Rabu, 27 Agustus 2014

DARI SO WUWU ‘DEWA MENUJU SO LALEMBO (sebuah catatan dari RTK 55 Soromandi)[i]


Bagian KeSATU
SALING TEMU KENALI

Kiranya ia nampak seperti berjungkal-jungkal batu serupa bongkahan besar yang membentuk barisan bukit-bukit tinggi, barisan bukit tersebut kemudian tampak layaknya benteng kokoh yang berkitar-kitar mengelilingi hamparan pepadangan luas. Tanahnya gembur berwarna kehitaman berupa vulkanik sisa letusan tambora ratusan tahun lalu yang oleh sebabnya ialah surga bagi tetumbuhan apa saja.
Sebuah sungai membentang panjang menjadi sumber irigasi, meski satu-satunya tapi mampu menjadi sumber hidup bagi segala kehidupan yang ada di dalamnya, ikan gabus dan lele anak beranak terlihat enggan menjauhinya. Kera hutan yang selalu terlihat riang berkelompok melompat-lompat dari dahan ke dahan, babi hutan yang ketika malam hari mulai bergerombol beriring-iring mencari makan serta menjangan yang selalu menjadi hewan buruan paling menjanjikan adalah tiga jenis binatang yang paling sering kita temui di dalamnya. Di dalamnya juga terdapat kawanan lebah madu dengan kwalitas madu terbaik. Begitu juga dengan beraneka jenis burung mulai dari nasi monca (burung kuning) hingga burung beo yang berterbangan lalu berdendang sahut menyahut hari demi hari. Kesemuanya itu adalah penduduk tetap dari kawasan ini. Tak hanya itu, sebab tanahnya yang subur serta tetumbuhan yang jejal-menjejal memadatinya, banyak peternak sapi memilihnya sebagai areal pelepasan sapi yang beribu-ribu jumlahnya.

Konon di atasnya beabad-abad lalu pernah tinggal berkelompok-kelompok orang yang hidup dengan cara berburu dan meramu tepatnya di sebuah kawasan yang diberi nama Mantua. Hingga saat ini di kawasan tersebut  masih tertinggal sisa-sisa sejarah berupa pemakaman kuno dan sebuah patung batu. Pada perkembangannya, perkampungan ini (Mantua) di pindah ke Lokasi Ncando oleh pemerintah setempat pertama kali pada masa kekuasaan Belanda, Setelah masyarakat dari perkampungan ini membuka lahan di So Ncando dan So La Lembo kemudian perkampungannya di pindah lagi ke So Nggoti dan Wuwu ‘Dewa (tak pernah ada dalam cerita sejarah yang terbukukan, ternyata daerah Wuwu ‘Dewa adalah areal pertunjukan kebudayaan yang pernah terkenal di zamannya) dan terahir di pindah lagi sampai memasuki daerah Rababaka.
Kini, perkampungan hanya berada di luar kawasan (artinya, kawasan mulai dari Wuwu ‘Dewa, Ncando, Nggoti, Lalembo dan Mantua tinggal hanya puing sejarah dan telah menjadi kawasan hutan yang masuk dalam kawasan RTK 55 soromandi) tepatnya di beberapa desa yang berkita-kitar mengelilingi kawasan tersebut, seperti Rababaka, Bara, Wawunduru, Matua, simpasai, Saneo dan beberapa desa lainnya. Bertahun-tahun masyarakatnya terus dijauhkan dari sumber kehidupan yang mengajarkan mereka cara bertahan hidup secara turun-temurun, mereka dipaksa menjadi buruh batu, buruh pasir, buruh tani dan tak jarang pula menjadi TKI, hanya untuk satu alasan yaitu “bertahan hidup”.
Kawasan hutan dari Wuwu ‘Dewa menuju Lalembo, setelah ditinggal penduduknya adalah kawasan hutan belantara dengan berbagai jenis flora dan fauna hidup dan berkembang-biak di dalamnya. Tapi apalah itu, sebab kini tinggallah ia menjadi dongeng semata, sebab yang tertinggal hanyalah berupa tumbuhan semak yang perlahan-lahan binatang-binatang yang sebelumnya beranak-pinak didalamnya pun setahap demi setahap mulai bermigrasi ke daerah yang lebih dalam dan belantara. Hal yang demikian itu tersebabkan oleh, pada tahun 1999 Pemerintah Daerah Dompu melalui Dinas Kehutanan yang mempekerjakan masyarakat sekitar (mengupah masyarakat sekitar) untuk melaksanakan proyek Reboisasi. Dalam pelaksanaan tahap pertama dari proyek tersebut, di bukalah seluas ± 50 Ha lahan hutan, dengan berbagai jenis kegiatan yaitu antara lain seperti pekerjaan tebas- tebang, pembersihan lahan, pembuatan lobang tanam, pemasangan ajir, penanaman serta pemeliharaan. Pada tahun 2000, pada tahap kedua di bukalah kembali areal lahan seluas ± 50 Ha, dengan kegiatan yang sama dengan tahap pertama. Setelah pelaksanaan proyek reboisasi dilaksanakan kemudian di ikuti oleh proyek RHL seluas 35 Ha dan di ikuti oleh Proyek Gerhan tahun 2004. Jadi jumlah lahan yang di buka dari tahun 1999 s/d 2004 seluas ± 150 Ha, sedangkan Jumlah 23 Ha untuk RHL termasuk kedalam 150 Ha tersebut.
Setelah terlaksananya seluruh proyek yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Dompu tersebut, Pada ahirnya pada tahun 2005 s/d tahun 2006 terjadi pengusiran secara paksa oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Dompu, mereka membakar gubuk-gubuk tak luput juga hasil panen peladang yang dihasilkan setelah badan bermandikan peluh yang cukup lama kiranya. Mereka menyebut para peladang sebagai peladang liar yang jasadnya terharamkan mendapat makan dari hasil hutan. Ahirnya seluruh peladang kembali pulang, sebab takut pada ancaman jika harus terus berladang, sebagian besar mereka kembali menjadi buruh serabutan mulai dari buruh angkut pasir, buruh pemecah batu pada pertambangan-pertambangan lokal dan ketika musim panen tiba mereka pun menjadi buruh tani musiman yang hasil dari kesemuanya barang tentu tak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Tak sedikit pula diantara mereka mulai memilih untuk bermigrasi meninggalkan kampung halaman yang selama ini mebesarkan dan memanjakan mereka untuk mencari kerja sebagai buruh di daerah lain seperti kalimantan, sulawesi bahkan menjadi TKI di malaysia.
Sungguh ironis sekali, di tengah alam yang kaya raya penduduknya masih saja miskin papa, jikalaupun ada yang kaya itu hanya segelintir orang saja. Tergambar jelas situasi tersebut pada miniatur garis keturunan mantua di desa Rababaka sebagai daerah terdekat dari kawasan RTK 55 Soromandi, 1500 jiwa dalam 700 Kepala Keluarga, hanya tiga orang di antaranya bergaji sebagai TNI kurang dari lima orang adalah Pegawai Negeri Sipil dan sisanya adalah buruh serabutan. Wajarkah yang demikian itu?
Perlahan masyarakat Mantua yang kini telah tersebar ke beberapa desa sebagaimana pada ulasan di atas mulai terasing dengan tanahnya sendiri, Mantua benar-benar menjadi Syurga yang hanya setelah meninggal baru bisa menjumpanya. Mantua hanyalah sisa peninggalan sejarah berupa setumpuk makam nenek moyang dengan sebuah patung batu. Begitulah Mantua Begitu juga dengan So Lalembo, So Nggoti, So Ncando, So Wuwu ‘Dewa dan lainnya. Megah dengan kisah Mantua, Megah dengan tetumbuhan, megah dengan segenap binatang, burung dan ikan, tapi masyarakat sekitar tak berdaulat untuk sekedar menumpang mengganjal lapar di dalamnya.



[i] Dokumentasi perjalanan Serikat Tani NTB cabang Dompu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar