Senin, 20 Januari 2014

JERITAN PETANI SELATAN DI BALIK INDAHNYA KAMPANYE PARIWISATA LOMBOK (Dalam Sebuah Catatan)



Diterbitkan oleh:
SERIKAT PETANI INDONESIA WILAYAH NTB (SPI - NTB)


A.      SEJARAH SINGKAT
Lahan seluas 1.250 Ha. yang kemudian ditetapkan sebagai konsesi kawasan mandalika resort ini sebelumnya adalah berupa tanah kosong, tandus dan jarang sekali ada orang yang mau tinggal dan menetap di kawasan ini. Baru pada tahun 1920 mulai ada sebagian masyarakat yang membuka lahan dan mendiami kawasan ini yang kemudian disebut ngagum[1], masyarakat tersebut datang dari Desa Sengkol dan sekitarnya. Laju ngagum lahan tersebut terus berlangsung sampai sekitar tahun 1977. Masyarakat yang datang ngagum lahan ke kawasan ini datang dari berbagai penjuru Lombok tengah, sebagian besar datang dari daerah batujai, penujak, rembitan, sade bahkan dari praya.
Sebelum menginjak pada perjalanan konflik tanah yang sekarang ditetapkan sebagai kawasan Mandalika Resort yang melingkupi 4 desa yaitu desa kuta, Mertak (dulu Teruwai), Sengkol dan Sukadana ini, ada baiknya melihat kondisi penduduk sebelum peristiwa penggusuran terjadi. Mereka adalah para nelayan dan petani yang hidup miskin. Para nelayan hanya mengandalkan hasil tangkapan ikan pada musim-musim tertentu, terutama cumui-cumi. Sementara alat tangkap ikan yang mereka gunakan masih terbatas. Kondisi ini juga tidak didukung oleh ketrampilan dalam hal penangkapan ikan dan dengan peralatan yang masih terbatas.
Hasil kebun juga tidak bisa banyak diandalkan. Kondisi lahan tadah hujan tidak memungkinkan mereka memperoleh pendapatan ekonomi secara tetap. Paling-paling hanya mengandalkan panen kelapa yang dapat dijual sesekali waktu. Mereka juga memelihara ternak itupun dengan metode ngadas[2], terutama kerbau dan sapi. Dengan alasan menambah pendapatan, sebagian penduduk menanami ladang di lereng-lereng bukit, Mereka biasanya menanam jagung, ketela pohon, sayur-mayur, kacang tanah, kelapa dan sebagainya.
Berangkat dari kondisi masyarakat yang miskin, Dinas perikanan Lombok Tengah merintis budidaya rumput laut di kawasan Kuta dan sekitarnya pada tahun 1990. Kondisi perairan yang jernih memungkinkan budidaya rumput laut berkembang pesat. Tidak mengherankan, jika banyak warga desa-desa sekitar Kuta mengadu peeruntungan dengan membudidayakan rumput laut tersebut.
Dengan harga rumput laut pada waktu itu yang berkisar antara Rp. 750 - Rp. 1.400 per kilo gram, cukup membantu perekonomian penduduk. Tidak sedikit tenaga kerja yang terserap. Merekapun mulai memperoleh pendapatan tetap. Dengan harapan cepat lepas dari kemiskinan yang menghimpit, mereka tidak segan-segan menjual ternak, menggadaikan sawah bahkan berhutang untuk membiayai budidaya rumput laut.
Mimpi burukpun datang menghantui, belum genap enam bulan, PT. Lombok Tourism Development Corporation (LTDC) atau PT. Pengembangan Pariwisata Lombok (PPL) yang didukung Pemda Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemda Kabupaten Lombok Tengah melakukan penggusuran tanah di kawasan Kuta dan sekitarnya. Pada awalnya PT. LTDC menyebar para calo untuk membebaskan tanah dengan harga Rp. 10.000 - Rp. 350.000 per are, sebagian besar calo tersebut adalah kepala dusun dan Kepala desa setempat. Pada saat pembebasan tidak sedikit terjadi manipulasi harga yang dilakukan calo untuk melindungi kepentingannya pada saat pembebasan tanah, PT.LTDC kemudian merekrut para purnawirawan ABRI untuk dijadikan satpam. Disamping itu, Pemda juga memanfaatkan aparat daerah (Aparat Desa hingga Camat), Polisi dan TNI untuk mengintimidasi warga agar mau menjual tanahnya dengan kata-kata bahwa “tanah milik petani tersebut tidak mempunyai bukti kepemilikan tanah yang cukup kuat, dan kalaupun pemilik tidak mau menjual tanahnya maka tanah tersebut akan diambil secara paksa dan tanpa dibayar sama sekali”, Mereka juga tidak segan-segan mencatut nama Presiden Soeharto (waktu itu) untuk mengintimidasi penduduk agar mau menyerahkan tanahnya. Pada saat yang bersamaan juga banyak sekali terjadi terror perampokan yang anehnya sasaran perampokan justru adalah petani-petani yang tetap bertahan tidak mau menjual tanahnya yang secara ekonomi tidak mempunyai alasan sesungguhnya untuk dirampok, bahkan banyak rumah-rumah warga yang dibakar pada waktu itu oleh orang-orang tak dikenal.
Konflik tanah di kawasan Kuta dan sekitarnya saat ini merupakan kilas balik dari penggusuran tanah yang dilakukan Pemda Lombok Tengah tahun 1991. Saat itu sebanyak 1.500 petani yang membudidayakan rumput laut dan darat digusur Pemda Lombok Tengah. Budidaya rumput laut waktu itu cukup menjanjikan bagi perbaikan kondisi ekonomi. Dari usaha budidaya rumput laut pendapatan yang mereka peroleh mencapai Rp. 400.000 - Rp. 500.000/bulan.
Dua puluh tahun silam tepatnya pada tahun 1994, ratusan petani rumput laut dari daerah Kuta dan sekitarnya mendatangi Kantor DPRD Tk. II Lombok Tengah dan DPRD Tk. I NTB. Mereka adalah masyarakat Kuta dan dari desa-desa sekitarnya yang memprotes penggusuran oleh PT. LTDC untuk dijadikan kawasan industri pariwisata, yang sebelumnya juga sejak tahun 1993 melakukan aksi dilahan yaitu menanami kembali lahan-lahan yang sudah diambil secara paksa oleh PT. LTDC, walhasil pada tahun 1994 11 orang petani diperiksa oleh Kepolisian Lombok Tengah dengan tuduhan Penggergahan yang kemudian 3 orang diantaranya atas nama Amaq Semin(Alm.), Amaq jati(Alm.) dan Inaq Sitah sempat dipenjara di LP Praya selama 5 bulan.
Dengan melibatkan aparat militer dan calo-calo tanah yang sebagian besar adalah Kepala Dusun dan kepala desa setempat, PT. LTDC berhasil menghentikan penanaman rumput laut dan menggusur tanah sebagian besar masyarakat Kuta dengan Platform harga ganti rugi yang tidak jelas  sampai dengan saat ini, ketidak jelasan platform harga ganti rugi ini kemudian membua ruang besar bagi para calo untuk memainkan harga tanah, hasilnya harga tanah kemudian dibayar dengan harga yang beragam yaitu berkisar antara Rp. 10.000 – 350.000. Bahkan PT. LTDC kemudian merekrut para purnawirawan ABRI sebagai satpam, hal ini bertujuan apalagi kalau bukan untuk “menjaga” keberadaan PT. LTDC.
Pada saat penggusuran berlangsung harga rumput laut mencapai puncaknya, yaitu 1.500/kg. Berbarengan dengan mencuatnya protes rakyat Kuta, harga rumput laut anjlok ke angka berkisar Rp. 400/kg. Ada indikasi anjloknya harga rumput laut diciptakan oleh Pemerintah Daerah untuk menghancurkan perekonomian dan perlawanan rakyat petani rumput laut Kuta. Sejak itu kekuatan petani rumput laut semakin lemah, bahkan sebagian besar tanaman rumput laut tersebut dirusak oleh orang-orang suruhan pT. LTDC secara terang-terangan.

Kasus Kuta ini juga sempat mengundang perhatian Senat Mahasiswa Universitas Mataram (SMUM) untuk berdialog dengan Pemda Lombok Tengah pada tahun 1991. Dialog tersebut bertujuan untuk mendiskusikan konsep pembangunan industri pariwisata yang berwawasan kerakyatan. SMUM berpendapat, masyarakat lokal bukan sebagai penjual tanah, tetapi tanah mereka harus menjadi saham penyerta PT. LTDC untuk menjaga keberlangsungan perekonomian rakyat. Dengan sikap arogan Bupati Lombok Tengah H. Irham (saat itu) menolak konsep yang ditawarkan SMUM, seraya memamerkan industri pariwisata Kuta akan menyerap tenaga kerja 17.000 orang. Masyarakat tetap harus digusur.

Tetapi sampai pada tahun 1998, ratusan hektar tanah yang telah dibebaskan ditelantarkan. PT.LTDC tidak pernah mempu membangun daerah pariwisata tersebut sesuai dengan plan awalnya, hanya terdapat satu komplek hotel yang bernama Novotel yang mampu didirikan di atas tanah PT. LTDC tersebut.
Gerakan reformasi 1998 memberi inspirasi untuk membangkitkan kembali gerakan tani di daerah Gerupuk dan sekitarnya yang pernah terkubur bertahun-tahun. Diawali dengan sebuah aksi unjuk rasa di kantor Gubernur NTB pada tanggal 15 Agustus 1998. Pada saat yang sama petani korban penggusuran bandara udara internasional Penujak juga melakukan aksi unjuk rasa menuntut agar Pemda Lombok Tengah dan PT. Angkasa Pura II mengembalikan tanah petani yang ditelantarkan. Aksi unjuk rasa dilanjutkan pada tanggal 1998 dengan melakukan aksi menginap di kantor Gubernur.
Selama tahun 1998, sejalan dengan beberapa aksi unjuk rasa, penyelesaian kasus kawasan industri pariwisata PT. LTDC dilakukan dengan melakukan dengar pendapat dengan pihak DPRD Tk. I NTB. Setelah melalui serangkaian dengar pendapat, DPRD TK. I NTB membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk melakukan penyelidikan posisi kasus PT. PPL. Namun hasil pansus itu sampai saat ini belum memuaskan masyarakat. Salah satu rekomendasi hasil Pansus itu menyatakan, karena ada indikasi penyimpangan, PT. PPL/LTDC direkomendasikan akan diubah statusnya dari Hak Guna Bangunan (HGB) menjadi Hak Pengelolaan (HPL) yang berarti akan dikembalikan ke penguasaan negara.
Berdasarkan ulasan tersebut maka persoalannya adalah bukan karena petani menolak pembangunan pariwisata yang direncanakan pemerintah, akan tetapi upaya tersebut menjadi soal karena proses pemaksaan pelepasan tanah yang dilakukan oleh pemerintah saat itu bersama dengan PT.LTDC yang kemudian merampas hak petani atas hak kelola tanahnya. Adapun hal tersebut tergambar jelas dari proses pembebasan tanahnya yang syarat dengan persoalan. Adapun persoalan tersebut berupa sebagai berikut :
1.      Harga tanah oleh PT. LTDC pada waktu itu adalah berkisar antara Rp. 10.000 – 350.000/are bahkan sampai dengan saat ini masih banyak tanah petani yang tidak pernah dibayar sama sekali. Sedangkan Tidak ada platform harga tanah yang jelas yang diterbitkan baik oleh Pemda maupun PT. LTDC
2.      Perjanjian dengan juru bayar PT. LTDC pada waktu itu adalah bahwa uang yang diberikan kepada petani sejumlah tersebut diatas adalah berupa Uang muka
3.      Pemilik lahan dijanjikan ganti rugi bangunan, tanaman dan biaya pindah, sampai dengan saat ini tidak pernah ada realisasi
4.      Proses pembebasan dilakukan dengan ancaman yang dilakukan langsung oleh pihak utusan PT. LTDC, Kepala dusun, Kepala Desa dan TNI setempat, ancaman-ancaman termaksud berupa :
a.       Petani dikatakan tidak mencukupi bukti kepemilikan atas tanah
b.      Petani harus menjual tanahnya jika tidak tanah tersebut akan tetap diambil secara paksa dan tanpa dibayar
c.       Bahkan ada beberapa petani yang sempat dipenjara karena menolak proses pembebasan
d.      Pada saat proses pembebasan tanah berlangsung petani banyak didatangi perampok, maling bahkan banyak yang rumahnya yang dibakar oleh orang tak dikenal.
5.      Tanah tidak pernah dijual oleh pemilik tapi tiba-tiba tanah tersebut sudah dimiliki oleh PT. LTDC
6.      Tanah dijual oleh orang lain yang sama sekali tidak mempunyai hubungan darah dengan pemilik
7.      Proses pembebasan tidak ada dokumen jual-beli maupun serah terima. Pemilik lahan hanya disuruh menjempol surat pada waktu menerima uang bayaran yang kemudian surat tersebut tidak diberikan salinannya kepada pemilik lahan
8.      Sebagian besar Dokumen-dokumen tanah pemilik lahan diambil oleh PT. LTDC pada waktu pembebasan
B.       Tentang PT. Pengembang Pariwisata Lombok (PPL)/ Lombok Tourism Development Coorporation
PT. LTDC adalah sebuah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang merupakan badan otoritas yang mengelola kawasan industri pariwisata Kuta dengan konsesi lahan seluas 1.250 ha. PT. LTDC berada dibawah payung PT. Rajawali Wirabhakti Utama yang dikuasai oleh keluarga Cendana. PT. LTDC dibentuk  dengan masa kontrak selama 70 tahun dan bisa diperpanjang lagi. Badan otoritas ini adalah milik Pemda NTB dan PT. RWU dengan pembagian sahan masing-masing 35 % Pemda NTB dan PT. Rajawali Wirabhakti Utama (RWU) 65 %. Belakangan sebagian saham PT. LTDC dibeli oleh PT. Tridan sehingga saham Pemda NTB tinggal 10 %. Konon, penjualan saham itu tanpa sepengetahuan Pemda NTB selaku pemilik sahan 35 %.
Sebelumnya, konsesi lahan PT. LTDC seluas 600 ha. kemudian bertambah menjadi 1.250 ha.  Patut dicurigai, penambahan luas konsesi lahan tersebut disinyalir adalah hasil dari korupsi dan kolusi antara Pemda NTB dan PT. LTDC yang konon dikuasai oleh keluarga Soeahrto (Presiden RI) tersebut. Mengingat salah seorang komisaris LTDC adalah Gubernur NTB, Warsito (waktu itu) yang juga milter aktif. Dan siapa berani menentang keinginan keluarga Soeharto ketika masih berkuasa, meski itu merugikan rakyat ?
Sebagaimana dikemukakan di depan PT. LTDC merupakan sebuah badan otoritas korporasi yang sahamnya dikuasai oleh PT. Rajawali Wira Bhakti Utama (65 %) dan Pemerintah Daerah TK. I Nusa Tenggara Barat (35 %). PT. LTDC, dibentuk melalui Perjanjian Dasar No. 133 tahun 1989 yang dibuat pada hari Rabu, tanggal 3 mei 1989. Perjanjian ditandatangani oleh Gubernur Kepala Daerah Tk. I NTB, Warsito dan Presiden Direktur PT. Rajawali Wira Bhakti Utama, Peter Sondakh yang beralamat di Lantai 3 Wisma Rajawali Jl. Jend. Sudirman Jakarta. Warsito sendiri pada saat itu statusnya masih aktif sebagai anggota militer dari satuan TNI Angkatan Darat dengan pangkat kolonel.
Sebelum Perjanjian Dasar dibuat, kedua belah pihak melakukan Perjanjian Pendahuluan No. 50 tahun 1989 yang ditandatangani pada 9 Februari 1989. Perjanjian ini berisi nota kesepakatan kedua belah pihak untuk mendirikan perseroan guna mengembangkan, membangun, memelihara, mengurus dan memasarkan kawasan industri pariwisata. Apabila ditilik dari pernyataan terakhir itu (garis tebal), maka nampak bahwa salah satu peran PT. LTDC adalah menjual kembali kawasan industri pariwisata dari tanah masyarakat yang “dibebaskan”. Peran sebagai penjual ini nampak dari perkembangan selama ini di mana PT. LTDC hanya mendatangkan investor dari luar alias tidak membangun sendiri sarana akomodasi.
Dalam pasal 2 poin 2.02 Perjanjian Dasar disebutkan bahwa kawasan industri pariwisata yang akan dikembangkan seluas 500 ha yang berlokasi di Pantai Aan dan sekitarnya di daerah Lombok Selatan. PT. LTDC didirikan dengan modal Rp. 2.000.000.000,- yang dibagi dalam 200 saham dengan nilai nominal masing-masing saham sebesar Rp. 10.000.000,- Dari jumlah saham itu, Pihak Pemda Tk. I NTB menempatkan saham 70 saham senilai Rp. 700.000.000,- dan Pihak PT. Rajawali senilai Rp. 1.300.000.000,- Saham ini digunakan untuk beaya pembebasan tanah berserta pohon dan rumah, gaji pegawai, biaya operasional dll.
Keberadaan PT. LTDC juga tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 10 tahun 1989 tentang Penyertaan Modal Daerah pada Pihak Ketiga melalui Pendirian Perseroan Terbatas (PT) dalam Pengembangan  Kawasan Industri pariwisata di Pantai Aan dan sekitarnya. Perda ini ditanda tangani oleh Ketua DPRD Tk. I NTB, H. Mesir Suryadi, SH dan Gubernur Kepala Daerah Tk. I NTB, Warsito pada tanggal 15 Agustus 1989. Salah satu konsideran Perda itu menetapkan 2 (dua) orang Komisaris, termasuk Komisaris Utama yang secara ex officio dijabat oleh Gubernur Kepala Daerah dan 1 (satu) Direktur (pasal 5 (1)).
Perda itu menetapkan beberapa pokok kerjasama yang telah disepakati antara Pemda NTB dan PT. Rajawali Wira Bhakti Utama, di antaranya:
1.      Ke dua belah pihak menyertakan modal, yaitu Pemda 35 % dan PT. Rajawali 65 % dari nilai modal awal Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah). Nilai nominal satu saham sebesar Rp. 10.000.000,-, sehingga Pemda menempatkan saham 70 lembar dengan nilai Rp. 700.000.000,-.
2.      Di samping itu, Perda tersebut juga menetapkan bahwa luas kawasan PT. LTDC seluas 500 ha dengan jangka waktu kerjasama selama 70 tahun. Setelah jangka waktu kerjasama berakhir PT. Rajawali Wira Bhakti Utama menyerahkan semua aset dan saham kepada Pemda NTB (lihat Penjelasan Umum).
3.      Pemda memperoleh deviden sesuai dengan porsi saham.
C.      PT. LTDC Menjadi PT. BTDC (Bali Tourism Development coorporation)
Belakangan diketahui PT. LTDC telah menjual sebagian sahamnya kepada PT. Tridan, Dan entah bagaimana jalan ceitanya, sejak itu saham Pemda NTB di PT. LTDC hanya tinggal 10 %. Selain itu, setelah nilai Rupiah terpuruk terhadap dollar seiring dengan krisis ekonomi tahun 1997, PT. LTDC terjerat hutang bank sebesar Rp. 1,3 trilyun. Karena tidak mampu membayar hutangnya, PT. LTDC diambil alih oleh BPPN. Maka semakin lengkaplah janji-janji kosong bahwa PT. LTDC akan menyerap 17.000 tenaga kerja. Kemakmuran yang dijanjikan oleh Pemerintah Daerahpun hanya isapan jempol belaka. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh majunya gerakan kaum tani dalam menuntut pengembalian tanahnya pada waktu itu. Akhirnya pada tahun 1998 PT.LTDC dinyatakan bangkrut, hutang maha besar pada bank tidak mampu dibayar akibat melonjaknya nilai tukar dolar terhadap rupiah. Sehingga aset PT LTDC diambil alih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang kemudian berubah menjadi PT Pengelola Aset (PPA)
Pada tahun 1998 DPRD NTB pernah membentuk Pansus LTDC, hal ini kemudian berhasil mengambil alih hak pengelolaan lahan (HPL) kawasan ini. HPL ini kemudian diserahkan ke pemerintah pusat saat PT Emaar (perusahaan pengembang Pariwisata terkemuka asal Dubai) berkomitmen berinvestasi di kawasan ini dengan total investasi hingga triliunan rupiah. Penyerahan HPL kepada pemerintah pusat ini merupakan syarat yang diajukan Emaar. Sehingga pemerintah pusat kemudian menunjuk BUMN PT BTDC sebagai pemenang HPL dan memperoleh sertifikat hak guna bangunan (HGB) yang disertai dengan penerbitan Perturan Pemerintah (PP) mengenai penyertaan modal dan penetapan PT BTDC sebagai pengelola kawasan.
Krisis keuangan global yang juga berdampak pada sektor finansial Dubai memaksa PT. Emaar melakukan restrukturisasi investasi termasuk di kawasan Mandalika Resort. Nasi sudah menjadi bubur, HPL yang sudah diserahkan ke PT BTDC harus dibayar mahal, sebab PT Emaar juga batal berinvestasi.
D.      Kawasan Mandalika Resort dibawah Pengelolaan PT. Bali Tourism Development Coorporation
Sejak 2008, pemerintah pusat telah menyerahkan kawasan Mandalika Resort kepada PT BTDC melalui penyertaan modal negara seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 50/2008 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara RI ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (persero) PT Pengembangan Pariwisata Bali. Lahan eks LTDC yang juga merupakan aset eks BPPN dialihkan menjadi tambahan penyertaan modal negara pada PT BTDC. Nilai penambahan penyertaan modal negara ini akan ditetapkan Menteri Keuangan berdasarkan penilaian yang dilakukan dengan menggunakan nilai pasar yang wajar. Penyerahan kawasan dalam bentuk penyertaan modal ini diberikan setelah Pemprov NTB menyerahkan hak pengelolaan lahan (HPL) yang pernah dipegang dengan harapan PT Emaar berinvestasi.
PP ini kemudian diubah menjadi PP 33/2009. Dalam sejumlah pasal PP ini mengatur secara jelas mengenai pengalihan penyertaan modal negara berasal dari pengalihan seluruh saham milik negara pada PT LTDC yang merupakan aset eks BPPN kepada PT BTDC. Nilai saham berdasarkan nilai pasar yang wajar adalah Rp 557,660 miliar lebih. Nilai penambahan penyertaan modal negara pada PT BTDC (Persero) ditetapkan sebesar nilai buku sebelum dilakukan penilaian untuk nilai pasar yang wajar, yakni Rp 260 miliar. Selisih nilai pasar yang wajar dan nilai buku yakni sebesar Rp 297,66 miliar dihibahkan pemerintah Indonesia kepada PT BTDC sebagai insentif bagi pengembangan di kawasan Mandalika Resort. Insentif ini digunakan sesuai dengan tujuan hibah, yakni hanya bagi pengembangan kawasan Lombok Tengah oleh PT BTDC.
PT. BTDC (Bali Tourism Development Coorporation) sendiri sesungguhnya adalah BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang ditunjuk langsung oleh Presiden SBY-Budiono untuk mengelola Kawasan Mandalika Resort dengan luas HPL adalah 995 ha di kawasan yang semula dikuasai PT. LTDC yang luasnya 1.130 ha dari konsesi 1.250 ha yang melingkupi 4 desa yaitu Desa Kute (meliputi dusun Kute, serenting, Bunut dan Ujung), Desa Sengkol (meliputi dusun Grupuk dan Aan), Mertak (meliputi dusun Kliuh, sekembang dan sereneng), Desa Sukedane (meliputi dusun Patiwong). Kawasan PT. BTDC berkurang karena sekitar 135 ha dinyatakan masih bermasalah dan belum dibebaskan[3]. Penunjukan PT.BTDC ini dikarenakan kesuksesan PT.BTDC yang telah membangun kawasan pariwisata di Nusa Dua Bali.
Sejauh ini telah ada 7 perusahaan yang telah menandatangani MoU dengan PT. BTDC dalam upayanya membangun kawasan pariwisata Mandalika Resort, adapun ketujuh perusahaan tersebut adalah PT. Gobel Internasional, PT. MNC Land (MNC Group), Club Mediteranee, PT. Canvas Development (Rajawali Group), Australia Cube’s Hotel, PT. Wahana Karaya Suplaindo, dan PT. Yonashindo Intra Pratama. Tiga pihak lainnya yang ikut mengambil bagian dalam pemanfaatan kawasan wisata Mandalika dan diwujudkan dengan penandatanganan MoU juga adalah Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bali I Nyoman Madium, Direktur Politeknik Negeri Bali I Made Mudhina, dan Bupati Lombok Tengah Suhaili FT mewakili manajemen Balai Latihan Kerja (BLK) Lombok Tengah.
PT. Gobel Internasional di bawah kepemimpinan Rahmat Gobel sejauh telah menguasai lahan di kawassan Mandalika Resort seluas 300 Ha. Dengan orientasinya adalah untuk membangun fasilitas ramah lingkungan untuk pengelolahan air minum dan limbah. Selain itu PT. Gobel Internasional juga akan membangun resort dan hotel berbintang. Sedangkan PT. MNC Land (MNC Group) telah menguasai 400 Ha. Lahan di kawasan Mandalika Resort. PT. MNC Land sendiri akan membangun theme park atau taman hiburan terintegrasi seperti disneyland, underwater park dan techno park. PT. MNC Land juga akan membangun Lapangan golf, sirkuit balap Formula Satu (F1), plenary hall untuk penyelenggaraan konser dan pelabuhan laut untuk kapal pesiar dan kapal laut. Pada tahap pertama ini PT. MNC Land telah berinvestasi di kawasan Mandalaika resort sejumlah $170 juta dengan pembagiannya adalah $20 juta untuk lapangan golf dan $150 juta untuk hotel bintang 5.
PT. Canvas Development (Rajawali Group) di bawah pimpinan sekaligus pendirinya Peter Sondakh akan membangun dan mengembangkan hotel dan vila, serta hight end resort di wilayah Tanjung Aan. Australia Marina Cube's Hotel sebagai salah satu Perusahaan perhotelan terkemuka asal Australia akan membangun sotel berbintang. PT Wahanakarya Suplaindo berencana mendirikan tempat pelatihan dan keperawatan khusus yang para lulusannya akan dikirim ke luar negeri, beserta fasilitas pendukungnya.       Selain itu, Wahanakarya juga akan menggeluti usaha perhotelan untuk pelatihan siswa yang belajar di sekolah perhotelan, usaha Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLKLN), usaha travel agency, perbankan, dan "medical check up center". PT. Yonashindo Intra Pratama berencana mendirikan tempat pelatihan dan keperawatan khusus yang akan dikirim ke luar negeri. Manajemen Yonasindo juga akan membangun fasilitas pendukungnya.
Sedangkan Club Mediteranee (club med) sebagai perusahaan terbesar yang juga bermitra dengan PT. BTDC adalah perusahaan asal prancis yang memang focus bergerak di bidang resort dan memiliki cabang di seluruh dunia, dan biasanya terdapat di lokasi-lokasi eksotis. Perusahaan operator hotel dan resort ternama di dunia itu dimiliki oleh Henri Giscard d’Estain, putra dari mantan Presiden Prancis periode 1974-1981 Giscard d’Estaing.
Sejak tanggal 11 desember 2013 PT.BTDC yang kemudian menggandeng 2 kontraktor yaitu PT.Waskita Karya dan PT. PP memulai pengerjaan proyek pembangunan jalan baru yang akan  menghubungan Awang menuju Gerupuk yang berporos di dusun Songgong desa Mertak kec. Pujut. Adapun pembangunan jalan tersebut adalah salah satu bagian dari upaya PT.BTDC untuk terus memaksakan pembangunan pariwisata Mandalika Resort tanpa melihat sengketa lahan yang terjadi sejak awal rencana pembangunan kawasan tersebut oleh PT.LTDC sebagaimana dijelaskan dalam bagian awal tulisan ini. Dengan sangat reaktif Pemda Lombok Tengah kemudian mengawal proses pembangunan jalan yang sampai dengan saat ini masih terus ditolak oleh petani pemilik lahan ini dengan menurunkan aparat kepolisian dari satuan POLRES Lombok Tengah, TNI setempat, Polisi Pamong Praja Lombok Tengah serta Pamswakrsa-pamskarsa. Terbukti Pada hari minggu tanggal 12 Januari kemarin, Camat Pujut beserta 5 kepala desa di kawasan kecamatan Pujut (Kades Rembitan, Sengkol, Mertak, Sukadana dan Kuta) mengawal proses pengukuran lokasi jalan yang dilakukan oleh PT. BTDC, PT. Waskita Karya dan PT. PP dilengkapi dengan 2 truk personel Polisi dari satuan POLRES Lombok Tengah yang beberapa orang diantaranya bersenjata lengkap serta Beberapa orang anggota TNI, POL PP dan Satpam BTDC. beberapa hari kemudian tepatnya hari rabu tanggal 15 januari, alat berat didatangkan tapi kali ini hanya di kawal oleh Satpam BTDC. Terahir pada hari senin 20 januari, alat berat mulai mengerjakan pembangunan jalan yang dikawal oleh 1 truk kepolisian dari satuan POLRES Lombok Tengah dan 50an sipil bersenjata tajam yang mengatasnamakan diri dari ForumMasyarakat Peduli Mandalika Resort, yang kemudian berujung pada bentrok yang mengakibatkan satu orang dari petani luka memar di lengan bagian kanan.
E.       LAJU PENOLAKAN PETANI TERHADAP PEMBANGUNAN MANDALIKA RESORT TERUS BERKOBAR
Jika pada era tahun 1993 – 1998 Petani Kuta – gerupuk dibawah payung organisasi SPI – NTB Ranting Badai Selatan (Desa Kute, Sengkol, Mertak dan Sukadana) mampu membuat PT.LTDC tidak mampu membangun di kawasan mandalika resort. Maka semangat itu kini mulai berkobar kembali. Tercatat selama kurun waktu sejak November 2013 hingga Januari 2014 telah beberapa kali aksi protes dilakukan oleh SPI – NTB Ranting Badai Selatan (Desa Kute, Sengkol, Mertak dan Sukadana) mulai dari aksi protes di Sektor Kuta dan kantor Satpam PT.BTDC, kantor Bupati Lombok Tengah, Kantor Gubernur NTB, BPN Lombok Tengah dan aksi-aksi piket yang dilakukan di Lahan selama bermingu-minggu.
Pada tanggal 6 november 2013 aksi protes dilakukan di Sektor Kuta dan kantor Satpam PT.BTDC yang diikuti oleh ratusan petani dengan melakukan kompoi menggunakan speda motor, aksi protes tersebut disebabkan karena tindakan semena-mena aparat kepolisian dari SEKTOR Kuta dan Satpam PT.BTDC yang melarang petani membangun rumah dan mengambil kayu kelapa hasil tebangan petani di lahan sendiri serta 1 unit mesin senso dengan alasan bahwa tempat pembangunan rumah dan tempat penebangan pohon tersebut adalah kawasan HPL PT.BTDC. Aksi protes tersebut berujung pada dialog dengan perwakilan dari Kepolisian SEKTOR Kute dan Manajemen PT.BTDC, hasilnya adalah PT. BTDC akan menjadi fasiltator pertemuan antara petani pemilik lahan yang masih bersengketa dengan Pemda dan PT.BTDC serta kayu dan 1 unit mesin senso yang telah diambil dari petani akan dikembalikan lagi.
Pertemuan antara petani pemilik lahan dengan Pemda Lombok Tengah serta pihak dari PT.BTDC yang diharap-harapkan tidak kunjung tiba. Akhirnya pada tanggal 25 november 2013 ratusan petani dari SPI – NTB ranting Badai Selatan kembali melakukan aksi protes kali ini menuju Kantor Bupati Lombok Tengah, dalam aksi ini massa aksi ditemui oleh asisten I Bupati Lombok Tengah yang kemudian menyatakan kesediaanya melanjutkan tuntutan massa aksi ke Pemerintah Provinsi NTB.
Tanggal 10 Desember 2013 yang bertepatan dengan hari HAM sedunia, massa aksi SPI – NTB ranting Badai selatan yang tergabung dalam Indonesian Peoples Alliance Lombok kembali mendatangi Kantor Gubernur NTB. Dalam aksi ini massa aksi mampu menerobos masuk ke halaman depan kantor gubernur akan tetapi tidak di temui oleh perwakilan dari Guberbur NTB dengan alas an bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur sedang tidak ada di tempat.
Keesokan harinya yaitu tanggal 11 desember 2013, alat berat di datangkan dan pembangunan jalan yang menghubungkan Awang menuju gerupuk yang berporos di dusun Songgong desa Mertak kec. Pujut dimulai. Dengan spontan massa menghadang pembangunan jalan tersebut dengan membuat pagar dari kayu di areal pembangunan jalan tersebut. Sontak pembangunan jalan tersebut terhenti. Sejak saat itu sampai dengan saat ini petani terus melakukan aksi piket tiap hari dilahan dengan metode giliran perkelompok.
Kabar tentang pembangunan jalan tersebut akan terus dipaksakan terus beredar. Ahirnya pada tanggal 06 januari 2014 SPI – NTB ranting Badai Selatan yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Petani Lombok Tengah kembali melakukan aksi protes, kali ini menuju POLRES Lombok Tengah kemudian melakukan Hearing dengan BPN Lombok Tengah di kantor BPN Lombok Tengah, adapun hasil hearingnya yang kemudian diterbitkan dalam bentuk surat edaran yang ditandatangani langsung oleh Kepala BPN Lombok Tengah dan seluruh peserta audiensi, salah satunya adalah “Pemilik tanah di kawasan HGB yang terindikasi terlantar dan di kawasan HPL PT.BTDC akan melakukan pendataan tanah ulang untuk diserahkan kepada kantor BPN Kabupaten Lombok Tengah”.
Seolah tidak mengindahkan hasil audiensi tersebut, pada hari minggu tanggal 12 januari 2014 Pemda Lombok tengah melalui Camat Pujut beserta 5 kepala desa di kawasan kecamatan Pujut (Kades Rembitan, Sengkol, Mertak, Sukadana dan Kuta) mengawal proses pengukuran lokasi jalan yang dilakukan oleh PT. BTDC, PT. Waskita Karya dan PT. PP. yang mana proses tersebut juga mendapat ppengawalan dari 2 truk personel Polisi dari satuan POLRES Lombok Tengah yang beberapa orang diantaranya bersenjata lengkap serta Beberapa orang anggota TNI, POL PP dan Satpam BTDC. Pengukuran tersebut kemudian bisa dihentikan setelah perwakilan petani melakukan loby dengan Camat Pujut untuk menghentikan pengukuran dengan menunjukkan surat edaran hasil audiensi dengan BPN Lombok Tengah.
Tiga hari setelahnya, yaitu pada hari rabu tanggal  15 januari 2014. Alat berat didatangkan dan rencananya pengukuran jalan akan dilanjutkan kembali, hanya saja kali ini proses tersebut hanya dikawal oleh Satpam BTDC sehingga dengan mudah dapat dihentikan oleh petani yang memang sejak tanggal 12 januari terus melakukan konsolidasi kegiatan di lahan dimana pembangunan jalan tersebut akan dikerjakan.
Kemudian pada hari senin tanggal 20 januari 2014 pembangunan jalan tersebut benar-benar dimulai, kali ini proses tersebut dikawal oleh 1 truk  polisi dari satuan DALMAS POLRES Lombok Tengah bersama 50an orang sipil bersenjata tajam yang mengatasnamakan diri dari Forum Masyarakat Peduli Mandalika Resort. Forum Mayarakat Peduli Mandalika Resort ini diindikasikan adalah Pamswakarsa yang berupa preman yang sengaja di bayar untuk mengamankan pembangunan jalan tersebut. Petani sempat bertahan menghadang alat berat yang mengerjakan pembangunan jalan tersebut akan tetapi kemudian dipukul mundur oleh sipil bersenjata tajam dari Forum Masyarakat Peduli Mandalika Resort tersebut. Dalam kejadian ini polisi sempat menembakkan gas air mata ke arah petani sebanyak 4 kali. Ahirnya massa petani pun terpukul mundur dan melakukan penyelamatan diri. Dalam kejadian ini terdapat 1 orang korban luka memar di lengan bagian kanan akibat lemparan batu atas nama Papuq Daman (65 th). Dan sampai saat tulisan ini diterbitkan, beberapa orang dari Forum Masyarakat Peduli Mandalika Resort masih terlihat berjaga-jaga di tempat pembangunan jalan.


[1] Ngagum dalam bahasa sasak berarti proses pembukaan lahan kawasan yang sebelumnya merupakan tanah GG
[2] Ngadas dalam bahasa sasak diartikan sebagai proses pemeliharaan ternak milik orang lain dengan perjanjian bagi hasil
[3] Pernyataan BPN Lombok Tengah dalam dengar pendapat bersama Aliansi Gerakan Petani Lombok Tengah di Kantor BPN Lombok Tengah pada tanggal 06 Januari 2014

1 komentar: