Diterbitkan oleh:
SERIKAT PETANI INDONESIA WILAYAH NTB (SPI - NTB)
A. SEJARAH SINGKAT
Lahan
seluas 1.250 Ha. yang kemudian ditetapkan sebagai konsesi kawasan mandalika
resort ini sebelumnya adalah berupa tanah kosong, tandus dan jarang sekali ada
orang yang mau tinggal dan menetap di kawasan ini. Baru pada tahun 1920 mulai
ada sebagian masyarakat yang membuka lahan dan mendiami kawasan ini yang
kemudian disebut ngagum[1],
masyarakat tersebut datang dari Desa Sengkol dan sekitarnya. Laju ngagum lahan
tersebut terus berlangsung sampai sekitar tahun 1977. Masyarakat yang datang
ngagum lahan ke kawasan ini datang dari berbagai penjuru Lombok tengah,
sebagian besar datang dari daerah batujai, penujak, rembitan, sade bahkan dari
praya.
Sebelum menginjak pada perjalanan konflik tanah yang
sekarang ditetapkan sebagai kawasan Mandalika Resort yang melingkupi 4 desa
yaitu desa kuta, Mertak (dulu Teruwai), Sengkol dan Sukadana ini, ada baiknya
melihat kondisi penduduk sebelum peristiwa penggusuran terjadi. Mereka adalah
para nelayan dan petani yang hidup miskin. Para nelayan hanya mengandalkan
hasil tangkapan ikan pada musim-musim tertentu, terutama cumui-cumi. Sementara
alat tangkap ikan yang mereka gunakan masih terbatas. Kondisi ini juga tidak
didukung oleh ketrampilan dalam hal penangkapan ikan dan dengan peralatan yang
masih terbatas.
Hasil kebun juga tidak bisa banyak diandalkan. Kondisi
lahan tadah hujan tidak memungkinkan mereka memperoleh pendapatan ekonomi
secara tetap. Paling-paling hanya mengandalkan panen kelapa yang dapat dijual
sesekali waktu. Mereka juga memelihara ternak itupun dengan metode ngadas[2],
terutama kerbau dan sapi. Dengan alasan menambah pendapatan, sebagian penduduk
menanami ladang di lereng-lereng bukit, Mereka biasanya menanam jagung, ketela
pohon, sayur-mayur, kacang tanah, kelapa dan sebagainya.
Berangkat dari kondisi masyarakat yang miskin, Dinas
perikanan Lombok Tengah merintis budidaya rumput laut di kawasan Kuta dan
sekitarnya pada tahun 1990. Kondisi perairan yang jernih memungkinkan budidaya
rumput laut berkembang pesat. Tidak mengherankan, jika banyak warga desa-desa sekitar
Kuta mengadu peeruntungan dengan membudidayakan rumput laut tersebut.
Dengan harga rumput laut pada waktu itu yang berkisar antara
Rp. 750 - Rp. 1.400 per kilo gram, cukup membantu perekonomian penduduk. Tidak
sedikit tenaga kerja yang terserap. Merekapun mulai memperoleh pendapatan
tetap. Dengan harapan cepat lepas dari kemiskinan yang menghimpit, mereka tidak
segan-segan menjual ternak, menggadaikan sawah bahkan berhutang untuk membiayai
budidaya rumput laut.
Mimpi burukpun datang menghantui, belum
genap enam bulan, PT. Lombok Tourism Development Corporation (LTDC) atau PT.
Pengembangan Pariwisata Lombok (PPL) yang didukung Pemda Propinsi Nusa Tenggara
Barat dan Pemda Kabupaten Lombok Tengah melakukan penggusuran tanah di kawasan
Kuta dan sekitarnya. Pada awalnya PT. LTDC menyebar para calo untuk membebaskan
tanah dengan harga Rp. 10.000 - Rp. 350.000 per are, sebagian besar calo
tersebut adalah kepala dusun dan Kepala desa setempat. Pada saat pembebasan
tidak sedikit terjadi manipulasi harga yang dilakukan calo untuk melindungi
kepentingannya pada saat pembebasan tanah, PT.LTDC kemudian merekrut para
purnawirawan ABRI untuk dijadikan satpam. Disamping itu, Pemda juga
memanfaatkan aparat daerah (Aparat Desa hingga Camat), Polisi dan TNI untuk mengintimidasi
warga agar mau menjual tanahnya dengan kata-kata bahwa “tanah milik petani
tersebut tidak mempunyai bukti kepemilikan tanah yang cukup kuat, dan kalaupun
pemilik tidak mau menjual tanahnya maka tanah tersebut akan diambil secara
paksa dan tanpa dibayar sama sekali”, Mereka juga tidak segan-segan mencatut
nama Presiden Soeharto (waktu itu) untuk mengintimidasi penduduk agar mau
menyerahkan tanahnya. Pada saat yang bersamaan juga banyak sekali terjadi
terror perampokan yang anehnya sasaran perampokan justru adalah petani-petani
yang tetap bertahan tidak mau menjual tanahnya yang secara ekonomi tidak
mempunyai alasan sesungguhnya untuk dirampok, bahkan banyak rumah-rumah warga
yang dibakar pada waktu itu oleh orang-orang tak dikenal.
Konflik
tanah di kawasan Kuta dan sekitarnya saat ini merupakan kilas balik dari
penggusuran tanah yang dilakukan Pemda Lombok Tengah tahun 1991. Saat itu
sebanyak 1.500 petani yang membudidayakan rumput laut dan darat digusur Pemda
Lombok Tengah. Budidaya rumput laut waktu itu cukup menjanjikan bagi perbaikan
kondisi ekonomi. Dari usaha budidaya rumput laut pendapatan yang mereka peroleh
mencapai Rp. 400.000 - Rp. 500.000/bulan.
Dengan melibatkan aparat militer dan calo-calo tanah yang
sebagian besar adalah Kepala Dusun dan kepala desa setempat, PT. LTDC berhasil
menghentikan penanaman rumput laut dan menggusur tanah sebagian besar
masyarakat Kuta dengan Platform harga ganti rugi yang tidak jelas sampai dengan saat ini, ketidak jelasan
platform harga ganti rugi ini kemudian membua ruang besar bagi para calo untuk
memainkan harga tanah, hasilnya harga tanah kemudian dibayar dengan harga yang
beragam yaitu berkisar antara Rp. 10.000 – 350.000. Bahkan PT. LTDC kemudian merekrut
para purnawirawan ABRI sebagai satpam, hal ini bertujuan apalagi kalau bukan
untuk “menjaga” keberadaan PT. LTDC.
Pada saat penggusuran berlangsung harga rumput laut mencapai puncaknya,
yaitu 1.500/kg. Berbarengan dengan mencuatnya protes
rakyat Kuta, harga rumput laut anjlok ke angka berkisar Rp. 400/kg. Ada
indikasi anjloknya harga rumput laut diciptakan oleh Pemerintah Daerah untuk
menghancurkan perekonomian dan perlawanan rakyat petani rumput laut Kuta. Sejak
itu kekuatan petani rumput laut semakin lemah, bahkan sebagian besar tanaman
rumput laut tersebut dirusak oleh orang-orang suruhan pT. LTDC secara
terang-terangan.
Kasus Kuta ini juga sempat mengundang perhatian Senat Mahasiswa Universitas Mataram (SMUM) untuk berdialog dengan Pemda Lombok Tengah pada tahun 1991. Dialog tersebut bertujuan untuk mendiskusikan konsep pembangunan industri pariwisata yang berwawasan kerakyatan. SMUM berpendapat, masyarakat lokal bukan sebagai penjual tanah, tetapi tanah mereka harus menjadi saham penyerta PT. LTDC untuk menjaga keberlangsungan perekonomian rakyat. Dengan sikap arogan Bupati Lombok Tengah H. Irham (saat itu) menolak konsep yang ditawarkan SMUM, seraya memamerkan industri pariwisata Kuta akan menyerap tenaga kerja 17.000 orang. Masyarakat tetap harus digusur.
Tetapi sampai pada tahun 1998, ratusan hektar tanah yang
telah dibebaskan ditelantarkan. PT.LTDC tidak pernah mempu membangun daerah
pariwisata tersebut sesuai dengan plan awalnya, hanya terdapat satu komplek
hotel yang bernama Novotel yang mampu didirikan di atas tanah PT. LTDC tersebut.
Gerakan reformasi 1998 memberi inspirasi untuk membangkitkan kembali
gerakan tani di daerah Gerupuk dan sekitarnya yang pernah terkubur
bertahun-tahun. Diawali dengan sebuah aksi unjuk rasa di kantor Gubernur NTB
pada tanggal 15 Agustus 1998. Pada saat yang sama petani korban penggusuran
bandara udara internasional Penujak juga melakukan aksi unjuk rasa menuntut
agar Pemda Lombok Tengah dan PT. Angkasa Pura II mengembalikan tanah petani
yang ditelantarkan. Aksi unjuk rasa dilanjutkan pada tanggal 1998 dengan
melakukan aksi menginap di kantor Gubernur.
Selama tahun 1998, sejalan dengan beberapa aksi unjuk rasa, penyelesaian
kasus kawasan industri pariwisata PT. LTDC dilakukan dengan melakukan dengar
pendapat dengan pihak DPRD Tk. I NTB. Setelah melalui serangkaian dengar
pendapat, DPRD TK. I NTB membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk melakukan
penyelidikan posisi kasus PT. PPL. Namun hasil pansus itu sampai
saat ini belum memuaskan masyarakat. Salah satu rekomendasi hasil Pansus itu
menyatakan, karena ada indikasi penyimpangan, PT. PPL/LTDC direkomendasikan
akan diubah statusnya dari Hak Guna Bangunan (HGB) menjadi Hak Pengelolaan
(HPL) yang berarti akan dikembalikan ke penguasaan negara.
Berdasarkan ulasan tersebut maka persoalannya adalah bukan karena petani
menolak pembangunan pariwisata yang direncanakan pemerintah, akan tetapi upaya
tersebut menjadi soal karena proses pemaksaan pelepasan tanah yang dilakukan
oleh pemerintah saat itu bersama dengan PT.LTDC yang kemudian merampas hak
petani atas hak kelola tanahnya. Adapun hal tersebut tergambar jelas dari
proses pembebasan tanahnya yang syarat dengan persoalan. Adapun persoalan
tersebut berupa sebagai berikut :
1.
Harga tanah oleh PT. LTDC pada waktu itu
adalah berkisar antara Rp. 10.000 – 350.000/are bahkan sampai dengan saat ini
masih banyak tanah petani yang tidak pernah dibayar sama sekali. Sedangkan Tidak
ada platform harga tanah yang jelas yang diterbitkan baik oleh Pemda maupun PT.
LTDC
2.
Perjanjian dengan juru bayar PT. LTDC
pada waktu itu adalah bahwa uang yang diberikan kepada petani sejumlah tersebut
diatas adalah berupa Uang muka
3.
Pemilik lahan dijanjikan ganti rugi
bangunan, tanaman dan biaya pindah, sampai dengan saat ini tidak pernah ada
realisasi
4.
Proses pembebasan dilakukan dengan
ancaman yang dilakukan langsung oleh pihak utusan PT. LTDC, Kepala dusun,
Kepala Desa dan TNI setempat, ancaman-ancaman termaksud berupa :
a. Petani
dikatakan tidak mencukupi bukti kepemilikan atas tanah
b. Petani
harus menjual tanahnya jika tidak tanah tersebut akan tetap diambil secara
paksa dan tanpa dibayar
c. Bahkan
ada beberapa petani yang sempat dipenjara karena menolak proses pembebasan
d. Pada
saat proses pembebasan tanah berlangsung petani banyak didatangi perampok,
maling bahkan banyak yang rumahnya yang dibakar oleh orang tak dikenal.
5.
Tanah tidak pernah dijual oleh pemilik
tapi tiba-tiba tanah tersebut sudah dimiliki oleh PT. LTDC
6.
Tanah dijual oleh orang lain yang sama
sekali tidak mempunyai hubungan darah dengan pemilik
7.
Proses pembebasan tidak ada dokumen
jual-beli maupun serah terima. Pemilik lahan hanya disuruh menjempol surat pada
waktu menerima uang bayaran yang kemudian surat tersebut tidak diberikan
salinannya kepada pemilik lahan
8.
Sebagian besar Dokumen-dokumen tanah
pemilik lahan diambil oleh PT. LTDC pada waktu pembebasan
B. Tentang PT. Pengembang Pariwisata
Lombok (PPL)/ Lombok Tourism Development Coorporation
PT. LTDC adalah sebuah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
yang merupakan badan otoritas yang mengelola kawasan industri pariwisata Kuta
dengan konsesi lahan seluas 1.250 ha. PT. LTDC berada dibawah
payung PT. Rajawali Wirabhakti Utama yang dikuasai oleh keluarga Cendana. PT.
LTDC dibentuk dengan masa kontrak selama
70 tahun dan bisa diperpanjang lagi. Badan otoritas ini adalah milik Pemda NTB
dan PT. RWU dengan pembagian sahan masing-masing 35 % Pemda NTB dan PT.
Rajawali Wirabhakti Utama (RWU) 65 %. Belakangan sebagian saham PT. LTDC dibeli
oleh PT. Tridan sehingga saham Pemda NTB tinggal 10 %. Konon, penjualan saham
itu tanpa sepengetahuan Pemda NTB selaku pemilik sahan 35 %.
Sebelumnya,
konsesi lahan PT. LTDC seluas 600 ha. kemudian bertambah menjadi 1.250 ha. Patut dicurigai, penambahan luas konsesi
lahan tersebut disinyalir adalah hasil dari korupsi dan kolusi antara Pemda NTB
dan PT. LTDC yang konon dikuasai oleh keluarga Soeahrto (Presiden RI) tersebut.
Mengingat salah seorang komisaris LTDC adalah Gubernur NTB, Warsito (waktu itu)
yang juga milter aktif. Dan
siapa berani menentang keinginan keluarga Soeharto ketika masih berkuasa, meski
itu merugikan rakyat ?
Sebagaimana dikemukakan di depan PT. LTDC merupakan sebuah badan otoritas
korporasi yang sahamnya dikuasai oleh PT. Rajawali Wira Bhakti Utama (65 %) dan
Pemerintah Daerah TK. I Nusa Tenggara Barat (35 %). PT. LTDC, dibentuk melalui
Perjanjian Dasar No. 133 tahun 1989 yang dibuat pada hari Rabu, tanggal 3 mei
1989. Perjanjian ditandatangani oleh Gubernur Kepala Daerah Tk. I NTB, Warsito
dan Presiden Direktur PT. Rajawali Wira Bhakti Utama, Peter Sondakh yang
beralamat di Lantai 3 Wisma Rajawali Jl. Jend. Sudirman Jakarta. Warsito
sendiri pada saat itu statusnya masih aktif sebagai anggota militer dari satuan
TNI Angkatan Darat dengan pangkat kolonel.
Sebelum Perjanjian Dasar dibuat, kedua belah pihak melakukan Perjanjian
Pendahuluan No. 50 tahun 1989 yang ditandatangani pada 9 Februari 1989.
Perjanjian ini berisi nota kesepakatan kedua belah pihak untuk mendirikan
perseroan guna mengembangkan, membangun, memelihara, mengurus dan memasarkan kawasan industri pariwisata.
Apabila ditilik dari pernyataan terakhir itu (garis tebal), maka nampak bahwa
salah satu peran PT. LTDC adalah menjual
kembali kawasan industri pariwisata dari tanah masyarakat yang
“dibebaskan”. Peran sebagai penjual ini nampak dari perkembangan selama ini di
mana PT. LTDC hanya mendatangkan investor dari luar alias tidak membangun
sendiri sarana akomodasi.
Dalam pasal 2 poin 2.02 Perjanjian Dasar disebutkan bahwa kawasan industri
pariwisata yang akan dikembangkan seluas 500 ha yang berlokasi di Pantai Aan
dan sekitarnya di daerah Lombok Selatan. PT. LTDC didirikan dengan modal Rp.
2.000.000.000,- yang dibagi dalam 200 saham dengan nilai nominal masing-masing
saham sebesar Rp. 10.000.000,- Dari jumlah saham itu, Pihak Pemda Tk. I NTB menempatkan saham 70 saham senilai Rp. 700.000.000,- dan Pihak PT.
Rajawali senilai Rp. 1.300.000.000,- Saham ini digunakan untuk beaya pembebasan
tanah berserta pohon dan rumah, gaji pegawai, biaya operasional dll.
Keberadaan PT. LTDC juga
tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 10 tahun 1989 tentang Penyertaan
Modal Daerah pada Pihak Ketiga melalui Pendirian Perseroan Terbatas (PT) dalam
Pengembangan Kawasan Industri pariwisata
di Pantai Aan dan sekitarnya. Perda ini ditanda tangani oleh Ketua DPRD Tk. I
NTB, H. Mesir Suryadi, SH dan Gubernur Kepala Daerah Tk. I NTB, Warsito pada
tanggal 15 Agustus 1989. Salah satu konsideran Perda itu menetapkan 2 (dua)
orang Komisaris, termasuk Komisaris Utama yang secara ex officio dijabat oleh Gubernur Kepala Daerah dan 1 (satu)
Direktur (pasal 5 (1)).
Perda itu menetapkan beberapa pokok kerjasama yang telah disepakati antara
Pemda NTB dan PT. Rajawali Wira Bhakti Utama, di antaranya:
1. Ke dua belah pihak
menyertakan modal, yaitu Pemda 35 % dan PT. Rajawali 65 % dari nilai modal awal
Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah). Nilai nominal satu saham sebesar Rp.
10.000.000,-, sehingga Pemda menempatkan saham 70 lembar dengan nilai Rp.
700.000.000,-.
2. Di samping itu, Perda
tersebut juga menetapkan bahwa luas kawasan PT.
LTDC seluas 500
ha dengan jangka waktu kerjasama selama 70 tahun. Setelah jangka waktu
kerjasama berakhir PT. Rajawali Wira Bhakti Utama menyerahkan semua aset dan
saham kepada Pemda NTB (lihat Penjelasan Umum).
3. Pemda memperoleh deviden
sesuai dengan porsi saham.
C.
PT. LTDC Menjadi PT. BTDC
(Bali Tourism Development coorporation)
Belakangan diketahui PT.
LTDC telah menjual sebagian sahamnya kepada PT. Tridan, Dan entah bagaimana
jalan ceitanya, sejak itu saham Pemda NTB di PT. LTDC hanya tinggal 10 %.
Selain itu, setelah nilai Rupiah terpuruk terhadap dollar seiring dengan krisis
ekonomi tahun 1997, PT. LTDC terjerat hutang bank sebesar Rp. 1,3 trilyun.
Karena tidak mampu membayar hutangnya, PT. LTDC diambil alih oleh BPPN.
Maka semakin lengkaplah janji-janji kosong bahwa PT. LTDC akan menyerap 17.000
tenaga kerja. Kemakmuran yang dijanjikan oleh Pemerintah Daerahpun hanya isapan
jempol belaka. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh majunya gerakan kaum tani
dalam menuntut pengembalian tanahnya pada waktu itu. Akhirnya pada tahun 1998
PT.LTDC dinyatakan
bangkrut, hutang maha besar pada bank tidak mampu
dibayar akibat melonjaknya nilai tukar dolar terhadap rupiah. Sehingga aset PT
LTDC diambil alih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang kemudian
berubah menjadi PT Pengelola Aset (PPA)
Pada tahun 1998 DPRD NTB pernah
membentuk Pansus LTDC,
hal ini kemudian berhasil mengambil alih hak pengelolaan lahan (HPL) kawasan
ini. HPL ini kemudian diserahkan ke pemerintah pusat saat PT Emaar (perusahaan pengembang Pariwisata
terkemuka asal Dubai) berkomitmen berinvestasi di kawasan ini dengan total
investasi hingga triliunan rupiah. Penyerahan HPL kepada pemerintah pusat ini
merupakan syarat yang diajukan Emaar. Sehingga pemerintah pusat kemudian
menunjuk BUMN PT BTDC sebagai pemenang HPL dan memperoleh sertifikat hak guna
bangunan (HGB) yang disertai dengan penerbitan Perturan Pemerintah (PP)
mengenai penyertaan modal dan penetapan PT BTDC sebagai pengelola kawasan.
Krisis keuangan
global yang juga berdampak pada sektor finansial Dubai memaksa PT. Emaar melakukan
restrukturisasi investasi termasuk di kawasan Mandalika Resort. Nasi sudah
menjadi bubur, HPL yang sudah
diserahkan ke PT BTDC harus dibayar mahal, sebab PT Emaar juga batal
berinvestasi.
D.
Kawasan Mandalika Resort dibawah
Pengelolaan PT. Bali Tourism Development Coorporation
Sejak 2008,
pemerintah pusat telah menyerahkan kawasan Mandalika Resort kepada PT BTDC
melalui penyertaan modal negara seperti yang tertuang dalam Peraturan
Pemerintah (PP) 50/2008 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara RI ke dalam
Modal Saham Perusahaan Perseroan (persero) PT Pengembangan Pariwisata Bali.
Lahan eks LTDC yang juga merupakan aset eks BPPN dialihkan menjadi tambahan
penyertaan modal negara pada PT BTDC. Nilai penambahan penyertaan modal negara
ini akan ditetapkan Menteri Keuangan berdasarkan penilaian yang dilakukan
dengan menggunakan nilai pasar yang wajar. Penyerahan kawasan dalam bentuk
penyertaan modal ini diberikan setelah Pemprov NTB menyerahkan hak pengelolaan
lahan (HPL) yang pernah dipegang dengan harapan PT Emaar berinvestasi.
PP ini kemudian
diubah menjadi PP 33/2009. Dalam sejumlah pasal PP ini mengatur secara jelas
mengenai pengalihan penyertaan modal negara berasal dari pengalihan seluruh
saham milik negara pada PT LTDC yang merupakan aset eks BPPN kepada PT BTDC.
Nilai saham berdasarkan nilai pasar yang wajar adalah Rp 557,660 miliar lebih.
Nilai penambahan penyertaan modal negara pada PT BTDC (Persero) ditetapkan
sebesar nilai buku sebelum dilakukan penilaian untuk nilai pasar yang wajar,
yakni Rp 260 miliar. Selisih nilai pasar yang wajar dan nilai buku yakni
sebesar Rp 297,66 miliar dihibahkan pemerintah Indonesia kepada PT BTDC sebagai
insentif bagi pengembangan di kawasan Mandalika Resort. Insentif ini digunakan
sesuai dengan tujuan hibah, yakni hanya bagi pengembangan kawasan Lombok Tengah
oleh PT BTDC.
PT.
BTDC (Bali Tourism Development Coorporation) sendiri sesungguhnya adalah BUMN
(Badan Usaha Milik Negara) yang ditunjuk langsung oleh Presiden SBY-Budiono
untuk mengelola Kawasan Mandalika Resort dengan luas HPL adalah 995 ha di kawasan yang semula dikuasai PT. LTDC yang
luasnya 1.130 ha dari konsesi 1.250 ha yang melingkupi 4 desa
yaitu Desa Kute (meliputi dusun Kute, serenting, Bunut dan Ujung), Desa Sengkol
(meliputi dusun Grupuk dan Aan), Mertak (meliputi dusun Kliuh, sekembang dan
sereneng), Desa Sukedane (meliputi dusun Patiwong). Kawasan PT. BTDC berkurang karena sekitar 135 ha
dinyatakan masih bermasalah dan belum dibebaskan[3].
Penunjukan PT.BTDC ini dikarenakan kesuksesan PT.BTDC yang telah membangun
kawasan pariwisata di Nusa Dua Bali.
Sejauh ini telah ada 7
perusahaan yang telah menandatangani MoU dengan PT. BTDC dalam upayanya
membangun kawasan pariwisata Mandalika Resort, adapun ketujuh perusahaan
tersebut adalah PT. Gobel Internasional, PT. MNC Land (MNC Group), Club
Mediteranee, PT. Canvas Development (Rajawali Group), Australia Cube’s Hotel,
PT. Wahana Karaya Suplaindo, dan PT. Yonashindo Intra Pratama. Tiga pihak lainnya yang ikut mengambil bagian dalam pemanfaatan kawasan
wisata Mandalika dan diwujudkan dengan penandatanganan MoU juga adalah Ketua
Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bali I Nyoman Madium, Direktur Politeknik
Negeri Bali I Made Mudhina, dan Bupati Lombok Tengah Suhaili FT mewakili
manajemen Balai Latihan Kerja (BLK) Lombok Tengah.
PT. Gobel
Internasional di bawah kepemimpinan Rahmat Gobel sejauh telah menguasai lahan
di kawassan Mandalika Resort seluas 300 Ha. Dengan orientasinya adalah untuk membangun fasilitas
ramah lingkungan untuk pengelolahan air minum dan limbah. Selain itu PT. Gobel
Internasional juga akan membangun resort dan hotel berbintang. Sedangkan PT.
MNC Land (MNC Group) telah menguasai 400 Ha. Lahan di kawasan Mandalika Resort.
PT. MNC Land sendiri akan membangun theme park atau taman
hiburan terintegrasi seperti disneyland, underwater park dan techno
park. PT. MNC Land juga akan membangun Lapangan golf, sirkuit balap Formula
Satu (F1), plenary hall untuk penyelenggaraan konser dan pelabuhan laut untuk
kapal pesiar dan kapal laut. Pada tahap pertama ini PT. MNC Land telah
berinvestasi di kawasan Mandalaika resort sejumlah $170 juta
dengan pembagiannya adalah $20 juta untuk lapangan golf dan $150 juta untuk
hotel bintang 5.
PT. Canvas Development
(Rajawali Group) di bawah pimpinan sekaligus pendirinya Peter Sondakh akan membangun dan
mengembangkan hotel dan vila, serta hight end resort di
wilayah Tanjung Aan. Australia Marina Cube's Hotel sebagai salah satu
Perusahaan perhotelan terkemuka asal Australia akan membangun sotel berbintang.
PT Wahanakarya Suplaindo berencana mendirikan tempat pelatihan dan keperawatan
khusus yang para lulusannya akan dikirim ke luar negeri, beserta fasilitas
pendukungnya. Selain itu, Wahanakarya juga akan
menggeluti usaha perhotelan untuk pelatihan siswa yang belajar di sekolah
perhotelan, usaha Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLKLN), usaha travel agency,
perbankan, dan "medical check up center". PT.
Yonashindo Intra Pratama berencana mendirikan tempat pelatihan
dan keperawatan khusus yang akan dikirim ke luar negeri. Manajemen Yonasindo
juga akan membangun fasilitas pendukungnya.
Sedangkan Club Mediteranee (club med) sebagai perusahaan terbesar yang juga
bermitra dengan PT. BTDC adalah perusahaan asal prancis yang memang focus bergerak
di bidang resort dan memiliki cabang di seluruh dunia, dan biasanya terdapat di
lokasi-lokasi eksotis. Perusahaan operator hotel dan resort ternama di dunia
itu dimiliki oleh Henri Giscard d’Estain, putra dari mantan Presiden Prancis
periode 1974-1981 Giscard d’Estaing.
Sejak tanggal 11 desember 2013
PT.BTDC yang kemudian menggandeng 2 kontraktor yaitu PT.Waskita Karya dan PT.
PP memulai pengerjaan proyek pembangunan jalan baru yang akan menghubungan Awang menuju Gerupuk yang
berporos di dusun Songgong desa Mertak kec. Pujut. Adapun pembangunan jalan
tersebut adalah salah satu bagian dari upaya PT.BTDC untuk terus memaksakan
pembangunan pariwisata Mandalika Resort tanpa melihat sengketa lahan yang
terjadi sejak awal rencana pembangunan kawasan tersebut oleh PT.LTDC
sebagaimana dijelaskan dalam bagian awal tulisan ini. Dengan sangat reaktif
Pemda Lombok Tengah kemudian mengawal proses pembangunan jalan yang sampai
dengan saat ini masih terus ditolak oleh petani pemilik lahan ini dengan
menurunkan aparat kepolisian dari satuan POLRES Lombok Tengah, TNI setempat,
Polisi Pamong Praja Lombok Tengah serta Pamswakrsa-pamskarsa. Terbukti Pada
hari minggu tanggal 12 Januari kemarin, Camat Pujut beserta 5 kepala desa di
kawasan kecamatan Pujut (Kades Rembitan, Sengkol, Mertak, Sukadana dan Kuta)
mengawal proses pengukuran lokasi jalan yang dilakukan oleh PT. BTDC, PT.
Waskita Karya dan PT. PP dilengkapi dengan 2 truk personel Polisi dari satuan POLRES
Lombok Tengah yang beberapa orang diantaranya bersenjata lengkap serta Beberapa
orang anggota TNI, POL PP dan Satpam BTDC. beberapa hari kemudian tepatnya hari
rabu tanggal 15 januari, alat berat didatangkan tapi kali ini hanya di kawal
oleh Satpam BTDC. Terahir pada hari senin 20 januari, alat berat mulai
mengerjakan pembangunan jalan yang dikawal oleh 1 truk kepolisian dari satuan
POLRES Lombok Tengah dan 50an sipil bersenjata tajam yang mengatasnamakan diri
dari ForumMasyarakat Peduli Mandalika Resort, yang kemudian berujung pada
bentrok yang mengakibatkan satu orang dari petani luka memar di lengan bagian
kanan.
E.
LAJU PENOLAKAN PETANI TERHADAP PEMBANGUNAN
MANDALIKA RESORT TERUS BERKOBAR
Jika pada era tahun 1993 – 1998
Petani Kuta – gerupuk dibawah payung organisasi SPI – NTB Ranting Badai Selatan
(Desa Kute, Sengkol, Mertak dan Sukadana) mampu membuat PT.LTDC tidak mampu
membangun di kawasan mandalika resort. Maka semangat itu kini mulai berkobar
kembali. Tercatat selama kurun waktu sejak November 2013 hingga Januari 2014
telah beberapa kali aksi protes dilakukan oleh SPI – NTB Ranting Badai Selatan
(Desa Kute, Sengkol, Mertak dan Sukadana) mulai dari aksi protes di Sektor Kuta
dan kantor Satpam PT.BTDC, kantor Bupati Lombok Tengah, Kantor Gubernur NTB,
BPN Lombok Tengah dan aksi-aksi piket yang dilakukan di Lahan selama
bermingu-minggu.
Pada tanggal 6 november 2013 aksi
protes dilakukan di Sektor Kuta dan kantor Satpam PT.BTDC yang diikuti oleh
ratusan petani dengan melakukan kompoi menggunakan speda motor, aksi protes
tersebut disebabkan karena tindakan semena-mena aparat kepolisian dari SEKTOR
Kuta dan Satpam PT.BTDC yang melarang petani membangun rumah dan mengambil kayu
kelapa hasil tebangan petani di lahan sendiri serta 1 unit mesin senso dengan
alasan bahwa tempat pembangunan rumah dan tempat penebangan pohon tersebut
adalah kawasan HPL PT.BTDC. Aksi protes tersebut berujung pada dialog dengan
perwakilan dari Kepolisian SEKTOR Kute dan Manajemen PT.BTDC, hasilnya adalah
PT. BTDC akan menjadi fasiltator pertemuan antara petani pemilik lahan yang
masih bersengketa dengan Pemda dan PT.BTDC serta kayu dan 1 unit mesin senso
yang telah diambil dari petani akan dikembalikan lagi.
Pertemuan antara petani pemilik
lahan dengan Pemda Lombok Tengah serta pihak dari PT.BTDC yang diharap-harapkan
tidak kunjung tiba. Akhirnya pada tanggal 25 november 2013 ratusan petani dari
SPI – NTB ranting Badai Selatan kembali melakukan aksi protes kali ini menuju
Kantor Bupati Lombok Tengah, dalam aksi ini massa aksi ditemui oleh asisten I
Bupati Lombok Tengah yang kemudian menyatakan kesediaanya melanjutkan tuntutan
massa aksi ke Pemerintah Provinsi NTB.
Tanggal 10 Desember 2013 yang
bertepatan dengan hari HAM sedunia, massa aksi SPI – NTB ranting Badai selatan
yang tergabung dalam Indonesian Peoples Alliance Lombok kembali mendatangi
Kantor Gubernur NTB. Dalam aksi ini massa aksi mampu menerobos masuk ke halaman
depan kantor gubernur akan tetapi tidak di temui oleh perwakilan dari Guberbur
NTB dengan alas an bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur sedang tidak ada di
tempat.
Keesokan harinya yaitu tanggal 11
desember 2013, alat berat di datangkan dan pembangunan jalan yang menghubungkan
Awang menuju gerupuk yang berporos di dusun Songgong desa Mertak kec. Pujut
dimulai. Dengan spontan massa menghadang pembangunan jalan tersebut dengan
membuat pagar dari kayu di areal pembangunan jalan tersebut. Sontak pembangunan
jalan tersebut terhenti. Sejak saat itu sampai dengan saat ini petani terus
melakukan aksi piket tiap hari dilahan dengan metode giliran perkelompok.
Kabar tentang pembangunan jalan
tersebut akan terus dipaksakan terus beredar. Ahirnya pada tanggal 06 januari
2014 SPI – NTB ranting Badai Selatan yang tergabung dalam Aliansi Gerakan
Petani Lombok Tengah kembali melakukan aksi protes, kali ini menuju POLRES
Lombok Tengah kemudian melakukan Hearing dengan BPN Lombok Tengah di kantor BPN
Lombok Tengah, adapun hasil hearingnya yang kemudian diterbitkan dalam bentuk
surat edaran yang ditandatangani langsung oleh Kepala BPN Lombok Tengah dan
seluruh peserta audiensi, salah satunya adalah “Pemilik tanah di kawasan HGB yang
terindikasi terlantar dan di kawasan HPL PT.BTDC akan melakukan pendataan tanah
ulang untuk diserahkan kepada kantor BPN Kabupaten Lombok Tengah”.
Seolah tidak mengindahkan hasil
audiensi tersebut, pada hari minggu tanggal 12 januari 2014 Pemda Lombok tengah
melalui Camat
Pujut beserta 5 kepala desa di kawasan kecamatan Pujut (Kades Rembitan,
Sengkol, Mertak, Sukadana dan Kuta) mengawal proses pengukuran lokasi jalan
yang dilakukan oleh PT. BTDC, PT. Waskita Karya dan PT. PP. yang mana proses
tersebut juga mendapat ppengawalan dari 2 truk personel Polisi dari satuan POLRES
Lombok Tengah yang beberapa orang diantaranya bersenjata lengkap serta Beberapa
orang anggota TNI, POL PP dan Satpam BTDC. Pengukuran tersebut kemudian bisa dihentikan setelah perwakilan
petani melakukan loby dengan Camat Pujut untuk menghentikan pengukuran dengan
menunjukkan surat edaran hasil audiensi dengan BPN Lombok Tengah.
Tiga hari setelahnya, yaitu pada
hari rabu tanggal 15 januari 2014. Alat
berat didatangkan dan rencananya pengukuran jalan akan dilanjutkan kembali,
hanya saja kali ini proses tersebut hanya dikawal oleh Satpam BTDC sehingga
dengan mudah dapat dihentikan oleh petani yang memang sejak tanggal 12 januari
terus melakukan konsolidasi kegiatan di lahan dimana pembangunan jalan tersebut
akan dikerjakan.
Kemudian pada hari senin tanggal 20
januari 2014 pembangunan jalan tersebut benar-benar dimulai, kali ini proses
tersebut dikawal oleh 1 truk
polisi dari satuan DALMAS POLRES Lombok Tengah bersama 50an orang sipil
bersenjata tajam yang mengatasnamakan diri dari Forum Masyarakat Peduli
Mandalika Resort. Forum Mayarakat Peduli Mandalika Resort ini diindikasikan
adalah Pamswakarsa yang berupa preman yang sengaja di bayar untuk mengamankan
pembangunan jalan tersebut. Petani sempat bertahan menghadang alat berat yang
mengerjakan pembangunan jalan tersebut akan tetapi kemudian dipukul mundur oleh
sipil bersenjata tajam dari Forum Masyarakat Peduli Mandalika Resort tersebut.
Dalam kejadian ini polisi sempat menembakkan gas air mata ke arah petani
sebanyak 4 kali. Ahirnya massa petani pun terpukul mundur dan melakukan
penyelamatan diri. Dalam kejadian ini terdapat 1 orang korban luka memar di
lengan bagian kanan akibat lemparan batu atas nama Papuq Daman (65 th). Dan sampai
saat tulisan ini diterbitkan, beberapa orang dari Forum Masyarakat Peduli
Mandalika Resort masih terlihat berjaga-jaga di tempat pembangunan jalan.
[1]
Ngagum dalam bahasa sasak berarti proses pembukaan lahan kawasan yang
sebelumnya merupakan tanah GG
[2]
Ngadas dalam bahasa sasak diartikan sebagai proses pemeliharaan ternak milik
orang lain dengan perjanjian bagi hasil
[3]
Pernyataan BPN Lombok Tengah dalam dengar pendapat bersama Aliansi Gerakan
Petani Lombok Tengah di Kantor BPN Lombok Tengah pada tanggal 06 Januari 2014
Mendukung perjuangan SPI NTB. Jayalah perjuangan kaum tani!
BalasHapus