Demokrasi
kerap kali diartikan sebagai sebuah proses dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat yang kemudian dalam tata cara bernegara Indonesia diimplikasikan pada
satu momentum 5 tahunan yaitu Pemilu, yang mana dalam momentum ini rakyat
memilih secara langsung pemimpinnya baik di tingkatan desa, kabupaten, provinsi
hingga negara. Dalam konteks pemilu, maka demokrasi diartikan bahwa Pemimpin di
pilih berdasarkan aspirasi rakyat, kemudian di pilih langsung oleh rakyat itu
sendiri dan selanjutnya pemipin yang terpilih dalam pemilihan tersebut
diharapkan mampu menjadi penjamin kehidupan rakyat dalam bernegara secara adil,
arif dan bijaksana.
Jikalau
hak suara rakyat tersebut dicabut hanya karena alasan pengurangan anggaran
Negara, maka sontak bisa dipastikan bahwa sudah tidak ada lagi hak demokratis
rakyat yang tersisa, itu sama artinya dengan situasi Negara akan dikembalikan
lagi menuju era penguasaan orde baru dimana rakyat didudukkan hanya menjadi
objek penderita semata.
Lalu
kenapa rakyat memilih wakilnya di parlemen? Rakyat memilih wakilnya di parlemen
sesungguhnya (semestinya) sebagai perpanjangan tangan rakyat dalam mengatur
Negara melalui beberapa fungsi DPR itu sendiri yakni : a). fungsi legislasi,
artinya DPR mempunyai kewenangan mewakili rakyat dalam mengatur dan menetapkan
Undang-undang, b). fungsi anggaran (budgetting), artinya DPR mempunyai kewenangan
mewakili rakyat dalam menentukan anggaran Negara, dan c). fungsi pengawasan,
artinya DPR mempunyai fungsi untuk mewakili rakyat dalam hal mengawasi
pemerintah.
Dalam
konteks keterwakilan rakyat oleh DPR sama sekali tidak mengandung arti bahwa
hak suara rakyat (hak memilih dan dipilih) pun mesti diwakilkan.
UU
Pilkada Adalah UU Yang Syarat Kepentingan
Pengesahan
UU Pilkada pada 25 september lalu yang di motori oleh partai-partai pengusung
pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta pada pilpres lalu yang kemudian
tergabung dalam satu koalisi yaitu Koalisi Merah-Putih, adapun partai yang
tergabung dalam koalisi tersebut adalah Partai Gerindra, Demokrat, PKS, PPP,
PAN, PBB, dan Golkar. Dalam skema pengesahan UU Pilkada, Partai Demokrat
sendiri memilih Walk Out (WO) padahal partai Demokrat sendirilah yang menjadi
pengusung lahirnya RUU Pilkada melalui ketua umumnya Susilo Bambang Yudhoyono
pada tahun 2012 lalu.
Ketika
melihat siapa saja yang menjadi motor dalam pengesahan UU ini maka teranglah
bahwa sejatinya pengesahan UU Pilkada mengandung makna agar partai-partai
tersebut tetap mampu menginterpensi kepemerintahan di tingkat daerah sehingga
segala kepentingan partainya tetap mampu diakomodir, setelah kepemimpinan
Negara gagal direbutnya.
Artinya,
UU pilkada ini mempunyai arti politik yang sangat penting bagi penyelamatan
kepentingan partai bukan kepentingan rakyat meski alasan yang digunakan adalah Efisiensi
Anggaran Negara. Soalnya adalah, kepentingan tersebut telah mengorbankan
kepentingan politik rakyat. Di lain sisi, saat bersamaan dengan ketika UU
pilkada disahkan dengan alasan efisiensi anggaran justru pemotongan subsidi
public berjalan dengan lancar di semua sector yang berakibat pada semakin
mahalnya biaya kehidupan rakyat termasuk pendidikan, sehingga pertanyaanya
adalah; peruntukan efisiensi anggaran
sebagai alasan penetapan UU Pilkada ini untuk siapa?
Selanjutnya,
jika pemimpin daerah dipilih oleh parlemen, sedangkan parlemen sendiri
merupakan bentuk keterwakilan partai politik borjuasi bukan bentuk keterwakilan
rakyat, akibatnya adalah segala
kebijakan maupun aspirasi yang dikeluarkan parlemen tentunya adalah kebijakan atau
aspirasi yang dikeluarkan partai (bukan rakyat) berdasarkan pada kepentingannya.
Situasi ini tentunya adalah situasi empuk bagi berlangsungnya deal-deal politik
antara partai politik borjuasi dengan kekuatan tuan tanah dan capital monopoli,
maksudnya tuan tanah dan capital monopoli tak lagi harus berupaya keras untuk melegalkan
perampasan tanah tapi cukup berhubungan dengan partai atau koalisi dominan di
dalam tubuh parlemen.
Apa Arti Pemilihan Kepala
Daerah Secara Langsung Bagi Kaum Tani
Situasi
keterpurukan kaum tani di ranah ekonomi yang disebabkan oleh perampasan tanah
besar-besaran yang dilakukan oleh pertambangan, perkebunan, pariwisata dan
semacamnya, mahalnya biaya produksi pertanian serta tidak adanya jaminan atas
harga hasil produksi pertanian tentunya membuat Ruang pemilu daerah langsung
(PILKADA Langsung) mempunyai arti politik yang sangat penting bagi kaum tani,
dimana melalui ruang tersebut kaum tani dapat menawarkan kontrak-kontrak
politik dengan setiap calon pemimpin daerah, kontrak politik maksudnya adalah
ajuan-ajuan kaum tani atas persoalannya yang kemudian oleh calon pemimpin
daerah tersebut bisa menjadi program tawarannya ketika sudah menjadi pemimpin
daerah.
Benar
bahwa pemimpin daerah yang terpilih secara langsung selama ini belum mampu
memberikan arti yang baik bagi kehidupan kaum tani, hal tersebut tentunya akan
jauh lebih parah jika pemimpin daerah tak lagi dipilih langsung atau hanya
ditentukan melalui skema voting di ruang parlemen semata.
Situasi
tersebut tentunya akan semakin mempermudah bagi kekuatan tuan tanah dan capital
monopoli untuk terus melakukan perampasan atas tanah pun juga pengerukan atas
sumber-sumber kehidupan rakyat. Yang artinya sama dengan akan semakin
memperburuk situasi ekonomi kaum tani.
Berdasarkan
penjabaran di atas, kami dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA-NTB) menuntut
: CABUT UU PILKADA TIDAK LANGSUNG KARENA
TELAH MENGANGKANGI HAK DEMOKRATIS RAKYAT!
Melalui
pernyataan sikap ini, AGRA-NTB juga mengajak seluruh elemen rakyat pro
demokrasi untuk bersatu dan berlawan atas setiap tindak perusakan
demokrasi dan usaha-usaha perampasan hak dan kedaulatan rakyat.
Mataram, 07
Oktober 2014
Aliansi Gerakan
Reforma Agraria
AGRA – NTB
Saiful Wathoni
Ketua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar