Oleh
: THONI SAGARA
Barangkali
kita masih menjadi penikmat kopi yang sama. Jika benar demikian, ada baiknya
kita mulai saja pagi ini dengan segelas kopi dan tentunya dengan beberapa
percakapan menarik juga pastinya. Seperti biasanya kopi selalu saja akan
menjadi awal yang baik bagi setiap pembicaraan kita.
Seperti halnya
waktu-waktu yang telah lalu, aku masih saja menjadi penikmat kopi yang sama,
kopi hitam dengan campuran gula yang cukup sedikit saja, takarannya cukup
setengah sendok makan gula dan dua sendok makan kopi. Kamu mungkin masih
mengingatnya, campuran gula bagiku hanya sebagai penghilang rasa hambar kopi
saja. Caraku menikmati kopi pun sejauh ini masih sama dengan cara-cara
sebelumnya, menikmati kopi sembari memulai percakapan-parcakapan baik pastinya.
Barangkali
caraku menggilai kopi memang agak sedikit berlebihan, bukan agak sesungguhnya,
tapi memang sudah benar-benar berlebihan. Sebenarnya bukan kopinya yang membuat
aku menggilai kopi dengan sangat berlebihan, hanya saja obrolan yang seringkali
membuat kita tertahan di tempat duduk kita selama berjam-jam itu yang kusukai
dari kopi.
Semoga saja
kita masih sama-sama mengingatnya, ketika kita harus duduk berjam-jam dengan
bergelas-gelas kopi sembari berbagi cerita tentang kisah petani selatan yang terancam
tergusur dari tanah kelahirannya sebab rencana pembangunan pariwisata. Obrolan itu
seringkali aku dokumentasikan dalam catatan-catatan kecil di buku sakuku,
kiranya masih tersusun rapi. Bahkan beberapa bagianya sering aku tuliskan di
dalam status facebookku dan kerap menjadi catatan juga di dalam blogku dengan
label coretan.
Semoga saja
kita masih sama-sama mengingatnya, sewaktu kita minum kopi di teras depan rumah
tua yang rumah tua itu kemudian kita sebut sebagai sentrum konsolidasi sembari
berbagi kabar tentang tanah kita yang telah dikapling-kapling perusahaan
tambang, perkebunan dan pariwisata yang kemudian hanya menyisakan 0,3 Ha bagi tiap
satu keluarga tani (bahkan banyak juga yang tidak kebagian). “solusinya
hanya reforma agraria sejati” celetukmu kala itu, selanjutnya kamu
menjelaskan tentang reforma agraria sejati dengan panjang lebar penuh semangat dan
aku hanya memperhatikan gerak bibirmu dengan seksama sembari menyeruput kopiku.
Dan satu lagi yang kuingat, ketika itu kau juga menyebut sebuah selogan yang
belakangan banyak aku jumpai di hastag facebook, pamphlet, poster dan deskripsi
blog beberapa kawan, kalimat itu kalau tidak salah berbunyi seperti ini “tidak
ada demokrasi tanpa reforma agrarian sejati”.
Semoga saja
kita masih sama-sama mengingatnya, sewaktu kita minum kopi sebelum berangkat
demonstrasi disuatu pagi di awal bulan mei (hari itu kita sebut MAYDAY) dan
kita masih sempat berbicara tentang betapa tidak ilmiah dan demokratisnya dunia
pendidikan kita. Oya, tentu saja juga tentang pendidikan kita yang tidak pernah
mengabdi pada rakyat pastinya. “Pendidikan kita memang tidak untuk
melahirkan tenaga produktif yang siap membangun kemadirian ekonomi dalam
negeri, tapi pendidikan kita hanya diorientasikan sebagai mesin pencetak
buruh-buruh yang akan siap dibayar murah saja” penggalan kalimatmu yang
ini masih terngiang sampai sekarang dan kerap kusampaikan juga saat acara-acara
ngopi bareng dengan yang lainnya. Pada kesempatan yang sama, seingatku kamu
juga menjelaskanku tentang penghisapan nilai lebih kepada klas buruh dan system
kerja outsourching yang jahanam itu.
Semoga saja
kita masih sama-sama mengingatnya, sewaktu kita minum kopi saat terang cahaya
bulan (seingatku waktu itu adalah purnama ke-23 sejak kali pertama pertemuan kita)
sembari mimbacarakan tentang kebijakan kenaikan harga BBM di tengah melimpah
ruahnya sumber-sumber minyak di dalam negeri. “ini aneh….” Katamu ketika
itu.
Ah… waktu
itu mungkin sudah terlampau lama memang. Tapi aku masih selalu mengingatnya,
bahkan aku sering melakukan aktifitas semacam itu (ngopi sembari berbagi cerita)
dengan orang-orang yang kutemui. Dan aktifitas semacam itu membuat kwalitas
kegilaanku terhadap kopi semakin menjadi.
Kali ini
kita bertemu kembali di meja kopi yang sama seperti dahulu (aku ingat,
pertemuan kita dulu kita awali di meja yang ini dan dengan posisi yang sama
pula). Aku memilih meja dengan posisi yang ini dengan harapan bahwa segala
kenang akan menyeruak begitu saja, tumpah seketika dan kita akan berenang di
dalamnya.
“capuchino
satu…” ucapmu sembari mengacungkan tengan ke pemilik warung. aha… ternyata
kau tak lagi penikmat kopi dengan warna sehitam dan rasa sepahit dahulu lagi,
sebab hal ini aku mulai kebingungan untuk memulai percakapan. Kebingunganku untuk
memulai percakapan semakin menjadi saat kamu menanyakan tentang kopi pesananku,
“bung
minum apa?” tanyamu. Ternyata kamu sudah lupa dengan
rasa kopi yang telah kita gilai sejak lama itu. Dulu biasanya pada ketika yang
sama dengan saat ini, kamu tidak pernah menanyakan hal semcam itu tapi kamu akan
langsung saja mengangkat dua jarimu kearah pemilik warung sembari berucap “kopi
hitam dua, pahit ya… gulanya cukup setengah sendok saja”.
Seperti
yang sudah kutebak sejak pertama kamu memesan gelas capuchinomu, perbincangan kita
menjadi tidak lagi sehangat dahulu tepatnya perbincangan kita tidak lagi menjadi
semenarik dahulu. Kita hanya berbagi kabar kemudian saling berbagi Tanya seolah
hanya sedang mencari-cari alasan untuk menghabiskan kopi yang sudah terlanjur
dipesan saja. Tidak ada lagi obrolan yang membuncahkan semangat semacam dahulu,
tidak ada lagi ekspresi seperti pendendam dalam setiap ceritamu.
Barangkali
obrolan kita menjadi semembosankan ini sebab warna dan rasa kopi kita yang
sudah tak lagi sama. Ingin rasanya sesekali menyela dan mencoba menawarkanmu
kopiku meski hanya untuk satu atau dua kali seruput saja. Tapi pada caramu
menikmati gelas capuchinomu membuatku mengurungkan niat. Sepertinya kamu memang
telah menggilai capuchino seperti aku yang telah menggilai kopi hitam pahit yang
sebenarnya dulu sama-sama kita gilai ini.
(Mataram,
04 februari 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar