Jumat, 04 Mei 2012

“Melawan Perampasan Upah, Tanah, Kerja dan Tolak Kenaikan Harga BBM dan RUU PT, Hentikan Kekerasan Terhadap Seluruh Rakyat

di postkan Oleh : Front Perjuangan Rakyat NTB

Kebijakan Kenaikan Harga BBM Mencekik Rakyat Indonesia
Pada Akhir-akhir ini, rakyat Indonesia kembali di kagetkan dengan isu kenaikan harga BBM di tengah kemiskinan rakyat Indonesia yang semakin merosot. Selama kepemimpinan rezim SBY telah menaikan sebanyak 4 kali harga BBM, opini yang dibangun seolah-olah menaikan harga BBM adalah salah satu cara yang tepat untuk menyelamatkan ekonomi rakyat Indonesia. Namun, faktanya dari kenaikan harga BBM sebelumnya justeru ekonomi rakyat malah semakin menurun. Ketika kenaikan harga BBM di tahun 2005, kemiskinan semakin bertambah  yang sebelumnya 31,1 persen naik menjadi 39,3 persen di tahun 2006, begitupun pertumbuhan inflasi menjadi 17,75 persen (Sumber; Tim Indonesia Bangkit, Hendri Saparini).
Meningkatnya kemiskinan merupakan dampak signifikan dari kenaikan harga BBM. Sebab, Bahan Bakar Minyak (BBM) pada saat sudah menjadi kebutuhan mendasar bagi perekonomian rakyat seluruh dunia seperti industry, transportasi dan indsutri rumah tangga. Artinya bahwa, bisa di pastikan dengan kenaikan harga BBM tentu akan berdampak terhadap kenaikan kebutuhan pokok rakyat. Di satu sisi, pendapatan rakyat yang tidak tentu “mau tidak mau” rakyat  secara perlahan-lahan kehidupannya akan mengalami kemerosotan.

Berbagai macam alasan pemerintah untuk tetap memaksakan kenaikan harga BBM semakin membuktikan bahwa sesungguhnya SBY-boediono adalah sebagai rezim anti rakyat yang sejatinya untuk memenuhi serakahnya imperialisme yang mendominasi atas penindasan terhadap rakyat Indonesia.

Beberapa alasan SBY di antaranya yang Pertama; Membengkaknya jumlah subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akibat naiknya harga minyak dunia. Dasar kenaikan harga BBM terkait dengan kebijakan subsidi yang membengkak karena kenaikan harga minyak dunia adalah omong kosong besar karena Indonesia adalah termasuk negara produsen yang seharusnya diuntungkan dengan kenaikan harga minyak dunia. Selama ini pemerintah menutup-nutupi berapa keuntungan tambahan yang didapat dari naiknya harga minyak dunia. Bila masalahnya adalah patokan harga minyak mentah Indonesia yang dipatok sebesar US$ 90 per barel, dan harus disesuaikan dengan kenaikan harga yang baru, kebijakan ini bisa ditetapkan tanpa harus menaikkan harga BBM yang sangat merugikan rakyat umum. Artinya, dasar alasan menaikkan harga BBM bila dihubungkan dengan defisit anggaran APBN tidak menemukan alasan yang obyektif bila didasarkan pada kenaikan keuntungan yang didapat oleh Indonesia sebagai negara produsen minyak mentah. Masalahnya adalah pemerintah SBY tidak bisa dipercaya, manipulatif dan tidak berpihak pada kepentingan umum rakyat Indonesia.

Kedua; Masyarakat yang kurang mampu akan menikmati manfaat lebih besar jika harga premium dan solar lebih tinggi. Sebab masyarakat kurang mampu bukan konsumen premium maupun solar yang terbesar. Apakah benar rakyat Indonesia yang pada umumnya adalah rakyat miskin tidak diuntungkan oleh subsidi BBM? Bila alasannya adalah subsidi yang tidak tepat sasaran, mengapa kenaikan BBM tidak mengarah pada mempertahankan subsidi bagi konsumen rakyat miskin dan menghapus subsidi pada warga kaya, namun menaikkan secara pukul rata kemudian dampaknya yang menderita rakyat umum yang mayoritas miskin?

Dari data yang terhimpun, konsumsi BBM paling besar diduduki oleh sektor transportasi dengan kecenderungan yang terus meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun. Konsumen di sektor transportasi yang mengalami peningkatan pesat adalah kendaraan bermotor kemudian disusul oleh mobil (lihat, tabel. 1). Patut dicatat bahwa pengguna terbesar kendaraan bermotor adalah mayoritas rakyat dengan pendapatan yang minim; mereka yang mayoritas membeli kendaraan dengan cara kredit. Artinya, kenaikan BBM akan dengan segera memukul pendapatan mayoritas rakyat pengguna kendaraan motor yang sangat bergantung pada BBM. Sementara pengguna solar yang tidak kalah besar adalah mayoritas nelayan tradisional yang miskin di negeri maritim ini. Pembelian BBM bagi operasional nelayan mencapai 50-60 persen dari biaya produksi. Kenaikan harga solar secara pasti memukul kaum nelayan miskin.

Sedangkan sektor industri bahkan mengalami kecenderungan menurun, menurut data yang dihimpun hingga tahun 2009. Karakter industri dalam masyarakat setengah feodal yang didominasi oleh industri milik asing, mengalami pasang surut yang tidak menentu sebagai akibat krisis keuangan global yang memukul negeri-negeri imperialis seperti AS dan Uni Eropa; sementara banyak industri nasional yang mengalami kebangkrutan akibat badai krisis ekonomi kronis yang terjadi di dalam negeri dan dampak dari krisis keuangan yang terjadi sejak tahun 2008.

Ketiga; Harga jual solar dan premium yang terlalu rendah dibanding harga diluar negeri juga cenderung mendorong penyelundupan dan penyelewengan solar dan premium yang seharusnya diperuntukkan konsumen dalam negeri. Sungguh alasan dangkal dan tak bertanggung jawab yang menunjukkan Pemerintah SBY tidak memiliki kapasitas dalam penegakkan hukum untuk menangkap dan menindak para penyelundup dan penyeleweng BBM di dalam negeri. Sungguh argumen yang tak tahu malu bila ketidakmampuan Pemerintah SBY ini dicarikan solusi dengan menaikkan harga BBM. Lantas apa pekerjaan aparat hukum dari intelejen, kepolisian, tentara di wilayah perbatasan bila mereka tidak sanggup menangkap para penyelundup dan penyeleweng BBM ke luar negeri? Sekali lagi kita menemukan dasar argumen yang paling dangkal dan solusi yang justru merugikan rakyat pada umumnya.

Keempat; Penerimaan dari migas semakin kecil karena produksinya menurun sementara subsidinya justru makin meningkat karena konsumsi semakin besar. Masalah ini mengemukakan sebagai akibat dari kebijakan Pemerintah SBY sendiri yang membudak pada imperialis dengan menyerahkan bulat-bulat seluruh kekayaan alam minyak dan gas kepada pihak asing. Penurunan produksi sangat berkaitan erat dengan siapa yang memonopoli sumber minyak kita. Apakah Pemerintah SBY pernah melakukan langkah politik untuk menyelamatkan migas nasional dengan jalan menghambat perusahaan migas asing, atau menasionalisasi perusahaan asing yang merampok dan merugikan rakyat Indonesia tersebut? Terdengar seperti ratapan hina seorang pengemis, Pemerintah SBY yang membuka lebar-lebar investasi asing untuk menguasai migas nasional, kemudian dia sendiri yang meratapi penurunan jumlah pendapatan dan produksi migas nasional. Dan lebih hina lagi, omong kosong inilah yang dijadikan alasan untuk menaikkan harga BBM dan bukan dengan melakukan kebijakan penguasaan kembali seluruh sumber minyak nasional untuk kepentingan nasional sebagai solusi dengan jalan melawan dominasi asing.
Hangatnya isu kebijakan kenaikan harga BBM pada 1 April menuai protes penolakan yang begitu luas dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Alhasil, atas perjuangan rakyat DPR RI memutuskan untuk penundaan kenaikan harga BBM dengan lahirnya Pasal 7 ayat 6 a dalam RAPBN-P 2012 yang menegaskan harga minyak mentah Indonesia (ICP) mencapai 15 % dari asumsi APBNP 2012 sebesar US$ 105 per barel dalam kurun waktu 6 bulan,  pemerintah boleh menaikan harga BBM.
Keputusan DPR RI tersebut,  kita belum bisa menerima mentah begitu saja seakan-akan keputusan tersebut adalah sudah benar. Ada hal yang perlu di analisis terhadap pasal siluman yang sering di sebutkan semenjak lahirnya pasal tersebut. Sebab, pasal ini merupakan salah satu bentuk upaya untuk meredam protes yang dilakukan oleh rakyat. Terbukti, semenjak lahirnya pasal tersebut gerakan rakyat yang menolak kenaikan harga BBM sudah hilang begitu saja. Perlu di ingat, pada hakikatnya BBM akan tetap dinaikan apalagi adanya pasal 7 ayat 6 a yang memberikan sepenuhnya kewenangan pemerintah untuk menaikan harga BBM sesuai dengan perkembangan naiknya harga minyak dunia. Jelas-jelas pasal ini sangat bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasal 28 UU Migas bahwasanya harga BBM tidak boleh diserahkan kepada mekanisme pasar.
RUU PT adalah Wujud Nyata SBY-Boediono Sebagai Rezim Kaki Tangan Imperialisme AS
Tidak hanya kebijakan BBM, di sektor pendidikan pemerintah semakin memperkuat komersialisasi dan privatisasi pendidikan dengan adanya Rancangan Undang-undang pendidikan Tinggi (RUU PT). Skema yang  dibangun oleh pemerintah terhadap sector pendidikan bagaimana memastikan rakyat Indonesia tetap menjadi penyetok tenaga kerja murah yang siap di pasok di industry miliknya imperialisme.
Jika ditilik dari  sejarah lahirnya RUU PT, tidak terlepas dari kepentingan kapitalisme monopoli internasional (imperialism) yang mendesak Negara-negara berkembang untuk melakukan liberalisasi seluruh sektor jasa yang memangkas subsidi public, deregulasi dan privatisasi yang termanifestasi dari SAP (structural adjustment program). Salah satu wujud dari SAP melalui lembaga perdagangan Internasional yang bernama WTO. Pada tahun 1995, menjerumuskan negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk meratifikasi GATS. Dalam GATS diatur bahwasanya bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia harus meliberalisasikan 12 sektor jasa yang salah satunya adalah pendidikan tinggi agar menjadi komoditas yang diperdagangkan secara internasional.  
Pemerintah SBY sebagai rezim fasis dan anti rakyat telah bekerja sama dengan IMF untuk mempermulus liberalisasi disektor public yang memangkas subsidi public termasuk salah satunya pendidikan. Sehingga pada tahun 1999, pemerintah Indonesia melahirkan PP 61 tahun 1999 tentang PT BHMN telah mengubah 5 PTN menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (UI, ITB, IPB, UGM dan UNAIR) yang mendorong PT BHMN untuk mencari dana mandiri, sementara PTN-PTN juga di dorong untuk berlomba-lomba untuk mencari dana mandiri. Dalam perkembangannya, kondisi tersebut yang melahirkan komersialisasi pendidikan di Indonesia yang mempersulit anak buruh, kaum tani, pegawai rendahan dan pedagang asongan untuk mengakses Pendidikan Tinggi.
Dalam perjalanannya, untuk memperkuat komersialisasi pendidikan maka pemerintah mempertegas dalam UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 yang mengamanatkan bahwa penyelenggaraan pendidikan harus berbentuk badan hukum pendidikan (pasal 53) dan penyelenggaraan pendidikan tinggi harus otonom (pasal 24 dan pasal 50 ayat 1). Sehingga untuk menjalankan pasal 53, pemerintah mewujudkan melalui UU no 9 tahun 2009 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, pada akhir tahun 2010 DPR RI bersama kemendikbud merancang secara bersama-sama RUU Pendidikan Tinggi yang kelaka akan mengatur lebih spesifik tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Adanya RUU PT merupakan bentuk kongkrit Negara ingin melepaskan tanggung jawabnya terhadap sector pendidikan yang menjalankan system nirlaba. Hal ini di buktikan dengan adanya otonomi PT yang di cantum dalam pasal 64 hingga 69 yang masuk dalam bagian ke empat tentang pengelolaan keuangan perguruan tinggi. Jelas bahwa otonomi yang dimaksud adalah otonomi keuangan, pembiayaan mahasiswa, organisasi mahasiswa, kerja sama dengan pihak lain. Artinya bahwa, perguruan tinggi di berikan kewenangan dalam mengelola keuangan secara mandiri dan ini akan semakin besar ruang bagi PT untuk menetapkan biaya pendidikan yang mahal. Dengan demikian, otomasi rakyat miskin akan putus harapan untuk mengakses PT. Perguruan Tinggi dalam pembiayaan bagi mahasiswa yang tidak mampu mebayar di berikan kemudahan dalam bentuk utang dan akandibayar paska mendapatkan  pekerjaan. Apakah mahasiswa ada jaminan mendapatkan pekerjaan setelah kuliah? Bagaimana jika mahasiswa tidak bisa mendapatkan pekerjaan? Fakta saat ini, sarjana yang lahir dari PT banyak yang numpuk dan tidak ada kepastian untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Ini adalah salah satu cara pemerintah untuk memastikan bahwa mahasiswa bisa dijadikan jaminan ketika membangun kerja sama dengan perusahaan dengan catatan mahasiswa harus bekerja di perusahaan terkait setelah kuliah.
Semakin pudarnya demokrasi rakyat terhadap kebebasan berorganisasi dan berekspresi di Indonesia, itupun yang di bahas dalam RUU PT hanya organisasi intra kampus, belum lagi tentang aktivitas mahasiswa di buat oleh menteri pendidikan yang memetak-metakkan ruang geraknya organnisasi mahasiswa. Lalu bagaimana dengan organisasi ektra? Ini membuktikan rezim SBY semakin fasis terhadap rakyat Indonesia, sehingga ruang gerak mahasiswa dalam mendapatkan hak atas kebebasan berorganisasi justeru akan dibatasi melalui RUU PT ini. Sebagai wujud manifestasi kebijakan GATS yang telah disepakati Negara-negara berkembang melalui pertemuan WTO termasuk Indonesia, pendidikan sebagai sector jasa yang bisa dijadikan komoditas. Dengan minimnya anggaran untuk pendidikan tinggi dalam ranah penelitian. Perguruan tinggi juga memiliki otonomi untuk melakukan kerjasama dan kemitraan dengan dunia usaha dan dunia industri yang hasilnya akan digunakan untuk kepentingan usaha dan industri. Tentunya dari hasil kerjasama dan kemitraan tersebut, perguruan tinggi mendapatkan dana untuk melakukan penelitian dan menjual hasil penelitiannya kepada dunia usaha/industri juga diatur dalam pasal 47 ayat 1.
Dilain pihak, keberadaan RUU Pendidikan Tinggi yang menjadi manifestasi dari liberalisasi pendidikan yang ditelurkan oleh kapitalis monopoli internasional melalui rezim boneka dalam negeri yakni SBY. Dalam RUU Pendidikan Tinggi menjelaskan bahwasanya seluruh dosen dan tenaga kependidikan akan menjalankan dua pola yakni 1) diangkat oleh pemerintah yang kelak sebagai PNS dan 2) diangkat oleh badan penyelenggaraan atau perguruan tinggi yang bersangkutan yang kelak akan disebut sebagai pegawai perguruan tinggi.
Skema ini tentunya akan menempatkan dosen dan tenaga kependidikan dalam jurang sistem kerja kontrak dan outsourcing. Penerapan skema ini dilahirkan oleh IMF dan Bank Dunia untuk mengakali tingkat pengangguran yang tinggi di negara-negara berkembang. Namun, jaminan atas masa depan bagi tenaga kerja yang terjebak skema ini sangatlah suram. Hal ini dikarenakan kontrak kerja dapat diputus secara sepihak, minimnya jaminan sosial yang didapatkan dan hubungan industrial yang selalu merugikan pegawai non PNS.
Kondisi tersebut, termanifestasikan dari skema tersebut dapat kita lihat dari pasal 70 ayat 4 dan 6. Dalam pasal tersebut dijelaskan bagi dosen dan tenaga kependidikan dapat diangkat oleh badan penyelenggara pendidikan yang bersangkutan dan memberikan gaji pokok dan tunjangan peraturan yang berlaku. Khusus untuk tenaga kependidikan seperti pustakawan, tenaga administrasi, laboran dan teknisi, serta pranata teknik informasi sebagai pegawai rendah akan membuka peluang praktek outsourcing di dalam tubuh pendidikan tinggi. Dengan demikian, nasib tenaga kependidikan akan mengikuti UU no 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan. Gaji dan tunjangan yang didapatkan oleh tenaga kependidikan pun akan berbeda dengan dosen PNS maupun non PNS karena harus mengikuti peraturan dengan UMK/R berdasarkan lokasi badan penyelenggaraan pendidikan yang bersangkutan dilaksanakan.
Selain itu, dalam RUU Pendidikan Tinggi kali ini juga membuka peluang adanya persaingan yang tak seimbang antara PTS di dalam negeri dengan PT yang berasal dari negara-negara lain. Dalam RUU Pendidikan Tinggi juga diatur tentang pendirian Perguruan Tinggi Asing di Indonesia yang termaktub dalam pasal 90. Dengan adanya pendirian PTA di Indonesia akan membuka peluang adanya penutupan PTS-PTS di Indonesia. Selain itu, PTA-PTA tersebut, juga tidak menutup kemungkinan akan menjadi alat bagi kapitalis monopoli internasional untuk mendominasi dan menghegemoni kebudayaan rakyat Indonesia secara langsung melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka kembangan di Indonesia. Kondisi ini dapat kita lihat, dari banyaknya tenaga-tenaga ahli yang dipekerjakan di perusahaan-perusahaan milik kapitalis monopoli Internasional seperti Chevron, Adaro, Freeport, Exxon yang sejatinya hanya mengeksploitasi dan memonopoli kekayaan alam milik Indonesia. Dari sinilah kita melihat adanya politik kepentingan kapitalis monopoli internasional atau imperialis berupa persaingan yang tidak sehat antara PTS-PTS dengan PTA dan upaya dominasi serta hegemoni yang dihasilkan oleh PTA yang diselenggarakan di Indonesia.
Pemuda Indonesia yang berusia 19-24 tahun dengan jumlah 25,404 juta jiwa tentunya diantara mereka masuk dalam keluarga miskin atau dari kalangan menengah kebawah. Berdasarkan data yang dilansir oleh BPS, bahwa jumlah penduduk yang masuk dalam kategori miskin per Maret 2011 mencapai 30,5 juta jiwa. Mereka yang masuk dalam kategori miskin memliki pendapatan perkapita selama sebulan sebesar Rp 233.740 perkapita tiap bulannya (PBB menetapkan garis kemiskinan $2 perhari sedangkan Indonesia Rp 7791 perhari, atau samadengan kurang dari $1).
Sedangkan penduduk yang memiliki pendapatan antara Rp 233.740 hingga Rp 280.488 masuk dalam kategori penduduk hampir miskin[i] pada Maret 2011 berjumlah 27,12 juta jiwa atau 11,28% dari total penduduk atau mengalami peningkatan yang pada tahun lalu berjumlah 22,99 juta atau 9,88%[ii]. Jadi total penduduk miskin dan hampir miskin sejumlah 53,49 juta jiwa. Dengan demikian bagi calon peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu dan tidak memiliki prestasi secara akademik sudah dapat dipastikan tidak akan bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
Selanjutnya kita menggunakan variabel pekerjaan yang dikeluarkan oleh BPS periode Agustus 2011. Menurut BPS secara dominan rakyat Indonesia berprofesi sebagai petani dan nelayan sebesar 42,8 juta jiwa, lalu diikuti oleh pekerja atau buruh pabrik dan pertambangan dengan total 14,24 juta jiwa serta masyarakat yang berwiraswasta sebanyak 22,1 juta jiwa. Dengan jumlah petani dan nelayan sebesar 42,8 juta jiwa atau 33,88% dari total angkatan kerja di Indonesia tentu merekalah yang secara umum merasakan efek jika RUU PT ini diberlakukan atau disahkan. Hal ini dikarenakan pendapatan mereka selama sebulan tidak lebih dari Rp 550.000 – Rp 750.000 perkapita perbulannya.
Dengan kondisi masyarakat Indonesia dengan jumlah biaya pendidikan tinggi yang harus dibayarkan oleh setiap peserta didik. Maka menjadi hal yang wajar jika tidak semua lulusan atau peserta didik yang telah menyelesaikan pendidikan tingkat menengah baik SMA, MA atapun SMK melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Tuan Guru Bajang Sebagai Rezim Manifestasi Kebijakan SBY-Boediono
Pemerintah SBY telah memetakkan seluruh wilayah Indonesia untuk bercokolnya kepentingan kapitalisme monopoli internasional (Imperialisme). Di Indonesia barat dijadikan sebagai wilayah perkebunan dan bagian timur sebagai wilayah pertambangan termasuk NTB sendiri. Hal ini bisa kita buktikan perkembangan perusahaan pertambangan di NTB semakin menjadi-jadi entah pertambangan yang memegang izin eksplorasi maupun izin eksploitasi.
Dari total wilayah daratan NTB yang mencapai 2 juta hektar, 44,24% dijadikan sebagai wilayah pertambangan atau 891,590 hektar yang di kelola oleh 197 perusahaan dengan rincian 68 perusahaan logam, 28 perusahaan non logam, dan 101 perusahaan batuan (Suara NTB, 16/7/2011).  Dari sekian lahan yang dijadikan pertambangan, PT NNT milik AS menguasai lahan sebesar 87.450 hetar. Artinya bahwa PT Newmont Nusa Tenggara yang besar monopoli atas tanah di NTB.
Keberadaan PT NNT tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan rakyat NTB, dari penguasaan lahan yang begitu besar dan mengkeruk sumberdaya alam juga berdampak pada kerusakan ekosistem, PT NNT hanya menampung lebih kurang 7.000 tenaga kerja dari total jumlah penduduk NTB, itupun seluruhnya bukan asli penduduk local juga di rekrut dari daerah lain.
Sementara, lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian pangan adalah sebesar 497.893 hektar, terdiri dari lahan irigasi seluas 146.916 hektar, non irigasi 35.339 hektar, lahan tadah hujan seluas 28.553 hektar dan lahan kering seluas 287 hektar. Sedangkan untuk lahan perkebunan mencapai 175.863,45 hektar. Sementara jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian NTB hingga Agustus 2010 adalah sebanyak 1.005.240 orang atau 47,1% dari total penduduk NTB usia 15 tahun yang bekerja.
Dari Keuntungan  Newmont sejak beroperasinya yang meraup keuntungan 3 kali lipat dari modal awalnya hingga di tahun 2006. Jika dilihat dari Konstribusi  Newmont dalam bentuk pajak pada semester II tahun 2012 hanya meberikan Rp 2,81 triliun atau sekitar 25,09%, sementara sektor pertanian sebesar Rp 2,53 triliun atau sekitar 22,50% dari total PRDB NTB. Jika dibandingkan dengan tingkat penguasaan tanah dan serapan tenaga kerja, maka persentase sumbangan dari sektor pertambangan tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan sektor pertanian. Dengan demikian, konstribusi Newmont tidak sebanding kerusakan yang dilakukanya.

Akibatnya, keberadaan sektor pertambangan di NTB, tidak mampu menjawab masalah kemiskinan yang ada di NTB, hingga bulan Maret 2010, jumlah penduduk miskin di provinsi NTB mencapai 1.009.352 orang  atau 21,55% dari total penduduk NTB. Hal ini menempatkan NTB dalam urutan ke enam propinsi termiskin di Indonesia.

Dampak Monopoli Tanah Terhadap Kehidupan Rakyat NTB
Secara dominan, masyarakat NTB menggantungkan hidupnya pada sector pertanian dan spesifiknya ada di desa. Monopoli tanah yang berlebihan oleh segelintir orang mengakibatkan hilangnya alat produksi kaum tani sebagai sandaran hidupnya. Dengan demikian, demi mempertahankan hidupnya ditengah keadaan yang semakin merosot, lantar belakang pendidikan rendah dengan tamatan SD hingga SMA bahkan tidak pernah sekolah sekalipun “Mau tidak mau” mereka rela menggadaikan tenaganya sebagai pekerja rendahan di negeri seberang demi mendapat sesuap nasi tanpa ada rasa takut adanya konsekuensi akan siksaan oleh majikan-majikan di tempat mereka bekerja.  
Pendapatan Negara dalam bentuk APBN, buruh migrant adalah termasuk penyumbang devisa terbesar kedua setelah konstribusi pajak rakyat. Namun, peran BMI dalam pemasukan Negara tidak dihargai oleh pemerintah seperti jaminan keselamatan kerja di negeri orang. Terbukti kurangnya perhatian pemerintah terhadap buruh migrant, baru-baru ini rakyat NTB di hebohkan dengan isu kematian 3 TKI dari malaysia asal Lombok Timur yang diduga adanya jual beli organ tubuh. Sadar tidak sadar, pemerintah berperan sebagai tokoh penjual tenaga kerja di Negara-negara lain. Sebab, rakyatnya dijadikan obyek pendapatan yang paling menguntungkan bagi mereka. Ini tidak terlepas dari lemahnya pendidikan di Indonesia yang kepentingan sebatas di jadikan untuk mencetak buruh murah bagi kepentingan industry miliknya imperialisme.
Jelas bahwa paparan di atas, mempertegas kedudukan Negara Indonesia sebagai Negara setengah jajahan dan setengah feudal yang berperan sebagai penyedia bahan mentah bagi kepentingan produksi industry imperialism, buruh murah dan sasaran investasi serta pasar yang luas bagi imperialisme.

Bersatulah seluruh rakyat tertindas Indonesia.!!
Jayalah perjuangan rakyat.!!














Tidak ada komentar:

Posting Komentar