Oleh
: Thoni Sagara
Seperti biasanya musim
penghujan seperti sekarang ini adalah masa-masa yang selalu dinantikan oleh para
petani sebab musim penghujan adalah musim menanam, artinya musim melanjutkan
hidup dengan mimpi bisa lebih sejahtera untuk hari-hari keberikutnya. Tapi
keceriaan semacam itu tidak berlaku bagi keluarga Amaq Mai. Bagaimana bisa Amaq
Mai menikmati musim penghujan kali ini seperti menikmati musim penghujan pada
waktu-waktu sebelumnya sedang bayang-bayang penggusuran tanah selalu terpampang
jelas dihadapannya. Sebenarnya bukan hanya keluarga Amak Mai, hal serupa pun
tentunya dirasakan oleh keluarga Amak Kali, Amak Ladi, Amak Awan, Sibawaih,
Sukril, dan ratusan keluarga lainya yang lahan pertanian bahkan rumahnya
terancam tergusur oleh pembangunan pariwisata Mandalika Resort. Tapi untuk kali
ini, saya ingin menceritakan ini dari sudut seorang tua renta yang oleh
semangatnya ia tampak 20 tahun lebih muda dari usia aslinya.
Dulunya, amaq Mai
tinggal di lahan pertaniannya itu, tapi sejak tahun 1990an ia harus
meninggalkan tempat tinggalnya sebab pembebasan lahan yang sarat dengan penipuan
dan pemaksaan oleh PT.PPL/LTDC yang bekerja sama dengan pemerintah desa atau
kecamatan setempat kala itu. Sempat suatu waktu Amaq Mai menceritakan tentang
maraknya terror perampokan yang sering sekali terjadi bahkan hampir tiap malam
kala itu, dan peristiwa-peristiwa perampokan itu menjadi aneh sebab sasarannya
adalah rumah-rumah warga miskin yang hampir untuk memenuhi kehidupan hariannya
saja kalau tidak melaut tidak mampu, hanya saja warga miskin sasaran
perampokan-perampokan itu adalah warga yang tidak mau menyerahkan tanahnya
dengan alasan apapun termasuk ganti –rugi pun juga jual beli.
Sejak 1993 Amak Mai
beserta rekan-rekan petani yang lainnya terus menggelorakan perjuangannya
menuntut keadilan terkait kedudukan lahannya tersebut, bahkan ia dan
kawan-kawanya pun pernah sekali waktu melakukan aksi demonstrasi sampai menginap
didepan kantor DPRD NTB. Ancaman, intimidasi, terror bahkan tindakan represif pun
pernah ia terima. Tapi perjuangan memang walau sekecil apapun jika dilakukan
dengan konsisten pasti akan menuai hasil, walhasil pada tahun 1998 Amak Mai
bisa bernapas lega sebab PT.PPL/LTDC dinyatakan bangkrut dan gulung tikar. Sejak
saat itu Amaq Mai beserta warga lainnya kembali menggarap tanahnya, menanami
tanahnya dengan tanaman-tanaman seadanya seperti padi jika musim penghujan dan
palawija ketika musim kemarau tiba. Tak banyak memang hasil pertanian yang bisa
didapatkan mengingat tekstur tanah yang memang tidak terlalu subur sebab dekat
dengan pantai tapi cukuplah untuk membuat asap mengepul di dapur setiap hari.
Keceriaan menyambut
musim penghujan kiranya berjalan tak semulus harapan, tahun 2008 melalui Peraturan
Pemerintah (PP) no. 50 tahun 2008 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara RI
ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (persero) PT Pengembangan Pariwisata
Bali, lahan pertanian Amaq Mai beserta petani-petani lainnya kembali tertawan
dan penawanan lahan tersebut dinyatakan sebagai penyertaan modal Negara kepada
PT. BTDC (Bali Tourism Development Corporation/Perusahaan Pengembangan
Pariwisata Bali). Sama sekali tanpa sepengetahuan Amak Mai, ternyata tanahnya
selama ini tidak benar-benar dimilikinya tapi secara diam-diam tanahnya telah telah
diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang kemudian
berubah menjadi PT Pengelola Aset (PPA) dan kemudian perkembanganya dinyatakan
sebagai asset Negara sebab PT.PPL/LTDC tidak mampu membayar hutangnya senilai
Rp.1,3 triliun. Kenyataan ini belakangan diketahui oleh Amak Mai setelah
mendengar cerita dari kepala BPN Lombok Tengah saat Amak Mai beserta
Petani-petani lainya yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Petani Lombok Tengah
melakukan aksi hearing ke kantor BPN Lombok Tengah. Amak Mai kembali tak
tenang, Amak Mai kembali melawan meski usia sudah tak lagi muda.
Amak Mai kini boleh
saja sudah tidak selincah dahulu, usianya yang sudah terbilang tua membuat ia
sering kali sakit-sakitan, tapi itu bukan berarti Amak Mai telah memilih untuk
diam dan berpasrah diri, ia terus berupaya membangun semangat dari rumah ke
rumah, lahan ke lahan, kampung ke kampung. Semangatnya terus membara seolah tak
pernah aus termakan usia.
Pernah sekali waktu
tepatnya di awal januari lalu ketika PT. ITDC[i]
melalui kontraktornya PT. Waskita Karya akan melanjutkan pembangunan jalan dari
Songgong Menuju Gerupuk, Amak Mai tetap terlihat gagah dengan sebilah tombak
ditangannya menghadang proyek pembangunan jalan tersebut. Dan hasilnya pengerjaan
proyek pembangunan jalan dihentikan sementara hingga pembicaraan terkait
sengketa lahan dinyatakan tuntas.
Tentunya, hal tersebut bisa
ditarik menjadi kemenangan kecil bagi Amak Mai, yang tentunya sama sekali tidak
berarti bahwa ia telah berada pada posisi amanya, posisi aman adalah ketika
tanah telah benar-benar dimiliki olehnya. Sedang kemenangan kecil ini hanya
bersementara saja, ia masih tetap disatroni kehawatiran sebab musuh bisa berubah
fikiran kapan saja dan tentunya bisa berbuat dengan cara apa saja.
Begitulah catatan Musim
penghujan kali ini yang sungguh telah menjadi musim penghujan yang berat bagi Keluarga
Amak Mai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar