Senin, 02 Februari 2015

GELAS KOPI AMAQ LADI



Oleh : Thoni Sagara


Panggil saja dia Amaq Ladi, saya pun tidak pernah tahu nama aslinya, tapi hanya karena anak tertuanya bernama Muliadi yang kemudian di panggil Ladi maka tersohorlah Ia dengan nama Amaq Ladi. Sebagaimana orang sasak kebanyakan, dalam hal pemberian nama kepada setiap orang yang sudah punya anak maka namanya pasti dipanggil sesuai dengan nama anak tertuanya. Begitu juga dengan Amaq Ladi.

Bagi sebagian orang mungkin Amaq ladi bukanlah orang spesial untuk diceritakan sebab dia hanya seorang penggembala kerbau, kerbaunya pun kerbau adasan[1], lahan pertaniannya hanya berupa dua petak sawah tadah hujan dengan pendapatan yang tak seberapa. Kalau menanam padi, kisaranya hanya pada angka 3-4 karung gabah saja. Selain itu, seperti pada umumnya orang yang bertempat tinggal di dekat pantai, maka setiap waktu air laut surut, Ia akan pergi madaq[2] dengan menggunakan alat sederhana seperti tombak dan tak jarang juga hanya dengan tangan kosong saja.

Tapi bagiku tidak begitu, Amak Ladi tetaplah orang special. Bagaimana tidak, amaq Ladi adalah seorang pemburu kepiting yang handal, Amaq Ladi adalah seorang bapak yang baik bagi bagi anak-anaknya, Amaq Ladi juga adalah suami yang baik bagi Inaq Ladi istrinya dan jauh dari itu semua Amaq ladi adalah seorang Pejuang yang tangguh dan tentunya Ia juga adalah seorang penikmat kopi yang sama sepertiku (kopi hitam kental dengan gula yang cukup sedikit saja). Kami biasanya menghabiskan bergelas-gelas kopi bersama sembari mengumpat PT.BTDC[3] sepanjang malam, tidak hanya malam hari, pagi sebelum matahari terbit juga begitu, siang selepas makan siang juga begitu, bahkan sore sebelum senja menjemput malam juga begitu. Anggap saja kami ngopi bersama sepanjang hari.

Amaq Ladi beserta keluarganya tinggal disebuah perkampungan kecil bernama Proyek dusun Keliuh Desa Sengkol Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah. Perkampungan ini semula dihuni oleh kurang lebih 30 orang kepala keluarga, tapi sebab ada pembangunan proyek jalan sebagai syarat infrastruktur Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika Resort kini tinggallah hanya Amaq Ladi beserta istrinya saja yang menempati perkampungan tersebut, sebab warga yang lain sudah digusur semua dengan hanya diberikan uang ganti rugi senilai Rp. 2.000.000,- untuk setiap bangunannya, sedangkan untuk lahan pertanian sama sekali tidak diberikan ganti rugi. Amaq Ladi punya dua orang putra yang kedua-duanya sudah beristri. Anak tertuanya bernama Muliadi (Ladi) seorang perantau, terahir kabarnya Ia masih bekerja sebagai buruh di sebuah perkebunan kelapa sawit di wilayah Kalimantan Timur, sebelum itu, Ia juga sempat ke Sumbawa sebagai buruh bangunan dan Malaysia sebaga TKI. Anak bontotnya bernama Rami, terahir kabarnya Ia bekerja di Malaysia sebagai TKI.

Bagi kami (saya dan Amaq Ladi), kopi adalah sesuatu perekat pembicaraan yang baik, banyak cerita yang akan kami bicarakan seketika itu, misal saja cerita tentang konflik tanahnya dengan PT.BTDC seperti berikut ini. 

“dulu, tempat ini adalah lahan kosong yang jarang sekali orang mau menempatinya” ungkapnya memulai cerita kala itu. “ya bagaimana orang mau menempatinya, di lahan setandus ini apa yang bisa diharapkan, dulu kan tidak ada orang bicara pariwisata seperti sekarang ini, waktu itu yang penting tanah subur, bisa ditanami dan menjanjikan untuk perut saja” lanjutnya sembari menyeruput  gelas kopinya yang kemudian diikuti dengan menghisap rokoknya dalam-dalam.

“hmmm… kami pun pindah kesini dulu bukan karena keinginan, tapi keadaan yang membawa kami, keadaan sebab di tempat kami sebelumnya kami sudah tidak punya apa-apa untuk bertahan hidup, bahkan untuk tempat berteduh saja tidak punya” ungkapnya getir, pada kalimat ini Ia menaruh jeda dengan menyeruput kopinya berkali-kali seperti seolah sedang menyembunyikan getir lama agar tak tertangkap oleh sudut mata yang lain termasuk mata saya.

“waktu itu, saya tidak tahu persisnya tahun berapa, yang jelas di tempat ini masih banyak orang menyanyikan lagu-lagu PKI[4]” ungkapnya. Perkiraan saya tahun kedatangan Amaq Ladi tersebut berkisar antara tahun 1952 sampai tahun 1960an awal. Saya memperkirakannya demikian karena PKI mulai berkembang di NTB hususnya pulau Lombok sejak tahun 1952 dimulai dari ampenan (waktu itu masih menjadi bagian Lombok Barat) kemudian menyebar ke daerah-daerah lain termasuk Lombok tengah. Kemudian kenapa tahun 1960an karena ini mempunyai korelasi dengan lahirnya Undang-undang Pokok Agraria yang kemudian lebih dikenal dengan singkatan UUPA yang mengatur tentang pembagian tanah kepada kaum tani. “dan ketika itu saya masih sangat muda, mungkin saja usia saya waktu itu masih belasan tahun” lanjutnya. Pada ahir kalimat yang ini, Ia tidak sertai dengan menyeruput kopi, tandanya bahwa tidak ada hal yang patut Ia sembunyikan pada kalimat ini, termasuk kegetirannya.

“kami mulai mengagum[5] tanah-tanah disini, karena orang disini masih belum sebanyak sekarang, saya dan keluarga mengagum tanah yang cukup luas di wilayah nandus dan keliuh, saya sendiri dulu tidak tinggal disini saya tinggalnya di Nandus” ungkapnya melanjutkan cerita, pada potongan kalimat yang ini seperti sebelumnya Ia juga tidak menyeruput kopinya.

“bertahun-tahun kami hidup tenang disini, meski makan seadanya, meski hasil ladang juga seadanya, sampai tiba di suatu waktu…” tiba-tiba kalimatnya terpotong, Ia memberikan jeda yang cukup panjang dengan menyeruput kopinya berkali-kali, kegetiran itu mulai muncul dan tertangkap jelas disini, Ia tertangkap lebih jelas pada caranya menikmati kopi yang tak biasa pun juga pada caranya menghisap rokok yang tak biasa, tak sebiasa hisapan-hisapan sebelumnya, kali ini lebih dalam. Saya pun demikian, saya menikmati penggalan-penggalan ceritanya pun juga dengan berkali-kali menyeruput kopi yang terhidang sedari tadi.

Kopi hitam pekat kami masih tinggal setengah gelas, artinya cerita pun masih harus terus berlanjut.

“tiba-tiba saja banyak orang yang tidak pernah saya lihat sebelumnya mendatangi gubuk-gubuk kami, mereka terlihat seperti orang kota, mereka datang ditemani kepala desa dan kepala camat, meminta kami menjual tanah kami sebab di tempat ini akan dibangun hotel-hotel katanya” imbuhnya dengan penuh semangat, seperti seorang yang sedang menyimpan dendam lama yang belum juga terbalaskan.

“Ini tanah Negara, kalaupun kamu tidak mau jual tetap akan di ambil” suaranya agak sedikit aneh pada kalimat ini, sepertinya ia sedang mencoba menirukan suara bapak dari kota yang memintanya menjual tanahnya itu. “kami tetap menolak waktu itu, tapi apa daya mereka selalu punya cara untuk menakut-nakuti kami, suatu waktu datanglah mereka ditemani bapak[6] lengkap dengan senjatanya” sampai disini Ia terlihat sedikit tegang, tapi Ia coba mengusirnya dengan beberapa kali menyeruput kopi.

“apa boleh buat nak…”, katanya dengan nada yang sangat pelan. “tanah yang di nandus terpaksa saya jual dengan harga Rp. 150.000/are”. Setelah kalimat ini, Ia memberi jeda dengan beberapa kali menyeruput kopi. Rasa bersalah tampak terang di raut muka dan caranya menyeruput kopi, tangannya pun sedikit gemetar tertangkap oleh sudut mata saya yang tak sengaja sewaktu melihatnya mengangkat gelas kopinya.

Saya mencoba mengeja tanda-tanda perilaku itu sejenak, mencari tau penyebab kenapa Amaq Ladi tampak merasa sebersalah itu, mungkin saja Ia merasa bersalah karena telah menjual tanahnya atau mungkin saja Ia merasa bersalah sebab telah terjebak pada rasa takutnya yang terlalu berlebihan. Tapi sudahlah, kopi di dalam gelas saya rupanya masih belum habis dan saya juga masih ingin menyimak ceritanya lebih lanjut.

“hmmm….. mereka hanya membayar sebagian tanah, tapi semua surat tanah termasuk surat tanah ladang di depan dan termasuk juga surat tanah tempat bangun rumah ini juga mereka ambil, dan belakangan baru saya tau kalau ternyata mereka mengaku bahwa semuanya telah menjadi milik mereka sebab menurut mereka saya telah menjual semuanya pada saat saya menyerahkan semua surat tanah itu” keluhnya. Saya perhatikan Ia mnyeruput kopinya untuk yang terahir kali dengan gelayut rasa yang penuh kekacauan. Ada getir dari luka lama tampak jelas pada seruputan kopi terahir Amaq Ladi. Begitu juga dengan seruputan kopi terahir saya, getirnya pun terasa seolah kopi ini memang sengaja diracik demikian adanya.

“tapi nak, Kami masih percaya ini tanah kami, dan kami akan bertahan disini meski bisa saja nyawa akan menjadi taruhannya, jikalaupun akan menyerah, toh kami juga akan tetap meregang nyawa, sebab diluar sana juga tidak ada jaminan bahwa kami akan bisa tetap bertahan hidup” begitulah Amaq Ladi menutup pembicaraan kami waktu itu, sesaat sebelum Ia meninggalkan Saya dan gelas kopinya.

Begitulah cara kami (Amaq Ladi dan saya) menikmati kopi setiap waktu, selalu ada yang menarik untuk di gali dalam setiap seruputannya, dan pada seruputan terahir selalu saja ada getir yang berbuah semangat.

*****

Amaq Ladi memang bukan satu-satunya petani kawasan mandalika resort yang mempunyai cerita semacam demikian, seluruh petani disana mempunyai cerita yang hampir serupa, bahkan ada yang jauh lebih dramatis dari itu, cerita almarhum ayahnya Sibawaih bersama tiga orang rekannya misalnya, yang oleh sebab tidak mau menjual tanah kemudian ia sempat dipenjarakan di Mapolres Lombok Tengah selama beberapa bulan, atau kisah Mamiq Jerane yang ditodongkan senapan tepat di kepalanya, atau kisah pembakaran perkampungan di wilayah Tanjung Aan. Amaq Ladi juga bukan satu-satunya petani penikmat kopi dengan cita rasa yang sama dengan kopi kesukaan saya.

(Mataram, 03 februari 2015)


[1] Adasan bearasal dari kata dasar “adas” dalam bahasa sasak diartikan sebagai pekerjaan memelihara hewan peliharaan orang lain, jadi adasan diartikan sebagai binatang peliharaan yang diadas
[2] Madaq : menangkap ikan di laut saat air laut surut
[3] PT. BTDC adalah perusahan pengembang pariwisata yang mendapatka izin HPL untuk mengelola kawasan mandalika resort, perkembangannya telah menjadi PT.ITDC setelah kawasan Mandalika Resirt diresmikan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
[4] PKI : Partai Komunis Indonesia
[5] Ngagum adalah cara orang sasak dalam membuka lahan baru, biasanya tanah aguman disaweq (diberikan tanda berupa ujung daun kelapa yang ditancapkan di tanah) terlebih dahulu untuk menandai bahwa tanah tersebut sudah mempunyai pemilik
[6] Orang tua sasak yang tinggal di desa-desa biasanya menyebut anggota polisi atau tentara dengan sebutan “bapak”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar