Selasa, 03 Februari 2015

SAAT KOPIMU TIDAK SEHITAM DAN SEPAHIT DAHULU



Oleh : THONI SAGARA
 

Barangkali kita masih menjadi penikmat kopi yang sama. Jika benar demikian, ada baiknya kita mulai saja pagi ini dengan segelas kopi dan tentunya dengan beberapa percakapan menarik juga pastinya. Seperti biasanya kopi selalu saja akan menjadi awal yang baik bagi setiap pembicaraan kita.

Seperti halnya waktu-waktu yang telah lalu, aku masih saja menjadi penikmat kopi yang sama, kopi hitam dengan campuran gula yang cukup sedikit saja, takarannya cukup setengah sendok makan gula dan dua sendok makan kopi. Kamu mungkin masih mengingatnya, campuran gula bagiku hanya sebagai penghilang rasa hambar kopi saja. Caraku menikmati kopi pun sejauh ini masih sama dengan cara-cara sebelumnya, menikmati kopi sembari memulai percakapan-parcakapan baik pastinya.

Barangkali caraku menggilai kopi memang agak sedikit berlebihan, bukan agak sesungguhnya, tapi memang sudah benar-benar berlebihan. Sebenarnya bukan kopinya yang membuat aku menggilai kopi dengan sangat berlebihan, hanya saja obrolan yang seringkali membuat kita tertahan di tempat duduk kita selama berjam-jam itu yang kusukai dari kopi.

Semoga saja kita masih sama-sama mengingatnya, ketika kita harus duduk berjam-jam dengan bergelas-gelas kopi sembari berbagi cerita tentang kisah petani selatan yang terancam tergusur dari tanah kelahirannya sebab rencana pembangunan pariwisata. Obrolan itu seringkali aku dokumentasikan dalam catatan-catatan kecil di buku sakuku, kiranya masih tersusun rapi. Bahkan beberapa bagianya sering aku tuliskan di dalam status facebookku dan kerap menjadi catatan juga di dalam blogku dengan label coretan.

Semoga saja kita masih sama-sama mengingatnya,  sewaktu kita minum kopi dipinggir jalan sembari bercerita tentang penembakan petani di tanak awu dengan alasan pembangunan Bandara Internasional Lombok (BIL), aku ingat waktu itu wajahmu berubah merah padam serupa seorang pendendam  yang telah bertahun-tahun terbakar dendam tapi masih belum jua terbalaskan.

Semoga saja kita masih sama-sama mengingatnya, sewaktu kita minum kopi di teras depan rumah tua yang rumah tua itu kemudian kita sebut sebagai sentrum konsolidasi sembari berbagi kabar tentang tanah kita yang telah dikapling-kapling perusahaan tambang, perkebunan dan pariwisata yang kemudian hanya menyisakan 0,3 Ha bagi tiap satu keluarga tani (bahkan banyak juga yang tidak kebagian). “solusinya hanya reforma agraria sejati” celetukmu kala itu, selanjutnya kamu menjelaskan tentang reforma agraria sejati dengan panjang lebar penuh semangat dan aku hanya memperhatikan gerak bibirmu dengan seksama sembari menyeruput kopiku. Dan satu lagi yang kuingat, ketika itu kau juga menyebut sebuah selogan yang belakangan banyak aku jumpai di hastag facebook, pamphlet, poster dan deskripsi blog beberapa kawan, kalimat itu kalau tidak salah berbunyi seperti ini “tidak ada demokrasi tanpa reforma agrarian sejati”.

Semoga saja kita masih sama-sama mengingatnya, sewaktu kita minum kopi sebelum berangkat demonstrasi disuatu pagi di awal bulan mei (hari itu kita sebut MAYDAY) dan kita masih sempat berbicara tentang betapa tidak ilmiah dan demokratisnya dunia pendidikan kita. Oya, tentu saja juga tentang pendidikan kita yang tidak pernah mengabdi pada rakyat pastinya. “Pendidikan kita memang tidak untuk melahirkan tenaga produktif yang siap membangun kemadirian ekonomi dalam negeri, tapi pendidikan kita hanya diorientasikan sebagai mesin pencetak buruh-buruh yang akan siap dibayar murah saja” penggalan kalimatmu yang ini masih terngiang sampai sekarang dan kerap kusampaikan juga saat acara-acara ngopi bareng dengan yang lainnya. Pada kesempatan yang sama, seingatku kamu juga menjelaskanku tentang penghisapan nilai lebih kepada klas buruh dan system kerja outsourching yang jahanam itu.

Semoga saja kita masih sama-sama mengingatnya, sewaktu kita minum kopi saat terang cahaya bulan (seingatku waktu itu adalah purnama ke-23 sejak kali pertama pertemuan kita) sembari mimbacarakan tentang kebijakan kenaikan harga BBM di tengah melimpah ruahnya sumber-sumber minyak di dalam negeri. “ini aneh….” Katamu ketika itu.

Ah… waktu itu mungkin sudah terlampau lama memang. Tapi aku masih selalu mengingatnya, bahkan aku sering melakukan aktifitas semacam itu (ngopi sembari berbagi cerita) dengan orang-orang yang kutemui. Dan aktifitas semacam itu membuat kwalitas kegilaanku terhadap kopi semakin menjadi.

Kali ini kita bertemu kembali di meja kopi yang sama seperti dahulu (aku ingat, pertemuan kita dulu kita awali di meja yang ini dan dengan posisi yang sama pula). Aku memilih meja dengan posisi yang ini dengan harapan bahwa segala kenang akan menyeruak begitu saja, tumpah seketika dan kita akan berenang di dalamnya.

“capuchino satu…” ucapmu sembari mengacungkan tengan ke pemilik warung. aha… ternyata kau tak lagi penikmat kopi dengan warna sehitam dan rasa sepahit dahulu lagi, sebab hal ini aku mulai kebingungan untuk memulai percakapan. Kebingunganku untuk memulai percakapan semakin menjadi saat kamu menanyakan tentang kopi pesananku, “bung minum apa?” tanyamu. Ternyata kamu sudah lupa dengan rasa kopi yang telah kita gilai sejak lama itu. Dulu biasanya pada ketika yang sama dengan saat ini, kamu tidak pernah menanyakan hal semcam itu tapi kamu akan langsung saja mengangkat dua jarimu kearah pemilik warung sembari berucap “kopi hitam dua, pahit ya… gulanya cukup setengah sendok saja”.

Seperti yang sudah kutebak sejak pertama kamu memesan gelas capuchinomu, perbincangan kita menjadi tidak lagi sehangat dahulu tepatnya perbincangan kita tidak lagi menjadi semenarik dahulu. Kita hanya berbagi kabar kemudian saling berbagi Tanya seolah hanya sedang mencari-cari alasan untuk menghabiskan kopi yang sudah terlanjur dipesan saja. Tidak ada lagi obrolan yang membuncahkan semangat semacam dahulu, tidak ada lagi ekspresi seperti pendendam dalam setiap ceritamu.

Barangkali obrolan kita menjadi semembosankan ini sebab warna dan rasa kopi kita yang sudah tak lagi sama. Ingin rasanya sesekali menyela dan mencoba menawarkanmu kopiku meski hanya untuk satu atau dua kali seruput saja. Tapi pada caramu menikmati gelas capuchinomu membuatku mengurungkan niat. Sepertinya kamu memang telah menggilai capuchino seperti aku yang telah menggilai kopi hitam pahit yang sebenarnya dulu sama-sama kita gilai ini.

                                                                       (Mataram, 04 februari 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar