Selasa, 07 Oktober 2014

Pernyataan sikap: CABUT UU PILKADA DAN LAWAN SEGALA BENTUK PENGEKANGAN HAK DEMOKRATIS RAKYAT!



Demokrasi kerap kali diartikan sebagai sebuah proses dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat yang kemudian dalam tata cara bernegara Indonesia diimplikasikan pada satu momentum 5 tahunan yaitu Pemilu, yang mana dalam momentum ini rakyat memilih secara langsung pemimpinnya baik di tingkatan desa, kabupaten, provinsi hingga negara. Dalam konteks pemilu, maka demokrasi diartikan bahwa Pemimpin di pilih berdasarkan aspirasi rakyat, kemudian di pilih langsung oleh rakyat itu sendiri dan selanjutnya pemipin yang terpilih dalam pemilihan tersebut diharapkan mampu menjadi penjamin kehidupan rakyat dalam bernegara secara adil, arif dan bijaksana.
Jikalau hak suara rakyat tersebut dicabut hanya karena alasan pengurangan anggaran Negara, maka sontak bisa dipastikan bahwa sudah tidak ada lagi hak demokratis rakyat yang tersisa, itu sama artinya dengan situasi Negara akan dikembalikan lagi menuju era penguasaan orde baru dimana rakyat didudukkan hanya menjadi objek penderita semata.
Selain itu, Pemilu langsung yang merupakan proses demokrasi dimana rakyat terlibat secara langsung dalam menentukan pemimpinnya merupakan kado kemenangan dari serentetan gerakan panjang dan berdarah-darah pada tahun 1998. Yang ditandai dengan jatuhnya rezim fasis Soeharto yang telah memerintah selama 32 tahun, dimana selama 32 tahun tersebut hak demokrasi rakyat terus dipasung dan dikebiri.
Lalu kenapa rakyat memilih wakilnya di parlemen? Rakyat memilih wakilnya di parlemen sesungguhnya (semestinya) sebagai perpanjangan tangan rakyat dalam mengatur Negara melalui beberapa fungsi DPR itu sendiri yakni : a). fungsi legislasi, artinya DPR mempunyai kewenangan mewakili rakyat dalam mengatur dan menetapkan Undang-undang, b). fungsi anggaran (budgetting), artinya DPR mempunyai kewenangan mewakili rakyat dalam menentukan anggaran Negara, dan c). fungsi pengawasan, artinya DPR mempunyai fungsi untuk mewakili rakyat dalam hal mengawasi pemerintah.
Dalam konteks keterwakilan rakyat oleh DPR sama sekali tidak mengandung arti bahwa hak suara rakyat (hak memilih dan dipilih) pun mesti diwakilkan.
UU Pilkada Adalah UU Yang Syarat Kepentingan
Pengesahan UU Pilkada pada 25 september lalu yang di motori oleh partai-partai pengusung pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta pada pilpres lalu yang kemudian tergabung dalam satu koalisi yaitu Koalisi Merah-Putih, adapun partai yang tergabung dalam koalisi tersebut adalah Partai Gerindra, Demokrat, PKS, PPP, PAN, PBB, dan Golkar. Dalam skema pengesahan UU Pilkada, Partai Demokrat sendiri memilih Walk Out (WO) padahal partai Demokrat sendirilah yang menjadi pengusung lahirnya RUU Pilkada melalui ketua umumnya Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2012 lalu.
Ketika melihat siapa saja yang menjadi motor dalam pengesahan UU ini maka teranglah bahwa sejatinya pengesahan UU Pilkada mengandung makna agar partai-partai tersebut tetap mampu menginterpensi kepemerintahan di tingkat daerah sehingga segala kepentingan partainya tetap mampu diakomodir, setelah kepemimpinan Negara gagal direbutnya.
Artinya, UU pilkada ini mempunyai arti politik yang sangat penting bagi penyelamatan kepentingan partai bukan kepentingan rakyat meski alasan yang digunakan adalah Efisiensi Anggaran Negara. Soalnya adalah, kepentingan tersebut telah mengorbankan kepentingan politik rakyat. Di lain sisi, saat bersamaan dengan ketika UU pilkada disahkan dengan alasan efisiensi anggaran justru pemotongan subsidi public berjalan dengan lancar di semua sector yang berakibat pada semakin mahalnya biaya kehidupan rakyat termasuk pendidikan, sehingga pertanyaanya adalah; peruntukan efisiensi anggaran sebagai alasan penetapan UU Pilkada ini untuk siapa?
Selanjutnya, jika pemimpin daerah dipilih oleh parlemen, sedangkan parlemen sendiri merupakan bentuk keterwakilan partai politik borjuasi bukan bentuk keterwakilan rakyat, akibatnya adalah  segala kebijakan maupun aspirasi yang dikeluarkan parlemen tentunya adalah kebijakan atau aspirasi yang dikeluarkan partai (bukan rakyat) berdasarkan pada kepentingannya. Situasi ini tentunya adalah situasi empuk bagi berlangsungnya deal-deal politik antara partai politik borjuasi dengan kekuatan tuan tanah dan capital monopoli, maksudnya tuan tanah dan capital monopoli tak lagi harus berupaya keras untuk melegalkan perampasan tanah tapi cukup berhubungan dengan partai atau koalisi dominan di dalam tubuh parlemen.
Apa Arti Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Bagi Kaum Tani
Situasi keterpurukan kaum tani di ranah ekonomi yang disebabkan oleh perampasan tanah besar-besaran yang dilakukan oleh pertambangan, perkebunan, pariwisata dan semacamnya, mahalnya biaya produksi pertanian serta tidak adanya jaminan atas harga hasil produksi pertanian tentunya membuat Ruang pemilu daerah langsung (PILKADA Langsung) mempunyai arti politik yang sangat penting bagi kaum tani, dimana melalui ruang tersebut kaum tani dapat menawarkan kontrak-kontrak politik dengan setiap calon pemimpin daerah, kontrak politik maksudnya adalah ajuan-ajuan kaum tani atas persoalannya yang kemudian oleh calon pemimpin daerah tersebut bisa menjadi program tawarannya ketika sudah menjadi pemimpin daerah.
Benar bahwa pemimpin daerah yang terpilih secara langsung selama ini belum mampu memberikan arti yang baik bagi kehidupan kaum tani, hal tersebut tentunya akan jauh lebih parah jika pemimpin daerah tak lagi dipilih langsung atau hanya ditentukan melalui skema voting di ruang parlemen semata.
Situasi tersebut tentunya akan semakin mempermudah bagi kekuatan tuan tanah dan capital monopoli untuk terus melakukan perampasan atas tanah pun juga pengerukan atas sumber-sumber kehidupan rakyat. Yang artinya sama dengan akan semakin memperburuk situasi ekonomi kaum tani.
Berdasarkan penjabaran di atas, kami dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA-NTB) menuntut : CABUT UU PILKADA TIDAK LANGSUNG KARENA TELAH MENGANGKANGI HAK DEMOKRATIS RAKYAT!
Melalui pernyataan sikap ini, AGRA-NTB juga mengajak seluruh elemen rakyat pro demokrasi untuk bersatu dan berlawan atas setiap tindak perusakan demokrasi dan usaha-usaha perampasan hak dan kedaulatan rakyat.
Mataram, 07 Oktober 2014
Aliansi Gerakan Reforma Agraria
AGRA – NTB

Saiful Wathoni
Ketua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar