di postkan Oleh : Front Perjuangan Rakyat NTB
Kebijakan Kenaikan Harga BBM Mencekik Rakyat Indonesia
Pada
Akhir-akhir ini, rakyat Indonesia kembali di kagetkan dengan isu kenaikan harga
BBM di tengah kemiskinan rakyat Indonesia yang semakin merosot. Selama
kepemimpinan rezim SBY telah menaikan sebanyak 4 kali harga BBM, opini yang
dibangun seolah-olah menaikan harga BBM adalah salah satu cara yang tepat untuk
menyelamatkan ekonomi rakyat Indonesia. Namun, faktanya dari kenaikan harga BBM
sebelumnya justeru ekonomi rakyat malah semakin menurun. Ketika kenaikan harga
BBM di tahun 2005, kemiskinan semakin bertambah yang sebelumnya 31,1 persen naik menjadi 39,3
persen di tahun 2006, begitupun pertumbuhan inflasi menjadi 17,75 persen (Sumber; Tim Indonesia Bangkit,
Hendri Saparini).
Meningkatnya kemiskinan merupakan
dampak signifikan dari kenaikan harga BBM. Sebab, Bahan Bakar Minyak (BBM) pada
saat sudah menjadi kebutuhan mendasar bagi perekonomian rakyat seluruh dunia
seperti industry, transportasi dan indsutri rumah tangga. Artinya bahwa, bisa
di pastikan dengan kenaikan harga BBM tentu akan berdampak terhadap kenaikan
kebutuhan pokok rakyat. Di satu sisi, pendapatan rakyat yang tidak tentu “mau
tidak mau” rakyat secara perlahan-lahan
kehidupannya akan mengalami kemerosotan.
Berbagai macam alasan pemerintah
untuk tetap memaksakan kenaikan harga BBM semakin membuktikan bahwa
sesungguhnya SBY-boediono adalah sebagai rezim anti rakyat yang sejatinya untuk
memenuhi serakahnya imperialisme yang mendominasi atas penindasan terhadap
rakyat Indonesia.
Beberapa alasan SBY di antaranya
yang Pertama; Membengkaknya jumlah subsidi
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akibat naiknya harga minyak
dunia. Dasar kenaikan harga BBM terkait dengan kebijakan subsidi yang
membengkak karena kenaikan harga minyak dunia adalah omong kosong besar karena
Indonesia adalah termasuk negara produsen yang seharusnya diuntungkan dengan
kenaikan harga minyak dunia. Selama ini pemerintah menutup-nutupi berapa
keuntungan tambahan yang didapat dari naiknya harga minyak dunia. Bila
masalahnya adalah patokan harga minyak mentah Indonesia yang dipatok sebesar
US$ 90 per barel, dan harus disesuaikan dengan kenaikan harga yang baru,
kebijakan ini bisa ditetapkan tanpa harus menaikkan harga BBM yang sangat
merugikan rakyat umum. Artinya, dasar alasan menaikkan harga BBM bila
dihubungkan dengan defisit anggaran APBN tidak menemukan alasan yang obyektif
bila didasarkan pada kenaikan keuntungan yang didapat oleh Indonesia sebagai
negara produsen minyak mentah. Masalahnya adalah pemerintah SBY tidak bisa
dipercaya, manipulatif dan tidak berpihak pada kepentingan umum rakyat
Indonesia.
Kedua; Masyarakat yang kurang mampu akan
menikmati manfaat lebih besar jika harga premium dan solar lebih tinggi. Sebab
masyarakat kurang mampu bukan konsumen premium maupun solar yang terbesar. Apakah
benar rakyat Indonesia yang pada umumnya adalah rakyat miskin tidak diuntungkan
oleh subsidi BBM? Bila alasannya adalah subsidi yang tidak tepat sasaran,
mengapa kenaikan BBM tidak mengarah pada mempertahankan subsidi bagi konsumen
rakyat miskin dan menghapus subsidi pada warga kaya, namun menaikkan secara
pukul rata kemudian dampaknya yang menderita rakyat umum yang mayoritas miskin?
Dari data
yang terhimpun, konsumsi BBM paling besar diduduki oleh sektor transportasi
dengan kecenderungan yang terus meningkat secara signifikan dari tahun ke
tahun. Konsumen di sektor transportasi yang mengalami peningkatan pesat adalah
kendaraan bermotor kemudian disusul oleh mobil (lihat, tabel. 1). Patut dicatat
bahwa pengguna terbesar kendaraan bermotor adalah mayoritas rakyat dengan
pendapatan yang minim; mereka yang mayoritas membeli kendaraan dengan cara
kredit. Artinya, kenaikan BBM akan dengan segera memukul pendapatan mayoritas
rakyat pengguna kendaraan motor yang sangat bergantung pada BBM. Sementara
pengguna solar yang tidak kalah besar adalah mayoritas nelayan tradisional yang
miskin di negeri maritim ini. Pembelian BBM bagi operasional nelayan mencapai
50-60 persen dari biaya produksi. Kenaikan harga solar secara pasti memukul
kaum nelayan miskin.
Sedangkan sektor
industri bahkan mengalami kecenderungan menurun, menurut data yang dihimpun
hingga tahun 2009. Karakter industri dalam masyarakat setengah feodal yang
didominasi oleh industri milik asing, mengalami pasang surut yang tidak menentu
sebagai akibat krisis keuangan global yang memukul negeri-negeri imperialis
seperti AS dan Uni Eropa; sementara banyak industri nasional yang mengalami
kebangkrutan akibat badai krisis ekonomi kronis yang terjadi di dalam negeri
dan dampak dari krisis keuangan yang terjadi sejak tahun 2008.
Ketiga; Harga jual solar dan premium yang
terlalu rendah dibanding harga diluar negeri juga cenderung mendorong
penyelundupan dan penyelewengan solar dan premium yang seharusnya diperuntukkan
konsumen dalam negeri. Sungguh alasan dangkal dan tak bertanggung jawab yang
menunjukkan Pemerintah SBY tidak memiliki kapasitas dalam penegakkan hukum
untuk menangkap dan menindak para penyelundup dan penyeleweng BBM di dalam
negeri. Sungguh argumen yang tak tahu malu bila ketidakmampuan Pemerintah SBY
ini dicarikan solusi dengan menaikkan harga BBM. Lantas apa pekerjaan aparat
hukum dari intelejen, kepolisian, tentara di wilayah perbatasan bila mereka
tidak sanggup menangkap para penyelundup dan penyeleweng BBM ke luar negeri?
Sekali lagi kita menemukan dasar argumen yang paling dangkal dan solusi yang
justru merugikan rakyat pada umumnya.
Keempat; Penerimaan
dari migas semakin kecil karena produksinya menurun sementara subsidinya justru
makin meningkat karena konsumsi semakin besar. Masalah ini mengemukakan sebagai
akibat dari kebijakan Pemerintah SBY sendiri yang membudak pada imperialis
dengan menyerahkan bulat-bulat seluruh kekayaan alam minyak dan gas kepada
pihak asing. Penurunan produksi sangat berkaitan erat dengan siapa yang
memonopoli sumber minyak kita. Apakah Pemerintah SBY pernah melakukan langkah
politik untuk menyelamatkan migas nasional dengan jalan menghambat perusahaan
migas asing, atau menasionalisasi perusahaan asing yang merampok dan merugikan
rakyat Indonesia tersebut? Terdengar seperti ratapan hina seorang pengemis,
Pemerintah SBY yang membuka lebar-lebar investasi asing untuk menguasai migas
nasional, kemudian dia sendiri yang meratapi penurunan jumlah pendapatan dan
produksi migas nasional. Dan lebih hina lagi, omong kosong inilah yang
dijadikan alasan untuk menaikkan harga BBM dan bukan dengan melakukan kebijakan
penguasaan kembali seluruh sumber minyak nasional untuk kepentingan nasional
sebagai solusi dengan jalan melawan dominasi asing.
Hangatnya
isu kebijakan kenaikan harga BBM pada 1 April menuai protes penolakan yang
begitu luas dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Alhasil, atas perjuangan
rakyat DPR RI memutuskan untuk penundaan kenaikan harga BBM dengan lahirnya
Pasal 7 ayat 6 a dalam RAPBN-P 2012 yang menegaskan harga
minyak mentah Indonesia (ICP) mencapai 15 % dari asumsi APBNP 2012 sebesar US$
105 per barel dalam kurun waktu 6 bulan,
pemerintah boleh menaikan harga BBM.
Keputusan DPR RI
tersebut, kita belum bisa menerima
mentah begitu saja seakan-akan keputusan tersebut adalah sudah benar. Ada hal
yang perlu di analisis terhadap pasal siluman yang sering di sebutkan semenjak
lahirnya pasal tersebut. Sebab, pasal ini merupakan salah satu bentuk upaya
untuk meredam protes yang dilakukan oleh rakyat. Terbukti, semenjak lahirnya
pasal tersebut gerakan rakyat yang menolak kenaikan harga BBM sudah hilang
begitu saja. Perlu di ingat, pada hakikatnya BBM akan tetap dinaikan apalagi
adanya pasal 7 ayat 6 a yang memberikan sepenuhnya kewenangan pemerintah untuk
menaikan harga BBM sesuai dengan perkembangan naiknya harga minyak dunia. Jelas-jelas
pasal ini sangat bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap
pasal 28 UU Migas bahwasanya harga BBM tidak boleh diserahkan kepada mekanisme
pasar.
RUU PT adalah Wujud Nyata SBY-Boediono Sebagai Rezim Kaki Tangan
Imperialisme AS
Tidak hanya kebijakan
BBM, di sektor pendidikan pemerintah semakin memperkuat komersialisasi dan
privatisasi pendidikan dengan adanya Rancangan Undang-undang pendidikan Tinggi
(RUU PT). Skema yang dibangun oleh
pemerintah terhadap sector pendidikan bagaimana memastikan rakyat Indonesia
tetap menjadi penyetok tenaga kerja murah yang siap di pasok di industry
miliknya imperialisme.
Jika ditilik dari sejarah lahirnya RUU PT, tidak terlepas dari
kepentingan kapitalisme monopoli internasional (imperialism) yang mendesak
Negara-negara berkembang untuk melakukan liberalisasi seluruh sektor jasa yang
memangkas subsidi public, deregulasi dan privatisasi yang termanifestasi dari
SAP (structural adjustment program). Salah satu wujud dari SAP melalui lembaga
perdagangan Internasional yang bernama WTO. Pada tahun 1995, menjerumuskan
negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk meratifikasi GATS. Dalam GATS
diatur bahwasanya bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia harus
meliberalisasikan 12 sektor jasa yang salah satunya adalah pendidikan tinggi
agar menjadi komoditas yang diperdagangkan secara internasional.
Pemerintah SBY sebagai
rezim fasis dan anti rakyat telah bekerja sama dengan IMF untuk mempermulus
liberalisasi disektor public yang memangkas subsidi public termasuk salah
satunya pendidikan. Sehingga pada tahun 1999, pemerintah Indonesia melahirkan PP
61 tahun 1999 tentang PT BHMN telah mengubah 5 PTN menjadi Perguruan Tinggi
Badan Hukum Milik Negara (UI, ITB, IPB, UGM dan UNAIR) yang mendorong PT BHMN
untuk mencari dana mandiri, sementara PTN-PTN juga di dorong untuk
berlomba-lomba untuk mencari dana mandiri. Dalam perkembangannya, kondisi
tersebut yang melahirkan komersialisasi pendidikan di Indonesia yang
mempersulit anak buruh, kaum tani, pegawai rendahan dan pedagang asongan untuk
mengakses Pendidikan Tinggi.
Dalam perjalanannya,
untuk memperkuat komersialisasi pendidikan maka pemerintah mempertegas dalam UU
Sisdiknas no 20 tahun 2003 yang mengamanatkan bahwa penyelenggaraan pendidikan
harus berbentuk badan hukum pendidikan (pasal 53) dan penyelenggaraan pendidikan
tinggi harus otonom (pasal 24 dan pasal 50 ayat 1). Sehingga untuk menjalankan
pasal 53, pemerintah mewujudkan melalui UU no 9 tahun 2009 dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi. Akan tetapi, pada akhir tahun 2010 DPR RI bersama kemendikbud
merancang secara bersama-sama RUU Pendidikan Tinggi yang kelaka akan mengatur
lebih spesifik tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Adanya RUU PT merupakan
bentuk kongkrit Negara ingin melepaskan tanggung jawabnya terhadap sector
pendidikan yang menjalankan system nirlaba. Hal ini di buktikan dengan adanya
otonomi PT yang di cantum dalam pasal 64 hingga 69 yang masuk dalam bagian ke
empat tentang pengelolaan keuangan perguruan tinggi. Jelas bahwa otonomi yang
dimaksud adalah otonomi keuangan, pembiayaan mahasiswa, organisasi mahasiswa, kerja
sama dengan pihak lain. Artinya bahwa, perguruan tinggi di berikan kewenangan
dalam mengelola keuangan secara mandiri dan ini akan semakin besar ruang bagi
PT untuk menetapkan biaya pendidikan yang mahal. Dengan demikian, otomasi
rakyat miskin akan putus harapan untuk mengakses PT. Perguruan Tinggi dalam
pembiayaan bagi mahasiswa yang tidak mampu mebayar di berikan kemudahan dalam
bentuk utang dan akandibayar paska mendapatkan
pekerjaan. Apakah mahasiswa ada jaminan mendapatkan pekerjaan setelah
kuliah? Bagaimana jika mahasiswa tidak bisa mendapatkan pekerjaan? Fakta saat
ini, sarjana yang lahir dari PT banyak yang numpuk dan tidak ada kepastian
untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Ini adalah salah satu cara pemerintah
untuk memastikan bahwa mahasiswa bisa dijadikan jaminan ketika membangun kerja
sama dengan perusahaan dengan catatan mahasiswa harus bekerja di perusahaan
terkait setelah kuliah.
Semakin pudarnya
demokrasi rakyat terhadap kebebasan berorganisasi dan berekspresi di Indonesia,
itupun yang di bahas dalam RUU PT hanya organisasi intra kampus, belum lagi tentang
aktivitas mahasiswa di buat oleh menteri pendidikan yang memetak-metakkan ruang
geraknya organnisasi mahasiswa. Lalu bagaimana dengan organisasi ektra? Ini
membuktikan rezim SBY semakin fasis terhadap rakyat Indonesia, sehingga ruang
gerak mahasiswa dalam mendapatkan hak atas kebebasan berorganisasi justeru akan
dibatasi melalui RUU PT ini. Sebagai wujud manifestasi kebijakan GATS yang
telah disepakati Negara-negara berkembang melalui pertemuan WTO termasuk
Indonesia, pendidikan sebagai sector jasa yang bisa dijadikan komoditas. Dengan
minimnya anggaran untuk pendidikan tinggi dalam ranah penelitian. Perguruan
tinggi juga memiliki otonomi untuk melakukan kerjasama dan kemitraan dengan
dunia usaha dan dunia industri yang hasilnya akan digunakan untuk kepentingan
usaha dan industri. Tentunya dari hasil kerjasama dan kemitraan tersebut,
perguruan tinggi mendapatkan dana untuk melakukan penelitian dan menjual hasil
penelitiannya kepada dunia usaha/industri juga diatur dalam pasal 47 ayat 1.
Dilain
pihak, keberadaan RUU Pendidikan Tinggi yang menjadi manifestasi dari
liberalisasi pendidikan yang ditelurkan oleh kapitalis monopoli internasional
melalui rezim boneka dalam negeri yakni SBY. Dalam RUU Pendidikan Tinggi
menjelaskan bahwasanya seluruh dosen dan tenaga kependidikan akan menjalankan
dua pola yakni 1) diangkat oleh pemerintah yang kelak sebagai PNS dan 2)
diangkat oleh badan penyelenggaraan atau perguruan tinggi yang bersangkutan
yang kelak akan disebut sebagai pegawai perguruan tinggi.
Skema
ini tentunya akan menempatkan dosen dan tenaga kependidikan dalam jurang sistem
kerja kontrak dan outsourcing. Penerapan skema ini dilahirkan oleh IMF dan Bank
Dunia untuk mengakali tingkat pengangguran yang tinggi di negara-negara
berkembang. Namun, jaminan atas masa depan bagi tenaga kerja yang terjebak
skema ini sangatlah suram. Hal ini dikarenakan kontrak kerja dapat diputus
secara sepihak, minimnya jaminan sosial yang didapatkan dan hubungan industrial
yang selalu merugikan pegawai non PNS.
Kondisi
tersebut, termanifestasikan dari skema tersebut dapat kita lihat dari pasal 70
ayat 4 dan 6. Dalam pasal tersebut dijelaskan bagi dosen dan tenaga
kependidikan dapat diangkat oleh badan penyelenggara pendidikan yang
bersangkutan dan memberikan gaji pokok dan tunjangan peraturan yang berlaku.
Khusus untuk tenaga kependidikan seperti pustakawan,
tenaga administrasi, laboran dan teknisi, serta pranata teknik informasi sebagai pegawai
rendah akan membuka peluang praktek outsourcing di dalam tubuh pendidikan
tinggi. Dengan demikian, nasib tenaga kependidikan akan mengikuti UU no 13
tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan. Gaji dan tunjangan yang didapatkan oleh
tenaga kependidikan pun akan berbeda dengan dosen PNS maupun non PNS karena
harus mengikuti peraturan dengan UMK/R berdasarkan lokasi badan penyelenggaraan
pendidikan yang bersangkutan dilaksanakan.
Selain
itu, dalam RUU Pendidikan Tinggi kali ini juga membuka peluang adanya
persaingan yang tak seimbang antara PTS di dalam negeri dengan PT yang berasal
dari negara-negara lain. Dalam RUU Pendidikan Tinggi juga diatur tentang
pendirian Perguruan Tinggi Asing di Indonesia yang termaktub dalam pasal 90.
Dengan adanya pendirian PTA di Indonesia akan membuka peluang adanya penutupan
PTS-PTS di Indonesia. Selain itu, PTA-PTA tersebut, juga tidak menutup
kemungkinan akan menjadi alat bagi kapitalis monopoli internasional untuk
mendominasi dan menghegemoni kebudayaan rakyat Indonesia secara langsung
melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka kembangan di Indonesia.
Kondisi ini dapat kita lihat, dari banyaknya tenaga-tenaga ahli yang
dipekerjakan di perusahaan-perusahaan milik kapitalis monopoli Internasional
seperti Chevron, Adaro, Freeport, Exxon yang sejatinya hanya mengeksploitasi
dan memonopoli kekayaan alam milik Indonesia. Dari sinilah kita melihat adanya
politik kepentingan kapitalis monopoli internasional atau imperialis berupa
persaingan yang tidak sehat antara PTS-PTS dengan PTA dan upaya dominasi serta
hegemoni yang dihasilkan oleh PTA yang diselenggarakan di Indonesia.
Pemuda Indonesia yang berusia 19-24 tahun dengan jumlah 25,404 juta
jiwa tentunya diantara mereka masuk dalam keluarga miskin atau dari kalangan
menengah kebawah. Berdasarkan data yang dilansir oleh BPS, bahwa jumlah
penduduk yang masuk dalam kategori miskin per Maret 2011 mencapai 30,5 juta jiwa. Mereka yang masuk dalam kategori
miskin memliki pendapatan perkapita selama sebulan sebesar Rp 233.740 perkapita
tiap bulannya (PBB menetapkan garis kemiskinan $2 perhari sedangkan Indonesia
Rp 7791 perhari, atau samadengan kurang dari $1).
Sedangkan
penduduk yang memiliki pendapatan antara
Rp 233.740 hingga Rp 280.488 masuk dalam kategori penduduk hampir miskin[i]
pada Maret 2011 berjumlah 27,12 juta jiwa atau 11,28% dari total penduduk atau
mengalami peningkatan yang pada tahun lalu berjumlah 22,99 juta atau 9,88%[ii].
Jadi total penduduk miskin dan hampir miskin sejumlah 53,49 juta jiwa. Dengan demikian bagi calon peserta didik yang berasal
dari keluarga tidak mampu dan tidak memiliki prestasi secara akademik sudah
dapat dipastikan tidak akan bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
Selanjutnya kita menggunakan variabel pekerjaan yang dikeluarkan oleh BPS periode Agustus 2011.
Menurut BPS secara dominan rakyat Indonesia berprofesi sebagai petani dan
nelayan sebesar 42,8 juta jiwa, lalu diikuti oleh pekerja atau buruh pabrik dan
pertambangan dengan total 14,24 juta jiwa serta masyarakat yang berwiraswasta
sebanyak 22,1 juta jiwa. Dengan jumlah petani dan nelayan sebesar 42,8 juta
jiwa atau 33,88% dari total angkatan kerja di Indonesia tentu merekalah yang
secara umum merasakan efek jika RUU PT ini diberlakukan atau disahkan. Hal ini
dikarenakan pendapatan mereka selama sebulan tidak lebih dari Rp 550.000 – Rp
750.000 perkapita perbulannya.
Dengan
kondisi masyarakat
Indonesia dengan jumlah biaya pendidikan tinggi yang harus dibayarkan oleh
setiap peserta didik. Maka menjadi hal yang
wajar jika tidak semua lulusan
atau peserta didik yang telah menyelesaikan pendidikan tingkat menengah baik
SMA, MA atapun SMK melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Tuan Guru
Bajang Sebagai Rezim Manifestasi Kebijakan SBY-Boediono
Pemerintah SBY telah
memetakkan seluruh wilayah Indonesia untuk bercokolnya kepentingan kapitalisme
monopoli internasional (Imperialisme). Di Indonesia barat dijadikan sebagai
wilayah perkebunan dan bagian timur sebagai wilayah pertambangan termasuk NTB
sendiri. Hal ini bisa kita buktikan perkembangan perusahaan pertambangan di NTB
semakin menjadi-jadi entah pertambangan yang memegang izin eksplorasi maupun
izin eksploitasi.
Dari total wilayah
daratan NTB yang mencapai 2 juta hektar, 44,24% dijadikan sebagai wilayah
pertambangan atau 891,590 hektar yang di kelola oleh 197 perusahaan dengan
rincian 68 perusahaan logam, 28
perusahaan non logam, dan 101 perusahaan batuan (Suara NTB, 16/7/2011). Dari sekian lahan yang dijadikan pertambangan,
PT NNT milik AS menguasai lahan sebesar 87.450 hetar. Artinya bahwa PT Newmont
Nusa Tenggara yang besar monopoli atas tanah di NTB.
Keberadaan PT NNT tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan rakyat NTB, dari
penguasaan lahan yang begitu besar dan mengkeruk sumberdaya alam juga berdampak
pada kerusakan ekosistem, PT NNT hanya menampung lebih kurang 7.000 tenaga
kerja dari total jumlah penduduk NTB, itupun seluruhnya bukan asli penduduk
local juga di rekrut dari daerah lain.
Sementara, lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian
pangan adalah sebesar 497.893 hektar, terdiri dari lahan irigasi seluas 146.916
hektar, non irigasi 35.339 hektar, lahan tadah hujan seluas 28.553 hektar dan
lahan kering seluas 287 hektar. Sedangkan untuk lahan perkebunan mencapai
175.863,45 hektar. Sementara jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor
pertanian NTB hingga Agustus 2010 adalah sebanyak 1.005.240 orang atau 47,1%
dari total penduduk NTB usia 15 tahun yang bekerja.
Dari
Keuntungan Newmont sejak beroperasinya yang
meraup keuntungan 3 kali lipat dari modal awalnya hingga di tahun 2006. Jika
dilihat dari Konstribusi Newmont dalam
bentuk pajak pada semester II tahun 2012 hanya meberikan Rp 2,81
triliun atau sekitar 25,09%, sementara sektor pertanian sebesar Rp 2,53 triliun
atau sekitar 22,50% dari total PRDB NTB. Jika dibandingkan dengan tingkat
penguasaan tanah dan serapan tenaga kerja, maka persentase sumbangan dari
sektor pertambangan tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan sektor
pertanian. Dengan
demikian, konstribusi Newmont tidak sebanding kerusakan yang dilakukanya.
Akibatnya, keberadaan sektor
pertambangan di NTB, tidak mampu menjawab masalah kemiskinan yang ada di NTB,
hingga bulan Maret 2010, jumlah penduduk miskin di provinsi NTB mencapai
1.009.352 orang atau 21,55% dari total penduduk NTB. Hal ini menempatkan
NTB dalam urutan ke enam propinsi termiskin di Indonesia.
Dampak
Monopoli Tanah Terhadap Kehidupan Rakyat NTB
Secara dominan, masyarakat NTB menggantungkan hidupnya pada sector pertanian dan
spesifiknya ada di desa. Monopoli tanah yang berlebihan oleh segelintir orang
mengakibatkan hilangnya alat produksi kaum tani sebagai sandaran hidupnya.
Dengan demikian, demi mempertahankan hidupnya ditengah keadaan yang semakin
merosot, lantar belakang pendidikan rendah dengan tamatan SD hingga SMA bahkan
tidak pernah sekolah sekalipun “Mau tidak mau” mereka rela menggadaikan
tenaganya sebagai pekerja rendahan di negeri seberang demi mendapat sesuap nasi
tanpa ada rasa takut adanya konsekuensi akan siksaan oleh majikan-majikan di
tempat mereka bekerja.
Pendapatan Negara dalam
bentuk APBN, buruh migrant adalah termasuk penyumbang devisa terbesar kedua
setelah konstribusi pajak rakyat. Namun, peran BMI dalam pemasukan Negara tidak
dihargai oleh pemerintah seperti jaminan keselamatan kerja di negeri orang.
Terbukti kurangnya perhatian pemerintah terhadap buruh migrant, baru-baru ini
rakyat NTB di hebohkan dengan isu kematian 3 TKI dari malaysia asal Lombok
Timur yang diduga adanya jual beli organ tubuh. Sadar tidak sadar, pemerintah
berperan sebagai tokoh penjual tenaga kerja di Negara-negara lain. Sebab,
rakyatnya dijadikan obyek pendapatan yang paling menguntungkan bagi mereka. Ini
tidak terlepas dari lemahnya pendidikan di Indonesia yang kepentingan sebatas di
jadikan untuk mencetak buruh murah bagi kepentingan industry miliknya
imperialisme.
Jelas bahwa paparan di
atas, mempertegas kedudukan Negara Indonesia sebagai Negara setengah jajahan
dan setengah feudal yang berperan sebagai penyedia bahan mentah bagi
kepentingan produksi industry imperialism, buruh murah dan sasaran investasi
serta pasar yang luas bagi imperialisme.
Bersatulah
seluruh rakyat tertindas Indonesia.!!
Jayalah
perjuangan rakyat.!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar