Ha. Diberikan
kepada PT. BTDC kemudian oleh PT.BTDC dibagikan kepada 5 perusahaan yaitu : MNC
Land Tbk., PT. Gobel Inernasional, Rajawali Corp. Club Mediterranee dan Marine
Cove.
Investasi
(yang esensinya adalah privatisasi) di NTB sejauh ini jika di total, maka
penguasaan lahannya adalah 1.006.674 ha atau sekitar 49,95% dari luas daratan
NTB yang jumlahnya adalah 2.015.320 Ha. Sedangkan lahan yang tersisa untuk
pengembangan sector pertanian hanya 239.127 Ha itupun menyerap 867.400 tenaga
kerja, jika dirasiokan maka rasio kepemilikan lahan untuk petani NTB adalah
0,27 Ha (2,7 are) untuk setiap orang petani. Pada prakteknya ada sebagaian
petani juga yang mempunyai lahan dari 50 are sampai 3 bahkan 4 ha. Artinya
bahwa ada sebagian besar petani juga yang merupakan petani tanpa lahan (buruh
tani).
Penutup
Berdasarkan
gambaran di atas, maka terang bagi kita bahwa adanya investasi sesungguhnya bukanlah
diperuntukkan untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat melainkan investasi
sesungguhnya adalah penguasaan lahan secara pribadi yang dilakukan oleh
pengusaha-pengusaha baik dalam negeri maupun Asing (privatisasi) dengan kata
lain investasi hanya akan berakibat pada terusirnya rakyat dari lahannya
sendiri atau dari ruang kelola atas hajat hidupnya sendiri, dan anehnya Negara
di bawah kepemimpinan SBY-Budiono dan TGB di daerah NTB justru mengidan-idamkan
situasi ini terjadi sesegera mungkin. Semangat besar rejim SBY-Budiono dalam
menyiapkan berlangsungnya KTT APEC di Nusa Dua Bali adalah sebagai bukti
nyatanya.
Selain
itu juga, liberalisasi perdagangan hanya akan menyisakan ilusi bagi rakyat
Indonesia tentang keterlibatan produk local dalam pasar global, selebihnya kita
hanya akan menjadi pasar empuk bagi produk-produk milik Imperialisme. Bagaimana
tidak, inprastruktur untuk keterlibatan dalam pasar global yang justru menjadi
factor penentu justru tidak pernah dipersiapkan. Inprastruktur tersebut berupa
Industri Nasional dan Pendidikan ilmiah, demokratis dan mengabdi pada rakyat.
Maka
teranglah sudah bahwa sesungguhnya kedudukan pertemuan KTT APEC di nusa dua
Bali pada tanggal 6-8 oktober 2013 mendatang tak lebih dari agenda penuh tipu
muslihat untuk mempermulus skema liberalisasi perdagangan dan investasi menuju
perampasan atas hak-hak hidup rakyat.
STOP LIBERALISASI PERDAGANGAN DAN PRIVATISASI HAJAT
HIDUP RAKYAT !
TOLAK PERTEMUAN APEC DAN WTO!
JUNK APEC and WTO!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar