Oleh
: Thoni Sagara

Panggil
saja dia Amaq Ladi, saya pun tidak pernah tahu nama aslinya, tapi hanya karena
anak tertuanya bernama Muliadi yang kemudian di panggil Ladi maka tersohorlah Ia
dengan nama Amaq Ladi. Sebagaimana orang sasak kebanyakan, dalam hal pemberian
nama kepada setiap orang yang sudah punya anak maka namanya pasti dipanggil
sesuai dengan nama anak tertuanya. Begitu juga dengan Amaq Ladi.
Bagi
sebagian orang mungkin Amaq ladi bukanlah orang spesial untuk diceritakan sebab
dia hanya seorang penggembala kerbau, kerbaunya pun kerbau adasan[1],
lahan pertaniannya hanya berupa dua petak sawah tadah hujan dengan pendapatan
yang tak seberapa. Kalau menanam padi, kisaranya hanya pada angka 3-4 karung gabah
saja. Selain itu, seperti pada umumnya orang yang bertempat tinggal di dekat
pantai, maka setiap waktu air laut surut, Ia akan pergi madaq[2] dengan
menggunakan alat sederhana seperti tombak dan tak jarang juga hanya dengan
tangan kosong saja.
Tapi
bagiku tidak begitu, Amak Ladi tetaplah orang special. Bagaimana tidak, amaq
Ladi adalah seorang pemburu kepiting yang handal, Amaq Ladi adalah seorang
bapak yang baik bagi bagi anak-anaknya, Amaq Ladi juga adalah suami yang baik
bagi Inaq Ladi istrinya dan jauh dari itu semua Amaq ladi adalah seorang
Pejuang yang tangguh dan tentunya Ia juga adalah seorang penikmat kopi yang
sama sepertiku (kopi hitam kental dengan gula yang cukup sedikit saja). Kami biasanya
menghabiskan bergelas-gelas kopi bersama sembari mengumpat PT.BTDC[3]
sepanjang malam, tidak hanya malam hari, pagi sebelum matahari terbit juga
begitu, siang selepas makan siang juga begitu, bahkan sore sebelum senja
menjemput malam juga begitu. Anggap saja kami ngopi bersama sepanjang hari.
Amaq
Ladi beserta keluarganya tinggal disebuah perkampungan kecil bernama Proyek
dusun Keliuh Desa Sengkol Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah. Perkampungan
ini semula dihuni oleh kurang lebih 30 orang kepala keluarga, tapi sebab ada
pembangunan proyek jalan sebagai syarat infrastruktur Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK) Mandalika Resort kini tinggallah hanya Amaq Ladi beserta istrinya saja
yang menempati perkampungan tersebut, sebab warga yang lain sudah digusur semua
dengan hanya diberikan uang ganti rugi senilai Rp. 2.000.000,- untuk setiap
bangunannya, sedangkan untuk lahan pertanian sama sekali tidak diberikan ganti
rugi. Amaq Ladi punya dua orang putra yang kedua-duanya sudah beristri. Anak
tertuanya bernama Muliadi (Ladi) seorang perantau, terahir kabarnya Ia masih
bekerja sebagai buruh di sebuah perkebunan kelapa sawit di wilayah Kalimantan
Timur, sebelum itu, Ia juga sempat ke Sumbawa sebagai buruh bangunan dan Malaysia
sebaga TKI. Anak bontotnya bernama Rami, terahir kabarnya Ia bekerja di Malaysia
sebagai TKI.
Bagi
kami (saya dan Amaq Ladi), kopi adalah sesuatu perekat pembicaraan yang baik,
banyak cerita yang akan kami bicarakan seketika itu, misal saja cerita tentang konflik
tanahnya dengan PT.BTDC seperti berikut ini.
“dulu,
tempat ini adalah lahan kosong yang jarang sekali orang mau menempatinya”
ungkapnya memulai cerita kala itu. “ya bagaimana orang mau menempatinya, di
lahan setandus ini apa yang bisa diharapkan, dulu kan tidak ada orang bicara
pariwisata seperti sekarang ini, waktu itu yang penting tanah subur, bisa
ditanami dan menjanjikan untuk perut saja” lanjutnya sembari menyeruput gelas kopinya yang kemudian diikuti dengan
menghisap rokoknya dalam-dalam.
“hmmm…
kami pun pindah kesini dulu bukan karena keinginan, tapi keadaan yang membawa
kami, keadaan sebab di tempat kami sebelumnya kami sudah tidak punya apa-apa
untuk bertahan hidup, bahkan untuk tempat berteduh saja tidak punya” ungkapnya
getir, pada kalimat ini Ia menaruh jeda dengan menyeruput kopinya berkali-kali
seperti seolah sedang menyembunyikan getir lama agar tak tertangkap oleh sudut mata
yang lain termasuk mata saya.
“waktu
itu, saya tidak tahu persisnya tahun berapa, yang jelas di tempat ini masih
banyak orang menyanyikan lagu-lagu PKI[4]” ungkapnya.
Perkiraan saya tahun kedatangan Amaq Ladi tersebut berkisar antara tahun 1952
sampai tahun 1960an awal. Saya memperkirakannya demikian karena PKI mulai
berkembang di NTB hususnya pulau Lombok sejak tahun 1952 dimulai dari ampenan (waktu
itu masih menjadi bagian Lombok Barat) kemudian menyebar ke daerah-daerah lain
termasuk Lombok tengah. Kemudian kenapa tahun 1960an karena ini mempunyai
korelasi dengan lahirnya Undang-undang Pokok Agraria yang kemudian lebih
dikenal dengan singkatan UUPA yang mengatur tentang pembagian tanah kepada kaum
tani. “dan ketika itu saya masih sangat muda, mungkin saja usia saya waktu itu
masih belasan tahun” lanjutnya. Pada ahir kalimat yang ini, Ia tidak sertai
dengan menyeruput kopi, tandanya bahwa tidak ada hal yang patut Ia sembunyikan
pada kalimat ini, termasuk kegetirannya.
“bertahun-tahun
kami hidup tenang disini, meski makan seadanya, meski hasil ladang juga
seadanya, sampai tiba di suatu waktu…” tiba-tiba kalimatnya terpotong, Ia
memberikan jeda yang cukup panjang dengan menyeruput kopinya berkali-kali,
kegetiran itu mulai muncul dan tertangkap jelas disini, Ia tertangkap lebih
jelas pada caranya menikmati kopi yang tak biasa pun juga pada caranya
menghisap rokok yang tak biasa, tak sebiasa hisapan-hisapan sebelumnya, kali
ini lebih dalam. Saya pun demikian, saya menikmati penggalan-penggalan
ceritanya pun juga dengan berkali-kali menyeruput kopi yang terhidang sedari
tadi.
Kopi
hitam pekat kami masih tinggal setengah gelas, artinya cerita pun masih harus
terus berlanjut.
“tiba-tiba
saja banyak orang yang tidak pernah saya lihat sebelumnya mendatangi
gubuk-gubuk kami, mereka terlihat seperti orang kota, mereka datang ditemani
kepala desa dan kepala camat, meminta kami menjual tanah kami sebab di tempat
ini akan dibangun hotel-hotel katanya” imbuhnya dengan penuh semangat, seperti
seorang yang sedang menyimpan dendam lama yang belum juga terbalaskan.
“Ini
tanah Negara, kalaupun kamu tidak mau jual tetap akan di ambil” suaranya agak
sedikit aneh pada kalimat ini, sepertinya ia sedang mencoba menirukan suara
bapak dari kota yang memintanya menjual tanahnya itu. “kami tetap menolak waktu
itu, tapi apa daya mereka selalu punya cara untuk menakut-nakuti kami, suatu
waktu datanglah mereka ditemani bapak[6]
lengkap dengan senjatanya” sampai disini Ia terlihat sedikit tegang, tapi Ia
coba mengusirnya dengan beberapa kali menyeruput kopi.
“apa
boleh buat nak…”, katanya dengan nada yang sangat pelan. “tanah yang di nandus
terpaksa saya jual dengan harga Rp. 150.000/are”. Setelah kalimat ini, Ia
memberi jeda dengan beberapa kali menyeruput kopi. Rasa bersalah tampak terang
di raut muka dan caranya menyeruput kopi, tangannya pun sedikit gemetar
tertangkap oleh sudut mata saya yang tak sengaja sewaktu melihatnya mengangkat
gelas kopinya.
Saya
mencoba mengeja tanda-tanda perilaku itu sejenak, mencari tau penyebab kenapa Amaq
Ladi tampak merasa sebersalah itu, mungkin saja Ia merasa bersalah karena telah
menjual tanahnya atau mungkin saja Ia merasa bersalah sebab telah terjebak pada
rasa takutnya yang terlalu berlebihan. Tapi sudahlah, kopi di dalam gelas saya
rupanya masih belum habis dan saya juga masih ingin menyimak ceritanya lebih
lanjut.
“hmmm…..
mereka hanya membayar sebagian tanah, tapi semua surat tanah termasuk surat
tanah ladang di depan dan termasuk juga surat tanah tempat bangun rumah ini juga
mereka ambil, dan belakangan baru saya tau kalau ternyata mereka mengaku bahwa
semuanya telah menjadi milik mereka sebab menurut mereka saya telah menjual
semuanya pada saat saya menyerahkan semua surat tanah itu” keluhnya. Saya perhatikan
Ia mnyeruput kopinya untuk yang terahir kali dengan gelayut rasa yang penuh
kekacauan. Ada getir dari luka lama tampak jelas pada seruputan kopi terahir
Amaq Ladi. Begitu juga dengan seruputan kopi terahir saya, getirnya pun terasa
seolah kopi ini memang sengaja diracik demikian adanya.
“tapi
nak, Kami masih percaya ini tanah kami, dan kami akan bertahan disini meski
bisa saja nyawa akan menjadi taruhannya, jikalaupun akan menyerah, toh kami
juga akan tetap meregang nyawa, sebab diluar sana juga tidak ada jaminan bahwa
kami akan bisa tetap bertahan hidup” begitulah Amaq Ladi menutup pembicaraan
kami waktu itu, sesaat sebelum Ia meninggalkan Saya dan gelas kopinya.
Begitulah
cara kami (Amaq Ladi dan saya) menikmati kopi setiap waktu, selalu ada yang
menarik untuk di gali dalam setiap seruputannya, dan pada seruputan terahir
selalu saja ada getir yang berbuah semangat.
*****
Amaq
Ladi memang bukan satu-satunya petani kawasan mandalika resort yang mempunyai
cerita semacam demikian, seluruh petani disana mempunyai cerita yang hampir
serupa, bahkan ada yang jauh lebih dramatis dari itu, cerita almarhum ayahnya
Sibawaih bersama tiga orang rekannya misalnya, yang oleh sebab tidak mau
menjual tanah kemudian ia sempat dipenjarakan di Mapolres Lombok Tengah selama
beberapa bulan, atau kisah Mamiq Jerane yang ditodongkan senapan tepat di
kepalanya, atau kisah pembakaran perkampungan di wilayah Tanjung Aan. Amaq Ladi
juga bukan satu-satunya petani penikmat kopi dengan cita rasa yang sama dengan
kopi kesukaan saya.
(Mataram, 03 februari 2015)
[1]
Adasan bearasal dari kata dasar “adas” dalam bahasa sasak diartikan sebagai
pekerjaan memelihara hewan peliharaan orang lain, jadi adasan diartikan sebagai
binatang peliharaan yang diadas
[2]
Madaq : menangkap ikan di laut saat air laut surut
[3]
PT. BTDC adalah perusahan pengembang pariwisata yang mendapatka izin HPL untuk
mengelola kawasan mandalika resort, perkembangannya telah menjadi PT.ITDC
setelah kawasan Mandalika Resirt diresmikan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK)
[4]
PKI : Partai Komunis Indonesia
[5]
Ngagum adalah cara orang sasak dalam membuka lahan baru, biasanya tanah aguman
disaweq (diberikan tanda berupa ujung daun kelapa yang ditancapkan di tanah)
terlebih dahulu untuk menandai bahwa tanah tersebut sudah mempunyai pemilik
[6]
Orang tua sasak yang tinggal di desa-desa biasanya menyebut anggota polisi atau
tentara dengan sebutan “bapak”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar